Symphony Padang Rumput

“Aku akan menunggu Sa, satu tahun.” Faisal menatapku lekat-lekat. “Bahkan dua tahun sekalipun sampai kau selesaikan pendidikanmu.”
  Aku palingkan wajahku dari tatapan Faisal. Bagaimana mungkin aku percaya akan kesetiaannya? Dia lelaki yang baik tetapi aku tidak sanggup bila membiarkan dia menunggu. Satu tahun tugasku di tanah rantau lantas satu tahun berikutnya pendidikan. Siapa yang akan mampu bertahan selama itu? Faisal?
“Percayalah padaku, Sa. Aku akan menunggu.”
“Tetapi aku tidak ingin kau mennggu Sal.” Jawabku sambil meniup dandelion.
            Keheningan menyambut senja yang mulai jingga sinarnya. Biar angin tetap saja membelai kesunyian. Bagaimana mungkin aku biarkan lelaki sebaik Faisal menungguku yang akan banyak berubah? Bagaimana aku bisa percaya kalau dirinya juga tidak akan berubah?

“Ikat cinta kita dengan mahkota ini Sa.” Faisal memberikan sebuah mahkota yang dibuatnya dari rumput dan ranting-rantig yang mulai layu. Seikat bunga rumput berwarna putih. “Aku hanya ingin kau percaya akan kesungguhanku.”
“Bahkan aku tidak bisa melihat kesungguhan kuliahmu Sal. Bagaimana aku harus percaya pada kesungguhanmu?” Aku biarkan saja mahkota itu tetap ditangannya. Membiarkan bunga itu tergeletak begitu saja disampig ujung kakiku.
            Lima tahun sudah kuliahnya di universitas. Tetapi belum juga aku lihat kepastian kelulusannya. Tugas akhirnya yang entah seperti apa. Aku tahu dia tidak akan menahanku untuk pergi. Dia bukan orang yang harus aku turuti setiap kata yag diucapkannya.
Aku akan menapakkan kakiku untuk tugas mengajar di tanah nan jauh. Sebuah tanah yang belum begitu pekat dengan deru motor. Tanah berbukit yang berhiaskan pinus. Disana perantauan baru itu akan berawal.
            “Pertama kalinya Sa. Pertama kalinya aku berjanji pada seorang perempuan untuk menunggunya. Memintanya agar dia percayakan hatinya padaku.” Faisal meletakkan mahkota yang sedari tadi ada digenggamannya. “Mengapa tak bisa kau percayakan hatimu padaku?”
“Satu tahun aku dirantau. Tempat yang jauh dari jangkauan mata, jarak yang jauh untuk untuk menumbuhkan rindu. Kau akan berubah Sal begitu juga diriku. Jadi bagaimana bisa aku terima janji itu.”
            Faisal bukan kekasihku. Sampai hari ini dia juga bukan kekasihku. Dia hanya seseorang yang bertemu denganku lima tahun lalu di universitas. Lantas lebih serig bertemu dan bercerita. Saling mengadu dan berbagi kisah kehidupan. Tertawa juga saling marah menyikapi perbedaan hidup ini. Tidak pernah ada kata cinta sebelum yang aku dengar hari ini. Sebelumnya tidak pernah ada pertemuan seperti sore ini.
            Hatiku. Aku juga tidak mampu menjaminnya untuk hari esok. Hari ketika aku akan menapak disuatu tanah yang baru. Tempat indah yang baru aku lihat gambarnya beberapa hari lalu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun untuk Faisal, termasuk hatiku. Sekalipun aku tahu dia tidak akan mengingkari janjinya.
“Lima tahun Sa, kita masih saling bersama dalam pertengkaran. Apa kau tahu setiap pertemuan kita adalah pertengkaran. Haruskah hari ini kita juga bertengkar lagi?”
“Aku cukup tahu itu Sal. Aku tahu kita selalu bertengkar. Dari semua pertengkaran itu aku juga tahu kau yang paling mengerti aku dibandingkan sahabatku yang lain. Kau juga tahu dalam setiap pertegkaran kita ada cinta yang tidak pernah terucapkan. Ada cinta yang selalu kita hindari Sal.” Sebentar aku beranikan diri memandang wajahnya. “Aku hanya tidak ingin meninggalkan janji apapun padamu Sal. Meski hanya untuk mempercayakan hati ini.”
“Baiklah.” Faisal beranjak dari tempat duduknya. “Jangan pernah berjanji apapun padaku, meski hanya didalam hatimu sendiri. Semoga perjalananmu menyenangkan.” Faisal mulai melangkahkan kakinya meninggalkan aku yang masih duduk diatas rumput kering.
            Perasaan ini memang sudah sedari dulu. Namun pertengkaran dan keegoisan menyembunyikannya walau akhirnya tetap terbaca satu sama lain. Tidak ada yang bisa kami semunyikan meskipun hanya kegelisahan kecil yang menganggu hari-hari kami.
           
            Harusnya aku berada dalam kesungguhanku
            Menahan kalimat cintaku hingga hari itu tiba
            Saat aku kan datang pada orang tuamu
            Tapi aku terlalu takut kehilangan
            Hari ini...
            Senja membenamkan cinta kita
            Tanpa janji, tanpa harapan, hanya kehilangan
           
            Begiu sebait puisi mengisi inbox HP. Faisal  telah patah hati begitu juga diriku yang telah remuk kehilangan dirinya. Aku tahu telah melepas dia untuk selamanya. Aku menolaknya, seorang lelaki yang teramat mengerti diriku. Kadang aku berharap dia tetap pada egonya menyimpan perasaan yang selama ini menyusup ke hati. Menyimpannya hanya untuk dirinya sendiri sampai aku pulang nanti, satu atau dua tahun lagi.

Ary Pelangi

27 Agustus 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Suara Hati