Menjemput Kenangan

      Menjemput kenangan. Lantas kenangan seperti apa yang akan kita lukis dalam perjalanan ini?

      Ceritaku tentang Lawu. Suatu tempat dengan pesona indahnya. Lawu punya hujan, kabut, juga bintang-bintang. Memadukan kisahnya dengan gendhing-gendhing lagu Kota Bengawan. Lengkap sudah lagu cinta yang tertulis dalam keagungan senyuman. Segala kisah yang terbungkus dalam marah, kecewa dan mengantarkan pada satu rumah bernama kasih sayang.
Rumah, bangunan beton yang pada akhirnya harus ditinggalkan untuk sebuah perjalanan panjang. Menjemput mimpi di atas bukit barisan.
      Bukit-bukit Leuser mulai menanam rindu. Tanahnya yang subur, curah hujan yang tinggi dan sejuknya udara menjadikan rindu begitu mudah untuk tumbuh. Rindu akan rumah dan kasih sayangnya. Kabut-kabut yang setiap malam angkuh bertahta pun tak pernah berpihak, Tak mau memeluk rindu untuk rasa yang tertinggal di Lawu. Kabut tetap dingin memelukku dalam rindu yang semakin tumbuh subur.
      Lagi, perjalanan mengantarku kembali memandang Lawu. Banyak yang hilang. Mungkin hatiku yang tidak lagi berpihak. Atau mungkin juga pesona Lawu yang kian memudar. Aku lelah memandang Lawu yang tak lagi indah. Hanya ada kenangan disana. Kenangan cerita lama yang hanya aku abadikan dalam kata-kata. Untuk rasa yang tertinggal di Lawu. Menyibaknya lagi bersama gendhing-gendhing kenangan kota bengawan. Kota yang mulai hilang keteduhannya. Kota yang orang hebatnya telah menerobos istana ibu kota.

