Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Terlanjur Patah

Gambar
Kau patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika begitu banyak kertas-kertas yang harus kau selesaikan. Kau patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kesibukan angkuh bertahta di hari-harimu. Kau patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kau butuh pikiran yang jernih untuk membuat skenario pertunjukan. Kau patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kau butuh sejenak ketenangan untuk terlelap. Kau.... kau patah hati. Kau patah hati disaat yang tidak tepat. Jakarta, 14 September 2016 IG: umisatiti ***

Tentang Sebuah Doa

Aku terbangun sebelum fajar menyapa. Kutahu akan doa-doa yang sering terucap untuk kehidupan dibalik Lawu. Kenyamanan yang lama aku jalani, juga kebersamaan yang baru aku nikmati. Pada akhirnya terucap jadi satu. Memperjuangkan atau mengikhlaskannya.  Dan doa-doa mulai menemukan jawabannya. Aku tidak akan menyesal bila yang aku lepaskan menjadi lebih baik dan yang aku perjuangkan semakin rumit. Terimakasih kehidupan, aku yakin suatu saat nanti masing-masing dari kami akan menemukan yang terbaik. Setidaknya diri ini sadar tentang apa yang terucap dalam doa usai kewajban lima waktu. Sering pula aku mengucapnya disela-sela adzan dan iqamah. Semoga doa itu akan terkabul. Tentang nama yang sudah begitu lama ada dalam rentetan kata. Juga tentang kebersamaan yang kini entah apa namanya. Setahuku semua tidaklah asing hanya saja terlalu istimewa untuk terus dibandingkan. Semakin aku mencari kesempurnaan diantaranya semakin aku menemukan celah yang semakin jauh dari sempurna. Hingga disuat

Goresan si Patah Hati

Ramadhan selalu datang dengan cinta. Kenangan juga kisah pengiringnya. Tiga liter telah tumpah di senja hari. Habis? Tidak! Aku hanya menumpahkannya. Menyiapkan ruang kosong agar terisi. Tiga liter telah tumpah di senja hari. Sengaja memang, sengaja. Melunturkan bekas hujan yang tak jadi. Tiga liter telah tumpah disenja hari. Mengantarkan kilat yang tiada bercahaya. Menghapus guntur yang senyap menggelegar. Ramadhan selalu datang dengan cinta. Jika hanya tiga liter yang tumpah apa ruginya. Mungkin esok, lusa atau suatu hari nanti Meski ribuan liter telah tumpah Pada akhirnya hanya akan tersisa satu liter. Jakarta, 11 Juni 2016 Ary Pelangi

Terlanjur Berjanji

Gambar
Kita sudah terlanjur berjanji untuk tidak saling jatuh cinta disini. Sesering apapun menghabiskan waktu bersama. Seberapa sering pun kita saling tertawa. Kita sudah terlanjur berjanji untuk tidak saling jatuh cinta disini. Sesering apapun perjalanan mengantarkan pada pertemuan Seberapa sering pun kita saling melepas bosan. Kita sudah terlanjur berjanji untuk tidak saling jatuh cinta disini. Setidaknya kita saling tahu makna pertemuan, arti sebuah kebersamaan Setidaknya kita saling tahu makna sebuah pengertian, arti sebuah kepedulian Kita sudah terlanjur berjanji untuk tidak saling jatuh cinta disini Jakarta, 22 Mei 2016 Ary Pelangi

Jarak

Jarak telah berkisah Membentang ratusan kilometer, jauh Tentang hidupmu juga hidupku Deretan kata tiada lagi indah Bahkan tiada lagi tampak Jenuh? Mungkin telah bosan Haruskah berakhir tanda titik disini? Selesai Jakarta, 19 Mei 2016 Ary Pelangi

Pesan-Pesan Senja

Senja selalu memiliki kisahnya. Senja pun tidak pernah kehilangan cintanya. Durasinya mungkin tidak sebanyak pagi. Dia terlalu singkat, seperti fajar yang memaksa bergegas untuk bangun. Senja, senja dan senja. Senja selalu menawan membingkai kisahnya. Selalu istimewa dimata pemilik cinta. Senja memiliki caranya sendiri untuk selau romantis. Begitulah senja. Senja yang selalu ada banyak kata untuk melukiskannya. Terlalu banyak warna untuk menyempurnakannya.             Senja memang selalu membuatku terpesona. Mungkin karena terlalu banyak warna yang tidak sanggup aku pilih untuk menyempunakannya. Hingga esok aku akan kembali termenung menatap senja dengan cahaya jingganya.             Kisah ini tentang senja yang selalu menawarkan kenyaman. Senja yang jingga mendekap kedamaian. Senja yang selalu aku nikmati dengan kesederhanaan cinta. Dimana seua cukup dengan keramahan, kebersamaan dengan bumbu tawa. Namun malam merenggut segalanya. Mengambilnya begitu saja. Membuatku tidak berday

