Mengenalmu Lagi

            Setelah banyak musim berganti
            Setelah banyak senja yang saling berganti
            Betelah begitu banyak kebersamaan yang harus terhenti
            Setelah ribuan kilometer jarak membuat bertemu lagi
            Setalah banyak hujan berganti pelangi
Setelah janji-janji pernah terucap
            Aku ingin mengenalmu lagi, lagi dan sekali lagi
            Aku ingin mengenalmu lagi dan sekali lagi


Aku ingin mengenalmu lagi, sekali lagi. Setelah ribuan kilometer jarak membentang. Setelah ratusan hari hanya terkadang teringat namamu. Setelah engkau hampir tergantikan oleh yang lain. Aku ingin mengenalmu sekali lagi, setelah gedung gedung mengenalkan keangkuhan kehidupan. Bisakah aku mengenalmu lagi dalam kesederhanaan yang pernah kita miliki?
Aku ingin mengenalmu seperti dulu, seperti saat kita masih sering duduk bersama dibawah naungan senja. Aku Ingin mengenalmu seperti dulu, seperti saat menikmati kabut dan hujan dalam dekapan Lawu. Aku ingin mengenalmu lagi seperti hari itu, hari dimana kita mengenal begitu banyak kata yang langsung terucap meski dalam marah. Aku ingin mengenalmu seperti dulu, saat dulu yang sudah berlalu itu. Saat tidak ada yang peduli berapa kali jarum jam sudah berputar untuk sekedar kita bertemu menyelesaikan lembar-lembar yang kini tidak ada lagi. Aku ingin mengenalmu seperti dulu, seperti hari itu saat bersamamu menantikan berhentinya rintikan air hujan. Aku ingin mengenalmu lagi, lagi dan sekali lagi. Seperti saat dulu sederhana dalam tenda angkringan pinggir jalan.
Ketika malam memutar semua rekaman masa yang sudah terlewat begitu jauh. Aku berkawan kata merangkainya lagi dan sekali lagi. Mungkinkah ada sebuah kesalahan yang pernah terlewat?
Aku ingin mengenalmu lagi dan sekali lagi. Seperti hari itu saat kita saling bercerita begitu banyak tentang negeri ini. Duduk bersamamu lagi dan merencanakan kebaikan-kebaikan yang mungkin bisa kita lakukan lagi bersama. Sekali lagi aku ingin duduk bersamamu seperti hari itu, memimpikan masa depan dengan pendidikan yang masing-masing kita miliki. Dan aku masih ingin duduk bersamamu lagi dan sekali lagi melukis mimpi diatas langit. Aku ingin mengenalmu lagi seperti hari itu. Hari dimana ada begitu banyak cahaya semangat yang menyinari wajahmu. Idealisme kehidupan yang akan kau genggam dalam meski begitu banyak pertengkaran.
Aku ingin mengenalmu lagi dan lagi seperti dulu. Seperti engkau yang dulu yang marahmu mampu menguji kesetiaan orang-orang disekitarmu. Seperti dirimu yang dulu, kau yang dulu memanjakan orang orang yang engkau cinta dengan caramu yang tidak biasa. Seperti hari dimana pernah engkau hancurkan kejutan-kejutan yang pernah disiapkan teman-temanku. Aku ingin mengenalmu lagi dan sekali lagi seperti kita selalu akan menemukan jalan untuk bertemu lagi usai pertengkaran hebat yang membuat hati hingga begitu kesal merasakannya.
Kita tidak punya kesepakatan apapun selain janji menjaga hati masing-masing untuk tetap sendiri sampai hari pertemuan hebat itu akan tiba. Janji yang tidak pernah terucap tegas, hanya terdengar lirih dalam senja dan untaian kata sederhana. Kalimat sederhana ketika aku begitu lelah dan ingin menyudahi setiap perjalanan yang aku miliki. Keputusasaan hidup yang hari itu begitu mendera dan membuatku ingin mengakhirinya. Setidaknya hanya untuk lari dari semua masalah- masalah kehidupan. “Kalau engkau lelah, aku sakit.” Semenjak hari itu ada begitu banyak hari yang terlewati. Musim berganti, tahun berlalu hingga hari-hari yang sering bersama semakin terkikis sang waktu. Hari dimana raga mulai saling tidak bertemu, aku terlena dengan kertas-kertas akhir tahunku dan kau dengan kesibukanmu yang katanya akan engkau tinggalkan. Aku mengerti hari-hari itu teramat berat hingga hari berat itu terasa begitu biasa.