      Beton ibu kota, kokoh yang katanya bagai penjara. Namun siapa peduli. Nyatanya diri ini merasa begitu bebas disana. Bermalam dalam gedung beton yang kokoh sekuat kekuatan yang harus dmiliki untuk menikmati kekejaman ibu kota. Kejam kataya. Namun diri ini tetap menemukan kedamaian, kesejukan dan keteduhan dalam rutinitas gedung-gedung kaca. Menemukan kebebasan dalam kemacetan jalan-jalan yang tidak pernah lekang oleh roda-roda. Kota yang katanya panas oleh suasana. Namun aku justru menemukan keteduhan disini. Seperti gendhing-gendhing kota Benngawan yang selalu menenangkan. Ibu kota punya kisahnya bersama melodi hujan dan deru roda-roda. Asa yang mulai tergenggam satu demi satu hingga satu pinta untuk kembali menikmati nafas diatas kaki Lawu, pulang.
      Pulang. Rumah. Semua kisah kembali menjadi kenangan. Kesejukan Bukit Leuser dan keramaian ibu kota mulai menemani dalam lorong-lorong kenangan. Hadir silih berganti menggerogoti langkah yang ingin mengulangnya, lagi. Lagi hingga aku memiliki sedikit waktu untuk sedikit lebih lama menata hati. Lawu, haruskah aku menetap?
      Ketika begitu banyak pengandaian datang menyapa. Ketika begitu banyak pilihan yang menjadikan hati kian bimbang.
      Disini, dikaki Lawu. Ramadhan hari kesepuluh telah habis dan aku mengenang semua rasa. Segala yang pernah aku punya dan segala yang pernah aku semaikan. Andaikan mimpi-mimpi harus aku letakkan disini, saat ini juga. Mungkin lebih baik seandainya aku tidak disini saat ini. Masih terlalu cepat bila harus menanggalkan mimpi-mimpi disini. Meletakkannya dan membiarkan angin menerbangkannya begitu jauh. Lawu akan selalu menjadi tempat berpijak, bukan tempat dimana harus aku hamburkan mimpi-mimpi yang terlanjur aku punya.
      Dan segala tentang rasa, tentang rumah, kasih sayang dan pulang, aku masih memilikinya hingga saat ini. Belum berubah dan masih membuat aku semakin tegar melewati duri-duri yang kadang harus terinjak. Masih sama. Masih sama sebagaimana aku selalu mendapat kekuatan selepas aku merasa tidak berdaya. Selalu ada tangan yang menarikku saat aku terjatuh dan terperosok begitu dalam. Meski ranting-ranting kehidupan sering ikut menggores luka. Tapi pada tangkainya aku masih berpegangan. Pada rindu yang pernah tumbuh begitu hebat, aku membencinya. Tetapi nyatanya rindu itu yang membuatku harus pulang. Meski aku sering berkata, "Rindu itu bukan hutang yang harus dilunasi dengan pertemuan. Namun melepasnya bersama doa, membiarkannya menguap dan melupakannya. " Sesederhana itu.
      Tentang pengandaian-pengandaian itu. Entah sudah berapa malam sebelum Ramadhan tiba terus mengusik malam-malamku. Hadir bersama angin pagi dan menjemputku di Lawu. Mungkinkah rindu? Tetapi orang bilang, "Ada yang menyapamu dalam doanya." seorang lebih menentramkan parasnya pun bersuara "Sungguh kau beruntung, ada yang mendoakanmu begitu getir hingga kau teringat tentangnya." Tentang rasa yang pernah mereka pertanyakan. Semua alasan mengapa Lawu tidak lagi terasa nyaman. Karena Lawu begitu banyak kenangan. terlalu banyak cerita dan keegoisan yang masih angkuh bertahta dalam kehidupan.
      Ingin aku gugurkan semua keangkuhan itu. Esok Ramadhan hari kesebelas. Aku ingin menggugurkan keangkuhan itu. Membebaskan kenangan dalam kata hingga nanti aku tidak perlu menjawab begitu banyak tanya tentang Lawu dan keindahannya. Kabutnya, hujannya juga bintang-bintangnya. segala keindahan itu tidak lengkap tanpa suara gendhing kota Bengawan.
      Agh.. Membebaskan kenangan? (Menghapusnya. Melupakannya dan membiarkannya hilang) Aku tidak ingin begitu. Mengapa harus dilupakan jika Lawu adalah tempat berpijak?. Lawu telah mengenalkan aku pada gendhing kota bengawan, bukit Leuser, kaca-kaca ibu kota juga begitu banyak tempat indah lainnya. Cerita-cerita kehidupan yang melengkapi setiap perjalanannya. Maka Lawu akan selalu menjadi tempat berpijak tempat aku kembali pulang dan mengobati semua luka-luka.
      Hampir tengah malam. Aku ingin setidaknya satu perjalanan lagi untuk meyakinkan diri dan juga hati. Entah itu aku harus beradu dengan rasa atau lebih dahulu berjumpa dengan mimpi-mimpiku. Andaikan bisa seperti yang lain yang memilih bersama meraih mimpi-mimpinya. Andaikan bisa. 
      Mungkin ini yang mereka sebut dengan menjemput kenangan. Harus ada yang diletakkan meski sebenarnya tidak ingin. Namun kadang memang kita harus menguapkannya, berharap suatu saat dia akan turun menjadi hujan yang mampu kita genggam. Tidak masalah mana yang lebih dulu akan datang, entah itu kenyataan untuk beradu rasa atau tentang mimpi-mimpiku yang lebih dulu aku genggam.
      Maka biarlah rasa tetap begitu. Biarkan kabut menahan rindunya. Biar, biar saja begitu rindu ini tidak berjumpa dahulu. Masih ada mimpi-mimpi yang harus siselesaikan.
      Maka biarlah tetap begitu. Biarkan aku berjalan meraih mimpi-mimpiku. Menelusuri langkahku. Dan pastikan aku kembali pulang.
      Tetaplah disana, ditempat yang semestinya. Mungkin saja aku lelah, sakit atau terluka hingga harus pulang. Maka tetaplah disana sebagaimana hari-hari sebelumnya. Menjadi penawar atas luka-luka.
      Tetaplah disana. Ditempat yang semestinya. Aku ingin satu perjalanan lagi untuk memantapkan hati, memantaskan dan mengumpulkan bukti-bukti.
      Tetaplah disana. Ditempat yang semestinya. Menyambut aku pulang saat aku kembali dengan mimpi yang telah aku genggam.
      Aku ingin datang, duduk bersama menikmati secangkir kopi. Mengenang lagi semua perjalanan meski rasa tidak pernah berpihak. Membuka lagi pengandaian-pengandaian yang telah lalu. Meski aku sering kali merasa khawatir, ketika pulang nanti kenyataan tidak seperti yang aku ingini. Ketika rumah, Lawu dan segala kenangannya hanya mampu ditertawakan. Saat itu aku akan mengerti bahwa tidak ada rasa yang harus dipercakapkan.

Karanganyar, 5 Juni 2017 //
10 hari Ramadhan telah habis

U. Satiti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Suara Hati