Aku, Engkau dan Mereka dalam Kereta


Pertemuan dengan dirimu yang ternyata aku rindukan. Bukan karena apa-apa. Mungkin aku yang terlalu mengenang perjalanan ini. Engkau yang pernah hadir dalam langkah kaki ini. mengiringi derap-derap langkah yang pernah ada. Dan mungkin inilah jawaban yang mampu aku berikan atas surat-suaratmu selama ini. Surat-surat panjang yang telah engkau tulis. Pesan-pesan yang kini hanya bisa aku baca ulang. Karena dulu aku tidak tahu harus mengirimkan jawabannya kepada siapa, kecuali hanya pada barisan angka yang ada disana.
Hari ini aku kembali memandang kotak besi yang biasa hanya bertahta diatas almari buku di sudut kamar. Awalnya tidak ada niatan sedikitpun untuk aku menuliskan barisan kata ini. Hanya ada niatan untuk menata ulang kamar yang sudah beberapa bulan ini aku abaikan. Bahkan lebih sering aku lepaskan lelahku diruang depan. Terlelap dikursi panjang yang hanya cukup nyaman untuk aku rebahkan badanku disana. Aku hanya menyingkirkannya dan mengabaikankan kotak besi yang ternyata sudah berdebu lantas segera aku memulai menata buku-buku kuliah. Membuang kertas-kertas yang sudah tidak penting lagi.

Inilah kamarku yang serba segalanya. Tempat aku terlelap, belajar menyelesaikan tuga-tugas kuliah. Disini aku sering membawa pulang tugas-tugas kelembagaan di kampus yang sering membuatku mampu membagi waktu. Bagiku tempat ini cukup luas, sangat luas untuk aku juga menyelesaikan pekerjaannku untuk mencari sedikit bekal kehidupan. Setidaknya agar esok mampu melangkahkan kaki di kampus.
Dipenghujung hari, aku hampir selesai dengan semua buku-buku. Aku telah berhasil memisahkan lagi antara bacaan sehari-hari dan buku-buku kuliah. Pandanganku kembali tertuju pada kotak besi yang berdebu. Masih ada satu kotak yang harus aku bereskan. Rasanya ada nafas yang tertahan setiap kali harus membukanya lagi. Tapi aku takut bila ada yang rusak dalam kotak itu. Aku melihat salah satu ujungnya mulai berkarat. Mungkin karena sudah lama tidak aku bersihkan.
Aku kembali membuka kotak besiku. Kotak kecil yang selalu membuat aku marah bila saudaraku mencoba membukanya. Hingga sering aku hanya memasukkan potongan-potongan kertas disana. Atau lembaran-lembaran bekas buku catatan harianku. Disana jelas semua masa lalu mampu aku hadirkan lagi dalam ingatanku. Mudah saja bagiku untuk mengenang segalanya lewat kotak besi itu. Karena begitu banyak kehidupan semu yang masih membekas.
Lembaran-lembaran darimu yang kini kembali aku membacanya. Surat-surat panjangmu yang kembali aku buka. Sering aku berfikir, ”Benarkah itu untukku?” Alangkah manisnya semua kata yang tertulis dalam lipatan-lipatan kecilmu. Aku hanya kembali membacanya dan mungkin barisan kata itu yang mampu membuat aku bertahan sampai hari ini untuk kembali tersadar mengingat masa lalu. Meski belum terlalu lama terjadi dalam hidupku tetapi aku merasa telah kehilangan bagian-bagian lembar sejarah cintamu. Atau memang engkau tidak menulis lagi untukku. Atau aku yang memang sudah tidak lagi berhak atas untaian kata manismu.