Lahirnya Seorang Bayi Perempuan

Gambar
Bukan hari yang masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Bahkan mata sudah terbuka sejak setengah empat dini hari. Dari situ pagi berawal. Harusnya kulit-kulit segera bersentuhan dengan air membangunkan syaraf-syaraf tubuh. Namun cucuran keringat yang justru menyapa lebih dahulu. Masih gelap memang, tapi begitulah sepetak kamar yang selalu menyala dua kipas angin besarnya, masih terasa gerah. Biar terlalu pagi aku biarkan angin menerobos masuk lewat jendela dan orang-orang masih banyak yang terlelap. Jarum jam berdetak menunaikan kewajibannya. Suara adzan subuh sudah beralih pada iqomah, di masjid orang-orang sedang menunaikan kewajiban dua rakaat. Disini jarum jam merangkak menuju pukul lima pagi. Semburat warna matahari mulai tampak di langit. Disinilah pagi yang beriring rasa syukur. Meski harus berjumpa dengan rutinitas yang sama untuk berada duduk manis diatas kursi menatap layar notebook . Begitulah rutinitas satu semester yang tengah aku jalani. Masih terlalu pagi unt

Tanya Tanya dalam Pesan

“Orang-orang yang kini ada didekatmu tidaklah datang dengan kebetulan. Mereka adalah ketetapan terindah untuk mewarnai langkahmu dengan porsinya masing-masing. Pun bila suatu hari satu demi satu porsi itu telah habis, terimalah. Kau tidak akan memiliki mereka selamanya dengan segala alasan kenyamanan yang engkau miliki bersamanya”             Barisan pesan yang sejenak menghentikan segala rutinitas tugas kuliah. Sekali dua kali aku membacanya. Lantas kembali pada tugas kuliah menyusun perangkat pembelajaran, begitu saja lenyap segala ide tentang perangkat-perangkat pembelajaran itu. Tidak satu kata pun aku tambahkan, tidak juga satu tanda titik aku hapus. Terhenti.             Kembali tangan jari-jari membuka lembar pesan. Masih sama. Tidak ada kata yang berubah. Tidak ada kalimat yang terganti. “Sudah siapkah engkau kehilangan lagi?” Sebuah tanya yang tertulis dari jauh entah dimana. “Sudah siapkah engkau melepaskan lagi?” Tanya itu masih berlanjut dengan tanya yang lain. “Sud

Jalanan Ibu Kota

Gambar
Semua kesempatan itu indah. Mengantarkanmu pada perjalanan yang tidak akan pernah terduga sebelumnya. Begitu juga sepetak ruang putih tempatmu kini duduk menatap barisan kata akan menjadi catatan kisah satu semester. Perjalanan "Aksi" mereangkai kata untuk pendidikan. Semangat ya.... Dan kau harus tetap semangat menjalani hidupmu. Ibu Kota tempat yang menyenangkan. Kota rantau yang akan menemani perjalananmu satu tahun menyelesaikan studi. Menempuh jalan-jalan kehidupan. Biarlah langkah ini tetap pada jalan yang indah `sebagaimana skenario terindah yang telah ditentukan-Nya. Berjalanlah terus pada jalan yang telah ditunjukkan-Nya padamu. Jalan yang benar dan engkau yakini kebenarannya. Jalan yang memang benar-benar jalan indah. Jalanan itu memang indah. terlalu banyak tikungan, tanjakan juga turunan. Sudahkah engkau lewati jalanan yang berlubang? Atau sudahkah kau lewati jalanan yang penuh dengan kerikil-kerikil tajam yang indah? Masih kuatkah kaki untuk terus berja

