Ternyata Cinta

“Aku melakukan semua pintanya namun tidak jarang aku mengumpat dalam hati.”

            Masa itu terlewati begitu cepatnya. Hari yang sekarang terasa begitu jauh meski hanya dalam ingatan. Hari yang tidak pernah akan aku miliki lagi selain dalam kenangan. Semua baik-baik saja dan tidak ada yang berbeda. Seorang anak kecil yang begitu merasakan indahnya hidup di desa. Tidak ada yang lebih indah selain luasnya halaman rumah yang selalu ramai dengan sorak gembira permainan tradisional. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain lumpur-lumpur sisa hujan. Sawah dan pematangnya selalu memberi kesejukan dalam teriknya siang.

            Hari itu aku mulai menyadari, aku tidak lagi sama dengan anak-anak yang lain. Meski masih sama dengan sseragam merah putih. Meski masih sama pulang sekolah bersama. Namun semua mulai terasa berbeda. Bangku kelas terakhir, disanalah semua mulai aku rasa berbeda. Aku mulai merasa berbeda.

            Jendela ruang depan selalu menjadi sekat kecemburuan. Aku mulai cemburu pada mereka yang masih menikmati kebersamaan dalam permainan. Aku cemburu pada tawa mereka yang selalu berhasil mencuri perhatianku. Jendela itu membatasinya. Tidak ada lagi waktu bagiku untuk bersenang-senang dengan mereka. Tawa itu hanya bisa aku lihat dari jendela dengan sebuah buku pelajaran yang ada ditanganku. Buku-buku pelajaran juga buku-buku latihan ujian. Mulai menjadi kawan setia.
            Pukul 14.30 aku akan melewai teman-temanku yang masih begitu menikmati kebersamaan. Celana panjang, baju panjang yang lengkap dengan jilbabnya juga tas sekolah. Bermodal sepeda roda dua aku lambaikan tanganku pada mereka, aku merangkat mengaji. Hari-hari sebelumnyapun begitu. Jam dua siang Ayah memanggilku yang sedang bermain bersama mereka. Sebuah kode yang sudah menjadi rahasia umum, alaram otomatis waktu mengaji.
            Sering merasa sedih. Mereka mengapa begitu nyaman untuk bermain. Tidak seorangpun memanggilnya untuk mengaji. Agh... memang tempat mengajiku berbeda dengan mereka waktunyapun tak sama. Tetapi aku masih ingin bermain. Aku masih ingin mengulurkan layang-layang. Melampiaskan tawaku dengan memutus benang layang-layang mereka dengan benang layang-layangku. Lantas akan sama-sama berlari mengejar layang-layang putus. Ayah, itu hanya keinginanku. Hanya saja katamu aku harus pergi mengaji.
            Segalanya semakin tidak adil. Tidak ada lagi waktu nonton TV, itu yang ayah katakan. Siang malam harus belajar. Hanya ada dua pilihan, melanjutkan ke sekolah terbaik atau sekolah dengan predikat terburuk sekecamatan. Tidak ada pilihan untuk tidak lulus.
            Diri ini semakin dekat dengan buku dan buku. Pensil menjadi kawan yang begitu ramah untuk mencoret dan mencoret. Entah apa yang aku tulis, tetapi mulai ada bait-bait kata diantara halaman yang menyisakan sedikit ruang.
            Aku lulus dari SMP idaman di kota kecamatan. Sebuah sekolah yang masih jelas aku ingat jejaknya. Kedisiplinan juga persaingan selalu menjadi menu utama harian. Tidak ada kata terlambat, tanpa kata lupa.
            Nilaiku cukup untuk masuk SMA terbaik di kota Kabupaten. Bahkan nilai ujian Matematika yang selalu menjadi momok dalam hidupku mampu mencapai hasil sempurna, nilai 100. Tetapi jalur Kabupaten bukan jalur yang mudah waktu itu. bukan karena jalanannya yang buruk. Tetapi untuk mencapai sekolah itu harus dua kali naik kendaraan umum. Ayah bilang tidak ada biaya untuk semua itu.
            Aku tidak ingin bila hanya SMA di kota kecamatan. Itu ego terbesarku hari itu. Diri ini terlalu egois untuk hasil ujian yang telah aku perjuangkan. Sama seperti hari itu saat ujian kelulusan SD, aku hanya mengisi hampir semua waktuku dengan belajar. Aktif di jam tambahan yang diadakan sekolah, mengerjakan tugas les kawan-kawanku dan berkawan dengan mereka para juara dikelas lain.
            Seperti pintamu, kembali aku berbaur dengan buku-buku. Kelas XI, aku harus dapat kelas jurusan IPA. Benar begitu, kali ini kita satu visi, Ayah. Aku jujur mengakuinya sebab aku ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita yang aku simpan sejak kecil.