Malam ini dalam kesunyian aku kembali membuka kotak besi untuk yang kedua kalinya. Sekarang aku telah selesai membaca ulang semua surat-suratmu yang aku punya. Mungkin aku yang terlalu mendramatisir semua kenangan ini. Malam selarut ini masih mampu aku terjaga untuk memandang lipatan-lipatan kertas darimu. Engkau yang tidak pernah aku tahu seberapa besar mencintaiku. Engkau yang sering membuatku marah. Engkau yang sering membuatku menangis. Engkau pula yang sering membawaku kembali menatap kehidupan ini dengan cara berbeda. Engkau yang membuat aku mampu bertahan. Engkau yang sering membuat aku tidak mengerti akan arti hidup ini. Karena terlalu sering engkau membuatku bangkit dan membuatku merasakan yang namanya kembali terhempas dari tebing yang lebih tinggi. Aku harus berguling dalam jurang yang semakin dalam. Sampai aku tak tahu harus menempatkan engkau dimana dalam ruang hatiku. Sampai suatu hari pilihan itu kembali membuat aku tersadar dan mampu memberimu ruang istimewa dalam kehidupan ini.
Engaku mengajari aku untuk tidak mengenal kata ”Terlambat.” Sebab itu aku relakan malam ini untuk kembali mengenang perjalanan kecil yang pernah kita lalui. Aku relakan bila ini ternyata adalah kristal air mata kerinduan. Aku tahu, tetesan ini berbeda dengan butiran-butiran yang biasa ada dalam malam-malamku beberapa hari ini.
Tanpa aku sadari, aku telah kembali berada dalam kereta. Entah kenapa perjalanan begitu terasa sangat lama. Kereta memutar roda besinya seakan sangat lambat. Pemandangan yang aku lihat juga hanya bergeser sedikit demi sedikit. Sedang engkau tahu, kereta ini sangat penuh. Rasanya sangat pengap dan bising suaranya. Aku tidak tahu parfum apa yang digunakan orang-orang ini. Aku hanya merasa pusing dikepalaku. Rasanya ingin memuntahkan semua isi perutku. Sungguh aku tidak tahan. Kereta ini yang awalnya aku kira akana menjadi perjalanan yang menyenangkan. Karena itu yang pernah engkau katakan padaku. Ini akan menjadi perjalanan yang berkesan. Sungguh memang sangat berkesan, sampai baru beberapa menit saja aku sudah ingin muntah.
Tetapi engkau memandangku dan tersenyum. Kau bilang aku bisa muntah di toilet yang berada diujung gerbong. Aku pikir itu adalah lelucon paling tidak lucu yang pernah aku dengar. Bagaimana mungkin aku bisa mencapai pintu diujung gerbong ini sedang untuk berdiri saja rasanya sangat sesak. Kereta ini terlalu penuh. Kau bilang bisa naik saja sudah beruntung. Karena bila tidak dengan kereta ini kita akan tertinggal. Sepertinya kau memang sudah terbiasa dengan perjalanan seperti ini, tapi aku tidak.
Kereta terus melaju dan semakin kencang melaju. Aku mulai terbiasa dengan rasa pusing dikepala dan mual dalam perutku. Mungkin karena udara aku sudah menerima gado-gado perfum yang menyengat. Mungkin juga aku terlanjur mampu mendengar teriakan-teriakan bising dalam kereta. Tak aku sangka masih mampu aku berdiri dalam gerbong yang penat ini. mungkin karena engkau yang mengajari aku untuk menikmati perjalanan ini. Engkau pinjamkan ear-phone agar aku bisa mendengar lagu-lagu yang lebih nyaman untuk aku dengarkan. Kau katakan perjalanan ini tidak akan lama. Kau bilang kita akan segera sampai pada stasiun terakhir yang kita tuju.
Mungkin karena aku terlalu menikmati perjalanan ini semua terasa sangat lebih nyaman untuk dilalui. Sering kali kereta ini oleng, tapi engkau ajari aku untuk berdzikir. Menenangkan diri dan merelakan kehidupan ini. Membuat aku kembali tersadar bahwa kehidupan ini ada yang memiliki. Kau kembali mengingatkan aku untuk sering beristigfar saat kereta ini melaju terlalu kencang. Sampai membuat raga ini merasakan sakitnya. Dan saat itu pula kau berikan bahumu untuk menopang rapuhnya ragaku. Kau berikan bahumu untuk aku menangis saat kereta ini bederit. Sampai aku merasa kembali merasa aman untuk kembali menikmati perjalanan ini.