Hari pun berlalu, entah sudah berapa waktu berlalu. Kau berhenti dalam dalam satu tikungan tajam, membanting stir dan mengubah arah laju rodamu, memutar arah perjalananmu sendiri. Aku mengerti kadang kita memang harus begitu. Terimakasih hari itu saat masih ada sebuah pesan “Hati-hati” sesederhana itu saat aku telah siap menyeberanngi lautan dengan burung besi. Bukan pelarian. Hanya aku masih mengejar mimpi mimpi yang pernah aku miliki dulu, meraihnya dengan cara yang berbeda.
Gunung-gunung membenamkan semua kata, nama dan cerita-ceritanya. Catatan hijau itu yang menjadi saksi betapa mimpi memang kadang harus kita ikhlaskan. Saat kata mulai jarang bersama, bukan hanya jarang tapi memang jarak telalu jauh dan musim telah berbeda. Pesan-pesan pun sering kali tidak saling bertemu. Hanya berhenti pada folder draf dan menghapusnya lagi. Hari dimana musim telah berbeda, ketika hanya sesekali aku mengirim pesan dan terjawab dengan kata yang tidak kalah singkatnya. Kabut, gunung dan hujan menyimpan caranya sendiri untuk berkisah tentang hidup kita masing-masing. Menjawab tanya sendiri, masihkah hati saling menjaga? Masihkah saat lelahku kau juga merasakan sakit? Masihkah akan ada lagi pertemuan setelah jauh roda-rodamu berputar dengan hidupmu? Masihkah ? Masihkah ada ruang untuk raga yang benar-benar terpisah begitu jauh? Saat disini ada begitu banyak hati yang dengan mudahnya dapat untuk ditawar.
Bertemu denganmu lagi, ya sekali lagi setelah perjalanan dengan burung besi itu, suatu hari yang nyatanya terang benderang kita berjanji untuk bertemu. Memandangmu lagi setelah waktu Subuh yang tidak sama dalam hitungan jarum jam. Tidak ada lembaran kata sempurna, hanya pandangan itu tidak lagi sama. Sikap yang ternyata sedikit canggung setelah ratusan hari tidak berjumpa. Senyum itu tidak lagi sama. Mungkinkah telah selesai?
Kekakuan yang entah apa namanya. Mungkinkah langkah tidak lagi seirama? Dimana harmoni yang dulu melantun indah bersama senja?
“Ya. Hati-hati” balasan dari pesanku yang masih tidak berubah seperti yang terucap hari itu. Kedua kalinya aku akan terbang dengan burung besi. Menyelesaikan lembar-lembar yang harus terselesaikan. Ada yang berbeda kini, saat semakin jarang berkata. Saat aku punya begitu banyak mimpi tentang kehidupan diantara gedung-gedung namun justru dirimu dengan duniamu yang kini begitu indah kau jalani. Setelah hari itu kita saling bercerita tentang masa depan. Siapapun diantara kita yang akan menemukan pasangan hidupnya lebih dahulu, menyempurnakan separuh agama demi mengikuti jejak Sang Rasul. Maka akan saling berkabar. Sesederhana itu. Dan semua cerita itu selesai. Aku tidak lagi menjaga hatiku untukmu lagi. Namun aku terlanjur tahu untuk siapa hati ini harus terjaga.
Langit-langit tidak pernah lelah menurunkan hujan. Lagi, dan sekali lagi mengisahkan semua kenangan dalam hari yang sudah begitu jauh berlalu. Diantara kesibukan-kesibukan kertas kita mulai sering bercakap, bersama-sama dengan yang lain atau sekedar menulis pesan dan bercerita tentang elok kehidupan. Hingga malam berlalu, kata yang tertulis bersama lembar-lembar tugas dan secangkir kopi, percakapan tanpa suara dalam taburan bintang malam. Kau tahu, kau tidak sendiri. Ada yang lain yang menemaniku mengerjakan lembar-lembar tugas. Sesama penikmat malam dan berkawan kopi. Sering bercakap hingga larut, dan jauh disana selalu engkau ada dalam ruang yang berbeda. Disinilah langit kebebasan, masihkah ingin bicara tentang rasa? Aku penikmat kopi, malam dan langit-langit kota bersama lembaran kertas.
