Akhiri dengan Bijaksana

Sesering apapun cerita tentangmu sampai kepadaku. Sesering apapun kita bercakap lewat kata yang tertulis dalam layar. Sesering apapun kita mampu bercanda, berdebat juga berselisih tanpa harus bertatap muka. Sesering apapun rencana bertemu yang pada akhirnya hanya tetap rencana tak terwujud. Takdir memang kadang seperti itu.
Aku buka tiga seri buku catatan harianku. Ketika aku kuliah di Kota Bengawan, ketika aku menelusuri rimba di Negeri Seribu Bukit dan satu lagi catatan ketika berada diantara gedung-gedung pencakar langit Ibu Kota. Ada satu rangkaian cerita yang nyatanya tidak terputus. Ada tulisan yang ingin aku sudahi namun ternyata belum juga selesai.
Malam ini semua catatan itu menjelma dihadapanku seakan meminta untuk dituntaskan. Aku mengerti, sangat mengerti bahwa catatan ini harus terselesaikan segera. Sesegera mungkin, seindah mungkin dengan bijaksana.

Tidak perlu menghitung sejak kapan semua itu tertulis. Kota Bengawan yang telah mengawalinya. Segala cerita, canda, tawa yang bertabur mimpi. Marah, kecewa pun turut larut menyatu didalamnya. Kota Bengawan telah mengawalinya. Apapun itu, ya, itulah catatanku. Meski sesungguhnya takdir pertemuan kita sudah jauh terencana oleh Dia jauh-jauh hari sebelum kita terlahir. Bahwa engkau akan hadir dalam perjalananku.
Akhiri dengan bijaksana. Sebijaksana dulu kita bertemu. Meski dalam setiap jengkal langkahnya harus terisi dengan ego masing-masing. Akhiri ini dengan bijaksana. Sebagaimana pelangi yang akan hadir selepas hujan. Meski sesungguhnya aku tahu dalam catatan ini ada ego yang tidak bisa aku hancurkan sendiri. Sebagaimana ego yang kau punya dihadapan kedua mataku. Maka biarlah bijaksana menjadi penutup catatan ini.
Esok bila hujan kembali mengisahkan maka biarlah tetes-tetasnya yang berbicara. Mengisahkan betapa panjang perjalanan cerita kita bersama mereka yang turut mengiringinya. Bagaimanapun kisah itu akan tetap menjadi perjalanan yang tidak akan mudah untuk berlalu tanpa arti. Biar bagaimanapun mengenalmu adalah bagian dari pendewasaan dalam perjalanan panjangku. Kawan rantau yang turut mengisi lorong-lorong waktu kehidupan.
Biar saja hujan berkisah. Menceritakan betapa kita pernah mimiliki hari sebagai kawan yang katanya terlampau dekat. Seorang kawan yang sering mereka percakapkan. Biar hujan yang akan berkisah menjelaskan jejak mereka yang seringkali membawa lebihmu membuat getar gendang telingaku. Atau tentang waktu dimana sering sampai kepadaku deskripsi indah tentang hidupmu. Bahkan sering kali aku dengar harap mereka yang mengingin aku dan kau untuk memiliki kehidupan bersama. Celoteh mereka yang sering aku tangkis dalam senyum yang menjawab segalanya. “Biarkan kami menjalani hidup masing-masing.” atau sekedar mengucapkan “Biarlah hanya sebatas kawan.”
Biarkan rintik-rintik hujan mengurai begitu banyak kenangan yang dimilikinya. Karena memang hujan selalu rapi merekam jejak kenangan. Sebuah tanya yang hingga aku menulis jejak kalimat ini belum mampu aku jawab. “Benar ya kau akan menikah dengan dia” sebuah kata “dia” yang merujuk kepada namamu. Siapa lagi yang menghantarkan berita itu bila bukan angin-angin yang pernah hadir diantara perjalanan kita. Sedangkan kita hidup dalam jalan yang tampak begitu mulus untuk menutup segala rasa. Kita tumbuh dalam keluarga dengan benteng pertahanan jiwa yang terlampau kokoh. Aku tidak menemukan jawaban itu hingga hari ini, saat aku menulis jejak kalimat ini.
Cerita kota Bengawan yang mengalir hingga menerobos barisan bukit negeri nan jauh diujung barat negeri tercinta. Cerita yang terbawa oleh gelombang suara dalam begitu banyak percakapan. Ungkapan kecewa jiwa yang sering bertanya mengapa aku pergi terlampau jauh? Mengapa aku menginginkan singgah di tanah yang begitu asing?
Semua tanya yang sering bertanya tentangmu. Pergiku bukan untuk lari atau menghindar dari begitu banyak tanya tentangmu. Nyatanya meski sudah ribuan kilometer tentangmu masih mengisi perjalanan. Jawabanku masih sama. Kita tetap kawan yang terlanjur dekat dan tetap merapat dalam silaturahmi meski terlalu lama tidak berjumpa. Sebagaimana aku pamit padamu untuk rantauku, aku pun berpamitan pada yang lain dengan cara yang sama.