Kau bilang, ”Jangan lupa bersyukur.” saat kita teleh melewati lorong gelap yang panjang. Aku teringat saat engkau mencoba menenangkan penumpang lain yang juga lebih ketakutan. Kembali engkau membuat aku mengerti tentang arti kebersamaan dan rasa memiliki. Meski dengan seseorang yang belum kita kenal sekalipun.
Sampai akhirnya aku melihat ada sebuah senyuman yang cukup menyenangkan dari mereka. Namun banyak pula yang memilih untuk turun di stasiun trasit. Mereka bilang takut. Mereka bilang pusing dan mual. Ada yang bilang telah lelah dan tidak sanggup lagi berdiri. Banyak merasa sesak nafas. Dan mereka memilih untuk turun. Bukan untuk sejenak beristirahat tetapi untuk menyudahi perjalanan mereka.
Tapi kau bilang padaku kalau aku boleh turun dan menghirup udara segar tetapi tidak boleh tertinggal kereta. Atau kalau aku terlalu takut akan tertinggal kereta, aku cukup menikmati sejukkanya angin stasiun dari pintu gerbong kereta.
Lagi-lagi engkau membuatku merasa gelisah. Kau membuatku kembali merasakan ketakutan. Saat aku melihat engkau turun menenteng ransel dipunggungmu. Mengambil lagi ear-phone yang tadi engkau pinjamkan. Aku tahu engkau akan pergi meninggalkan aku. Engkau ulurkan tanganmu dan mengucap kata perpisahan. Kau ucap kata maaf untuk segala yang pernah aku rasakan saat denganmu. Iku kata perpisahan yang sangat menjerat hati.
Kau bilang memang engaku harus berpindah gerbong. Betapa aku sangat merasa sedih saat kau katakan aku tidak bisa satu gerbong lagi denganmu. Aku mulai berfikir sesuatu yang buruk akan kembali menimpaku. Siapa nanti yang akan meminjamkan ear-phone padaku? Siapa nanti yang akan merelakan dirinya untuk menopangku saat kereta melaju terlalu kencang? Siapa yang nanti akan merelakan pundakknya untuk aku menangis karena ketakutan? Aku katakan padamu kalau aku takut.
Kau menunjuk orang-orang yang tidak aku kenal. Kau katakan mereka yang akan tetap membersamaiku dalam gerbong yang sama. Juga orang-orang yang hendak naik dari stasiun ini. Aku membuatku semakin frustasi. Kau tahu aku bukan orang yang mudah menerima kehadiran orang asing dalam hidupku. Bagaimana aku dalam gerbong ini nantinya?
Jujur, rasanya aku tidak ingin naik lagi dalam gerbong yang sesak itu. Kau bilang hanya orang-orang yang kuat yang akan mampu melewati lorong-lorong selanjutnya. Meski berulang kali engkau meyakinkan aku, tapi tidak juga naik memasuki gerbong keretaku. Sampai peluit keberangkatan kereta telah terdengar, kita masih saja bedebat. Aku katakan aku tidak ingin naik lagi. Lagi-lagi engkau meyakinkan aku untuk naik. Kau paksa aku untuk naik tapi aku hanya menggelengkan kepala.
Peluit panjang telah berakhir. Roda kereta mulai berputar dan engaku terlihat sangat cemas. Kau katakan lagi padaku kalau aku harus naik. Tetapi aku hanya memandang gerbongku dengan tatapan hampa. Aku katakan aku takut.
”Kau harus tetap naik!” Kau berteriak padaku.
”Aku takut!” Aku balas berteriak padamu.
”Naiklah! Cepat!” Kau lambaikan tangan dan berlari menuju gerbong barumu.
Aku masih ragu menatap roda yang mulai berputar. Aku melihat senyuman dari mereka yang telah ada dalam sesaknya ruang kereta. Seorang mengulurkan tangan dan memintaku untuk menerimanya. Meski masih merasa ragu, akhirnya aku naik juga. Kini aku telah kembali berada dalam kereta yang semakin penuh dan sesak.