 Aku sering bercerita padamu tentang kawan-kawanku. 05.30 hari Senin sampai Sabtu aku sudah dengan seragam putih abu-abu mengayuh sepeda kecilku meninggalkan rumah. Diwaktu yang sama aku lihat kawan-kawanku masih begitu nyaman duduk didepan rumah dan bercerita sesekali aku lihat menyapu halaman. Sebagian yang lain berkata, “Buat apa kau jauh-jauh sekolah. Disinipun banyak sekolah, kau bisa berangkat setengah tujuh dengan sepeda motor.”
Semua itu aku terima dengan senyuman. Saat itu aku mengumpat dalam hatiku, “Suatu hari nanti mereka akan melihat hasil peralananku hari ini. Aku akan sukses dengan perjalanan ini.”
Ada satu yang hari itu sangat menyakitkanku, Ayah. Tetapi aku tidak mampu bercerita padamu. Aku takut engkau marah dan sedih. Ketika seorang tetangga menghentikan langkahku dan mungkin aku telah menyinggung hatinya. Hari itu dia bilang padaku,”Untuk apa kau pilih-pilih sekolah. Didekat sinipun ada sekolah. Ayahmu buruh dan Ibumupun sama, keluarga miskin. Masa depanmupun tidak jauh dari itu. Kau sekolah hanya menghabiskan uang. Sekolah saja disini seperti yang lain, nanti bisa boncengan sama Mbak X.”
Mungkin aku telah menyinggungnya, aku tidak pernah tahu ada keberanian untuk mengatakannya. “Aku sekolah dikota untuk mencari ilmu yang berbeda. Sekolahku memang jauh namun setidaknya tidak berdebu jika kemarau juga tidak becek ketika hujan seperti sekolah-sekolah disini. Orang tuaku tidak perlu boros uang, aku dapat beasiswa. Ayah dan Ibuku boleh jadi seorang buruh, suatu hari nanti ketiga anaknya adalah sarjana lulusan universitas ternama, bukan sekolah yang sekedar sekolah dan dapat ijazah.”
Kecewaku kembali bersahabat sesaat menuju Universitas. Ayah hanya memberi sekali kesempatan ikut seleksi SNMPTN. Itupun harus di Universitas Sebelas Maret. Universitas Negeri terdekat dengan rumah, lagi-lagi biaya menjadi alasannya dan aku kembali memakluminya. Selain mendaftar S1 dengan pilihan pertama kedokteran aku juga mengambil D4 Kesehatan Kerja.
Gelombang pertama D4 Kesehatan kerja. Aku lulus seleksi. Mulai berbinar harapanku sebab aku sadar saat mengerjakan tes SNMPTN tidak akan lulus kedokteran, terlalu sulit. Ayah menjanjikan akan membayar uang masuk di hari terakhir waktu pembayaran. Tetpi hari penentu itu ayah bilang belum ada uang dan menuggu pengumuman S1. Mungkin saja lolos begitu katamu. Namun aku sudah ragu.
Tengah malam seorang kawanku mengabarkan hasil kelulusan SNMPTN. Benar saja aku tidak lolos masuk kedokteran. Hari itu rasanya sangat menyesal. Menyesal, mungkinkah aku tidak serius belajar. Aku mampu menerobos SMP idaman dengan tes tertulis, lulus SMP dengan nilai rata-rata sembilan koma. Aku terima sekolah di kota sebelah yang hampir sama prestasinya dengan sekolah terbaik di kabupatenku. Siang malam aku belajar agagr masuk jurusan IPA. Aku berangkat pagi dan pulang sore selama di bangku SMA, kadang belajar di sekolah, ikut ekstrakurikuler kelompok ilmiah kadang juga mengaji. Tetapi kedokteran putus begitu saja.
Hari ini, saat aku menulis semua ini. aku tidak menyesal pernah melewati semua perjalanan hidupku. Aku tidak pernah kecewa padamu, Ayah. Ingin aku berterimakasih padamu, Ayah . Engkau telah mengajarkan semua itu padaku. Malam ini aku masih di perantauan. Tunaikan kewajibanku dari gelar sarjana yang aku dapat dari universitas negeri yang terdekat dengan rumah. Aku bukan seorang dokter seperti pintamu dahulu. Aku seorang guru yang hari ini berjuang di negeri Seribu Bukit. Aku tahu engkau bangga dengan S.Pd yang kini ada dibelakang namaku.
Suatu hari nanti saat aku pulang kerumah. Saat aku kembali dari perantauan pertamaku engkau akan mendengar betapa bahagianya diriku. Aku bahagia dengan perantauanku. Dan aku akan mengingat mereka yang dulu pernah bermain denganku dihalaman rumah. Aku pemilik masa kecil yang bahagia, Ayah. Karena aku masih memiliki kebahagiaan itu sampai hari ini.

Ary Pelangi

Banda Aceh, 8 Juni 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Suara Hati