Hanya saja tentangmu tidak usai dalam perjalan jauh itu. Saat aku menikmati musim hujan sepanjang tahun tanpa henti. Saat aku mempu melaju diatas gumpalan awan. Cerita tentangmu tetap mengiringi dari mereka yang terus mempertanyakan. Sesekali kabar baik tentangmu aku dengar lewat speaker handphone yang serig terputus jaringannya. Aku sering tidak mengerti mengapa mereka terasa begitu ringan membicarakan tentangmu. Serasa aku tahu begitu banyak tentangmu. Menganggap aku begitu memahamimu.
Kita bertemu sekali selepas perjalanan panjang itu. Tidak ada percakapan yang istimewa antara aku dan kau. Hanya obrolan seperti hari biasa sekelompok kawan yang memang jarang sekali berkumpul. Hanya saja percakapanku dengan mereka masih sama. Mempertanyakan tentang dirimu dan aku yang katanya terlampau istimewa. Cerita yang sering kali mereka membuat prasangka. “Jadi kan sama dia?” masih namamu dan belum berganti nama yang lain. Aku hanya tersenyum dan justru balik meminta. “Selagi ada orangnya tanyakan saja langsung.” Percakapan itu tersimpan dalam gurauan yang tidak ingin aku serius dengannya. Aku tahu hari itu, bahwa aku akan kembali jauh dengan kampung halamanku. Aku akan kembali merajut kisah di tanah rantau yang lain. Sibuk dengan kertas-kertas dan membenamkan diri dalam sebuah kontrak “tidak menikah selama pendidikan”. Aku benamkan diri bersama buku-buku dan alasan yang tidak lagi terbantahkan. Inginku, hari itu usailah semua ceritaku denganmu. Bukan ceritaku denganmu, hanya saja berita-berita yang sering terdengar berbeda makna di lain telinga.
Langit ibu kota. Kesibukan yang benar-benar nyata untuk dijalanani. Menabur benih rindu? Iya, tetapi tidak denganmu. Meski beberapa tanya harus kembali aku jawab. Tanya yang tidak pernah jauh berbeda dari pertanyaan yang sudah-sudah. “Mengapa lari?” atau terucap dalam kalimat lain “Kurang apa dia untukmu?” tanya yang masih merujuk kata “dia” adalah dirimu. Hingga aku tidak pernah benar-benar paham mengapa terus namamu yang membuat mereka bertanya. Mengapa tidak nama yang lain atau seseorang yang baru dalam hidupku. Orang yang mungkin aku temukan dalam rantauku.
Pun sebagaimana angin yang terus menerbangkan debu-debu. Banyak kisah tentangmu yang menerobos padatnya ibu kota. Meski tidak sesering hari itu ketika  jaringan seluler harus putus nyambung. Pertanyaan dan juga cerita dari mereka yang dekat denganku juga tidak jauh dari hidupmu. Aku tidak pernah benar-benar memahami hingga suatu hari benar-benar terjadi dan membuat aku tersadar dengan sendirinya.
Aku tidak pernah benar-benar paham sampai suatu hari terjadi. Ketika malam mulai menampakkan gelapnya. Pertemuan dengan sahabat-sahabat baikku setelah melewati perjalanan dengan kereta api. Melepas rindu yang terlalu lama terbenam. Kembali bercerita mengenang perjalanan kota Bengawan. Sebuah kota yang mempertemukan kami hingga hari ini menjadi sahabat baik yang terus saling mengisi. Bertiga. Aku dan dua sahabat perempuanku. Hingga satu kalimat terucap “Sama dia saja.” Kata seorang dari mereka lantas satunya meng-iya-kan. “Iya. Dengan dia saja.” Anggukan yang diiringi tos kedua tangan mereka dihadapanku. Benar, kata “dia” yang masih merujuk pada namamu. Membuatku benar-benar diam. Pasalnya mereka orang-orang terdekatku dan orang-orang terdekatmu.
Sedekat itukah aku dan kau?
Aku terlanjur pulang. Aku pulang untuk menata ulang segala perjalanan. Entah untuk kembali menikmati rantau atau menuntaskan cerita untuk kampung halaman. Itu semua tidak jauh berbeda. Hanya saja ada cerita yang harus usai. Ketika masih saja ada jiwa yang bertanya tentang engkau, aku hanya akan menjawab “Aku tidak tahu” Aku ingin menjawab seperti itu. Sejauh ini dalam lintas tiga kota yang pernah terlewati, aku tidak pernah tahu sejauh apa angin menebar cerita tentangku padamu. Aku tidak pernah tahu ceritaku yang mana yang sampai pada pendengaranmu. Aku tidak pernah tahu. Maka biar pertemuan tetap mengisahkan layaknya kita sebagai kawan yang jarang berjumpa.
Pun andaikan bertemu, biarkan pertemuan mengisahkan cerita sahabat, cerita kawan yang memang lama tidak berjumpa. Bukan seperti tanya yang sudah-sudah. Masing-masing dari kita akan tetap berjalan pada garis ketetapan-Nya. Sama-sama tidak tahu nama siapa yang kelak akan bersanding dengan kita menggores tanda tangan diatas sepasang buku dari petugas kantor urusan agama.

Karanganyar, 19 September 2017

U. Satiti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Suara Hati