Meski terasa semakin penuh aku telah terbiasa dengan suasana ini. Aku lebih mudah mengerti caranya beradaptasi. Berlahan aku mengajari mereka yang baru saja naik. Mereka juga ada yang pusing, ada yang muntah, bahkan ada yang pingsan. Sayangnya tidak ada tenaga medis disini. Beruntung kau pernah mengajariku merawat orang yang sakit. Beruntung kau pernah mengajari aku bercanda meski hanya untuk sekedar penghibur dalam penatnya suasana. Terimakasih telah mengajari aku begitu banyak hal dalam perjalanan ini.
Terimakasih untuk bekal yang telah engkau berikan, bantuan uluran tanganmu, pundak yang telah engkau pinjamkan padaku. Aku mengerti bahwa itu semua sungguh berarti dalam hidupku. Bahkan sering engkau transfer energi dan semangatmu untukku yang sering lemas selama perjalanan.
Stasiun transit selanjutnya aku mengerti sudah saatnya untuk aku turun dari gerbong kereta. Aku menatap gerbong yang lain dan berharap menemukan engkau untuk sejenak kita bicara. Namun ternyata senyuman itu yang aku dapatkan. Senyuman dengan sejuta makna yang membuatku sulit untuk memahaminya. Semoga saja engkau mengerti tentang pilihanku saat ini. Bila beberapa waktu lalu kau ucap kalau kau hanya berpindah gerbong dan masih satu kereta tetapi maafkanlah aku. Semoga kita mampu bertemu lagi di stasiun transit selanjutntnya.
Maaf, dalam perjalanan kemarin ada yang terlewatkan. Ada juga sesuatu yang bekal yang ternyata tidak ada dalam kereta ini. Maafkanlah, aku hanya harus berganti kereta sebentar. Mungkin stasiun trasit selanjutnya akan berada lagi dalam satu kereta. Tidak bermaksud membuatmu khawatir. Tidak ingin engkau kecewa dengan pilihan ini. Ini adalah bagian dari hidupku. Relakanlah sebentar saja aku berganti kereta. Bukankah teknologi sudah sangat canggih. Era digital telah menyelamatkan kita untuk tetap saling mengerti dan mengenal. Maaf, sekali ini engkau tidak bisa menahanku lagi.
Aku kembali memandang gerbong keretaku. Ada rasa sedih meninggalkannya. Ada rasa takut saat aku harus melepaskannya. Bagaimana nanti mereka yang ada disana? Sedang lorong selanjutnya akan memiliki medan yang jauh berbeda. Seperti dahulu, ada yang harus turun dan ada yang tetap tinggal, juga ada yang harus naik. Ada yang harus berganti gerbong juga. Tetapi aku melangkah meningkan kereta yang telah memberi begitu banyak pelajaran. Aku mencoba tidak memandangnya, mungkin hati ini masih takut untuk kehilangan. Tetapi memang aku harus berganti kereta dahulu untuk mencari lagi bekal yang terlewatkan itu. Semoga saja aku akan mampu kembali kesana. Semoga akan aku dapatkan lagi tiket untuk naik kereta yang sama denganmu.
Suara peluit dan roda yang berdecit membuatku berhenti melangkah. Memutar lagi badanku dan kembali memandang gerbong keretaku. Ada yang mengalir dari kedua mata ini. Namun ini adalah pilihan yang aku punya. Aku tahu, meski tidak ada yang berteriak padaku saat ini, aku tahu disana tadi ada yang menahan langkahku. Ada yang mengatakan takut. Ada yang masih sakit. Namun disana pula aku tahu telah ada yang cukup kuat untuk menemani perjalanan itu. Telah ada yang mampu untuk menemani perjalanan. Dan telah ada yang merelakan hati untuk menjadi pemandu. Maafkan aku yang harus berpindah kereta. Bukan maksud untuk meninggalkanmu dan membiarkanmu berdesakan dengan orang-orang yang tidak engkau kenal. Maaf....