Langit-langit Ibu Kota

Langit-langit Ibu Kota telah berkisah tentangmu. Kincir-kincir dinding kamar berbisik tentangmu. Jarak yang tak terdevinisi dalam kilometer. Dekat yang terasa jauh, mungkin terlalu jauh. Katanya rindu sudah bertaburan. Siapa peduli!   Langit Ibu Kota masih biru walau kadang berselimut mendung. Kita pernah mendekap rindu dalam balutan kabut. Menyemai rindu dalam barisan bukit. Disana, rumah rantau yang dulu. Dan pernah aku memangkas habis segalanya sebelum roda-roda meninggalkan bekas longsor. Mengapa masih menabur rindu? Sudah dekap saja dalam diammu. Seperti rindu yang sudah-sudah. Malam masih berhias bintang. Sedang bulan masih setia menemani bumi. Apalagi yang membuatmu meragu? Biar langit-langit Ibu Kota berkisah tentangmu. Kincir-kincir kamar membisik rindu tentangmu. Mulailah merajut kisah yang kau jalani kini. Bingkai saja masa yang pernah berlalu. Rindu ini hanya untuk dirindu. Rindu yang bukan untuk dimiliki. Bukankah waktu mempertemukan kita? Tulisan takdir dari San

Cinta Untuk Metro

Kaki ini telah siap untuk melangkah Sekali lagi, kampung halaman harus jauh Demi segenggam asa kehidupan Tidak! Aku tidak ingin menyesali perjalanan ini Sebuah langkah yang baru kuawali Tidak ingin menyesali jalan ini Aku hanya pengembara Melewati jalanan ibu kota Menelusuri lorong keramaian

“Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?”

Gambar
“Semakin lama aku mennggu Untuk kedatanganmu Bukankah engkau telah berjanji Kita jumpa disini Datanglah, kedatanganmu kutunggu Telah lama, telah lama kumenunggu” Sebuah lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama berdendang menemani malam. Sisa rintik-rintik hujan masih menetes dari atap. Lagu yang sudah begitu lama mengudara, tiba-tiba kini berputar mengingatkan akan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan. Hujan. Nyanyian yang tak pernah henti untuk memutar rekaman kehidupan. Jejak yang tidak mudah terlupa. Pernah memang jalan ini membuat patah hati, menjadikan raga teramat lelah dan mengahirinya dalam tetesan lembut kelopak mata. Namun dalam jalan ini pula berjumpa denganmu, mengenal senyum dan tawa. Mengurai keresahan menjadi harapan. Esok atau suatu hari nanti akan aku dapati bunga yang tumbuh dari biji yang tersiram hujan. “Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?” sebuah status yang terpampang jelas di wall sosmed. Sebuah pertanyaan sederhan

Tentang Rindu "Januari"

Gambar
Bukankah Januari sudah berakhir? Bukankah sudah selesai? Aku lebih nyaman berada dalam kegelisahan study -ku yang tidak juga pasti daripada harus peduli tentangmu. Belum mampu lebih dari ini rasa yang aku punya. Hanya sampai kepastian ini yang aku miliki. Aku jalani study- ku dan kau lengkapi hidupmu. Tidak ingin aku mengusiknya lagi. Hati dan fikiran memang susah bersatu, jarang sependapat dan sering berdebat. Itulah kegalauan. Rasa ini tulus padamu, cinta. Enam tahun merajut kisah bersama mustahil bila tanpa rasa. Meski dalam setiap langkahku terisi kisah yang lain, menapak kota yang lain namun saat aku kembali pulang selalu tentangmu. Semua tanya kembali tentangmu. Selalu dirimu dan hanya dirimu yang mereka tanyakan. Sekali ini biarkan semua berjalan seperti dahulu. Anggap tidak pernah ada yang tahu, meski nyatanya mereka terus menanyakanmu, perjalanan kita yang terpisah jarak. Biarkan waktu tetap bersahaja, memudarkan senyum dan merajut kerinduan. Biarkan jarak tetap pad

Pendidikan Untuk Semua

Anak-anak.. Mereka sangat berharga dalam kehidupan ini. Penerus peradaban yang akan membawa pada kejayaan. Bukan hanya kota-kota tempat mereka belajar. bukan hanya gedung-gedung sekolah, seragam juga sepatu. Tetapi aku pernah menyapa pendidikan dalam rimba. Mereka yang masih terabai. Bersama sukseskan pendidikan Indonesia Ary Pelangi

Puing-puing Keresahan

Gambar
Kebersamaan ini banyak caranya. Melewati pagi yang berganti senja juga malam yang menggantikan siang. Melewati badai dipenghujan juga merasakan gersang dikemarau. Waktu dengan sendirinya menemani kita berkisah. Masihkah kau bertanya tentang waktu? Sudahlah. Waktu sanngat bersahabat, mempertemukan kita yang telah sempat jauh meski pada akhirnya waktu mempertemukan kita kembali dengan jarak. Sebuah kesempatan untuk kembali merajut rindu. Waktu ini tidak akan lama lagi. Kembali kaki harus melangkah meninggalkan rumah. Menempuh ratusan kilometer untuk perantauan selanjutnya. Jalan ini harus aku tempuh, sekalipun terasa begitu pahit. Saat aku rasa benar-benar merasa lelah. Bukankah harusnya aku bahagia? Formasi pendidikan berasrama sudah keluar. Beasiswa yang sudah pasti ada ditangan. Hanya ada dua pilihan, menerima atau membebaskannya. Sedang dari jauh sana. Akun medsos banjir dengan teman-teman lama yang mulai merapat. Mengabarkan ada beasiswa S2 untuk guru dikdas. Ada juga yang m

Pesan dari Rantau

Gambar
Seperti biasa, hari ini berharap terlalu tinggi. Ingin menggapai langit-langit yang jauh disana. Seperti biasa, diri ini menggepakkan sayap terlalu kuat. Tetapi diri ini telah lupa, ada sayap yang pernah patah. Harusnya kusadari itu namun terlambat sudah. Raga ini melesat jauh dari awan-awan, hingga tiada lagi awan menangkapku. Mata terbuka, “Mengapa masih bernafas?” sedang sakit menjalar disekujur tubuh. Masih sendiri. Seekor pipit jatuh diantara gerimis Karanganyar, 18 Desember 2015 Ary Pelangi             Malam yang semakin gelap tampak semakin gelapnya. Diluar sana bintang-bintang pun enggan bersinar. Mungkin bukan enggan bersinar hanya berembunyi dibalik selimut mendung. Dingin tidak ingin kalah, turut serta hadir merobek-robek raga yang hampir seminggu terus saja meriang.             Langit hendak menumpahkan hujan, tetapi tampak keraguan. Sesekali hanya tetes gerimis yang terdengar.             Harusnya aku matikan handphone malam ini hingga tidak aku temuka

Aku, Kau dan Rumah Singgah

Gambar
“Aku akan S2. Kuliah disini tidak harus menjadi guru bukan?” Kata Alif hari itu. Entah itu hari yang keberapa disemester yang keberapa. Hanya saja kalimat itu jelas masih ada dalam ingtan Sasa.             Sudah dua tahun lalu Sasa mendapatkan gelar sarjananya. Hari ini dia kembali duduk dibawah pohon memandang rumah singgah. Ada seorang teman yang dinantikan kehadirannya. Sore ini Sasa akan menemui seorang teman yang setahun lebih tidak ditemuinya. Seorang teman yang setia mendengar cerita Sasa saat diperantauan.             Sebotol air mineral dan sekotak permen coklat. Sebuah novel telah dibacanya beberapa halaman. Lantas dia teringat akan ucapan Alif yang membuatnya kembali memandang rumah singgah. Sebuah bangunan yang dulu mempertemukannya dengan Alif dan juga sahabat-sahabat terbaiknya di universitas. “Aku anak pertama dan masih punya dua adik perempuan. Bagaimana bisa aku hidup sesuka hatiku.” Kata Alif “Aku harus bisa hidup hemat disini.”             Hari itu Sasa m

Merindu Januari

Gambar
Rindu ini bukanlah hutang yang harus kau lunasi. Bukan pula janji yang harus kau tepati. Rindu ini hanya tentang hujan di lereng Lawu. Kenangan lama yang hanya terjamah dalam ungkapan kata “Rindu”. Enam tahun Cinta. Waktu yang kini hidup dalam kenangan. Bait-bait masa lalu yang tidak akan mungkin akan terungkap dalam kejujuran. Kaupun tidak ingin mengakuinya bukan? Kita sama Cinta. Melewetkan enam tahun yang seakan hanya biasa. Kini angin mendesah mengingatkan akan lembaran-lembaran masa lalu. Masihkah kau mengingkarinya? Ya, aku masih mengabaikannya meski jelas isyarat-isyarat itu terlukis untukku. Mungkinkah aku yang salah mengerti? Aku berharap satu hal Cinta, aku salah mengartikan isyaratmu. Hujan hari kemarin mengingatkan aku akan pertemuan hari pernikahan sahabat kita. Pesta yang begitu sederhana untuk orang yang begitu istimewa. Sahabatku yang juga sahabatmu, Cinta. Tentang undangan bulan Januari tahun yang akan datang. Aku hanya merindu Januari.