Suara suara dinding kamar mulai berkisah. Jalanan dalam deru roda-roda keramaian mulai bercerita. “Aku punya harmoni, disini.” Hingga rentetan sang waktu aku buat perjanjian dengan harmoni itu, dia yang lain yang menemaniku. Sebuah perjanjian sederhana dalam riuh perjalanan langkah menuju lembar kertas masa depan. “Jangan jatuh cinta padaku, disini.”  Namun langit terus memainkan perannya. Mencipta melodi dalam harmoni langkah bersama hujan. Dalam subuh yang seirama dan senja dengan kesyahduannya. Dalam malam bersama secangkir kopi diruang yang berbeda, tanpa suara aku dan dia berkirim pesan. Bukan tentang rasa, hanya tentang lembar-lembar masa depan. Aku dan dia pun sama seperti aku dan dirimu. Hanya seorang yang tidak saling mengenal lantas kenal tanpa sengaja. Menjalani hari sebagai sebagai seorang kawan. Mampu bertengkar dan berdiam dalam melodinya, hanya lebih sering seirama menjalani harmoni kebersamaan. Dalam naungan durasi yang terbatas oleh perjanjian. Dan dia telah memiliki kekasihnya sendiri sementara aku berada dalam keramaian yang begitu bebas.
Lembar lembar yang telah terisi dengan begitu banyak cerita tentangmu. Bersama senja juga hujan yang begitu sayang untuk dibuang begitu saja. Cerita yang terlalu indah untuk berakhir menjadi abu ditempat sampah.
Bisakah aku mengenalmu sekali lagi?
Mungkin tidak. Karena kita masih bercakap dalam pesan dan semua baik-baik saja. Seperti hari sebelumnya. Seperti hari dimana aku hanya lelah sendiri dan kau sakit pun sendiri. Seperti tidak ada sakitmu dalam lelahku. Maka aku tidak akan bertanya lagi. Biarlah begini adanya. Seperti dulu, seperti dulu saat aku mengenal dirimu yang dulu.
Salahkah? Tidak ada yang salah dalam perjalanan kita. Hanya akankah engkau datang disebuah stasiun yang dulu pernah kau impikan begitu juga aku pernah memimpikannya? Akankah kita bertemu di stasiun itu ? Mungkin tidak juga, karena aku tidak tahu lagi kemana arah rodamu berputar. Karena aku masih ingin sekali lagi terbang dengan burung besi. Sebelum akhirnya aku singgah ke stasiun itu, mungkin aku hanya akan sekedar singgah dan melanjutkan lagi perjalanan.
Mengenalmu lagi? Mungkin akan perlu begitu banyak stasiun yang harus disinggahi. Mungkin kabar-kabar angin itu akan benar suatu hari nanti atau justru akan tetap menjadi kabur dengan arah yang tidak jelas.
Putar terus rodamu. Sedang aku telah menyiapkan sebuah perjalanan lagi. Mungkin akan semakin jauh dengan durasi yang lama. Hingga semua bukti terkumpul dan masing-masing dari kita menemukan jawaban atas doaku juga doamu. Tahukah kau ada begitu banyak yang berharap kita bersama. Ada yang membicarakannya dan ada yang menggosipkannya. Maka mengapa tidak kita amin kan saja ucapan mereka. Mungkin akan bertemu doaku, doamu dan doa mereka.
Terimakasih untuk semua hari yang telah terlewati. Bukan hatiku bukan pula hatimu. Tetapi jalan ini yang telah kita pilih untuk selesai. Maka temukan yang lebih baik. Seperti doaku untukmu, “Semoga engkau menemukan yang lebih baik dari diriku saat ini.”
Malam pasti akan berganti. Masih ada satu kali lagi Ramadhan, sebuah janji untuk bertemu. Bukan apa-apa lagi hanya sebuah janji bertemu seperti Ramadhan yang sudah-sudah untuk menggenapi cerita yang telah lama terpisah. Rutinitas seperti dulu diawal kita saling mengenal. Bukan untuk mengenalmu lagi dan sekali lagi. Sebab kita sudah terlanjur saling mengenal dan terlanjur saling memahami. Perkenalan yang terjaga dalam detak-detak mimpi yang harus kita raih masng-masing.

Karanganyar, 27 Maret 217

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Suara Hati