Perjalanan ini akan tetap berlanjut. Siapun yang berada dalam gerbong itu, maka dialah yang akan menikmati perjalanannya. Semoga engkau akan mengerti saat-saat indah yang bisa kita nikmati. Bagaimanapun adanya, perjalanan akan tetap berlanjut. Bekalku telah aku tinggalkan disana, telah aku bagi denganmu. Hanya tinggal sisa-sisa yang tidak mudah habis yang bisa aku bawa. Bila nanti engkau memerlukannya, cukup tekan tombol ”call”
Roda telah mulai berputar. Aku menatap gerbong keretaku yang mulai meninggalkan diri yang hanya mematung di tepi rel. Mencoba untuk tersenyum dan menahan kaki agar tetap mampu untuk berdiri.

Terimakasih...
Untuk raga yang telah kuat menahanku, terluka karenaku. Raga yang telah merelakan dirinya untuk menjagaku dari benturan-benturan selama dalam perjalanan. Raga yang sering meneteskan keringat berlebih untuk menjaga dan membuatku tetap bertahan karena merasa nyaman. Maafkan aku yang harus sering membuatmu merasa lelah dalam perjalanan. Karena engkau harus tetap terjaga saat aku terlelap.
Terimakasih, untuk jiwa yang telah sabar menemaniku. Membuatku tersenyum dan tertawa. Mengajari aku banyak hal tentang kehidupan ini. Jiwa yang harus sering menangis karena mengkhawatirkan aku. Jiwa yang tak pernah lelah memberikan teladan dalam bertindak dan bersikap. Jiwa yang mengajari aku untuk merindukan Pemilik Semesta. Maafkanlah bila engkau pernah merasakan sakit karena aku. Hanya bisa aku berdo’a agar Dia menyembuhkan lukamu, menggugurkan dosamu dan menjagamu. Menempatkanmu dalam barisan orang-orang pilihanNYA untuk tetap melangkah dijalan yang lurus.
Maaf, bila sering aku membuatmu marah karena sikapku. Membuatmu jengkel karena tingkahku. Sering membuat engkau khawatir. Bila aku sering membantah atau berteriak padamu dan itu melukai perasaanmu, sebenarnya tidak ada maksud begitu dalam hatiku. Semua itu karena keterbatasanku yang belum mampu untuk bersabar. Bila selama perjalanan itu sering aku memaksamu memberikan bekalmu itu karena aku tahu engkau memiliki bekal yang lebih dan bekalku tidak cukup untuk memberi suplay energi.
Bila engkau bilang tidak cukup berjuta kata untuk mengungkapkan tentang diriku, maka aku katakan milyaran kata tidak cukup untuk mengisahkan tentangmu. Engkau yang telah mengingatkan aku untuk senantiasa bersyukur, ikhlas dan juga bersabar.
Stasiun terakhir itu, semoga kita mampu berhenti disana dan menikmati nyamanya persinggahan yang dijanjikan Sang Penggenggam Stasiun Semesta.


Dari hati yang kini terbalut rindu.
Untuk hati yang akan saling mencintai karena Allah.
Semoga perjalanan ini mampu kita jadikan pelajaran dalam menjalani hidup.
Meski aku telah berganti kereta,
Izinkan hati ini tetap saling menjaga, mencintai dan saling mengirim do’a.
Sebuah kata maaf semoga mampu menjadi penyejuk dalam hari-harimu.
Karena aku telah berpindah kereta.
Semoga tidak membuat engkau berhenti mencintaiku.
           
            Rasanya sangat berat menuliskan semua ini. terlebih mengatakan kalau aku memilih kereta yang lain untuk melangkah. Tetapi percayalah, aku mampu. Karena engkau telah mengajari aku untuk memilih. Karena engkau telah mengajari aku untuk menjaga diri, juga karena engkau telah mengajari aku untuk menangung resiko. Kau mengajari aku untuk mendekat kepada Pemilik Semesta.
            Diawal sepertiga malam terakhir. Aku menutup lagi kotak besiku dan mengakhiri mengenang perjalanan denganmu. Menutup rapat kotak besi dan meletakkannya kembali diatas almari buku. Semoga akan tetap saling mencintai dan memberi semangat. Aku sadari banyak yang tak sempurna dari diri ini.

07 Mei 2013
Ary Pelangi
Kota Negeri Khayalan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe