Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerita

Ambigu

Gambar
Kau merajut cinta dengan dia, menyiramnya dengan perhatian, dan mencoba menyembnyikannya. Sayangnya, aku terlalu peka dengan riak rasa yang kau cipta. Namanu pernah tersebut dalam sebuah percakapan yang menghadirkan tawa penuh sayatan luka. Bukan karena aku kehilangan kamu lagi, hanya saja aku tahu akhir ceritamu akan berujung luka. Bunga yang kamu siram, kamu jaga hingga akarnya, dan kamu banggakan akan menemui tuannya. Itu bukan kamu yang bekerja keras membuatnya tersenyum ketika luka. Sebuah ingatan membawa akan percakapan lintas masa. Mempertemukan aku dengan sahabatmu dan mendengar pengaduan tentang kisah hidupmu. Semua itu seirama, jejak yang membuatku hanya menjadi pendengar setia lalu tertawa dalam luka. Ingin mematahkanmu hari itu juga, tetapi kamu begitu yakin bahwa dia akan menjadi milikmu. Hidup bersamamu dan menikmati alam ciptaan Yang Maha Esa dalam kebersamaan yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Itu hanya mimpimu yang ingin aku hapus sejak kamu mengaku memperjuangkan

Paket Komplitnya Kamu

Gambar
    Kamu adalah paket komplit yang menemani perjalanan ini begitu lama. Kamu adalah paket komplit yang tak bisa diurai untuk dipilih mana yang aku suka lantas aku singgkirkan bagian yang tidak kuinginkan. Kamu adalah paket komplit yang tidak pernah bisa ditawar. Malam ini hujan deras menjelang waktu tidur. Inginku menarik selimut saja menutup hari dengan doa-doa untuk hari esok. Seperti biasa, aku tuntaskan dulu pesan-pesan di ponsel agar tidak menjadi tanggungan hari berikutnya. Sayangnya, pesan atas namamu muncul dalam sebuah label percakapan, entah mempercakapkan apa, aku tidak begitu mengerti. Aku mengenalmu saat rintik hujan, dalam sebuah perjalanan dan mengisahkan riak-riak air langit yang jatuh di atap. Aku mengenalmu dalam senja yang tidak pernah sempurna kemerah-merahannya. Dalam jauhnya langkah yang menelusuri trotoar, di sanalah aku memahami dirimu yang lain. Sisi hidup yang tidak aku inginkan ada padamu. Sosok keras kepalanya kamu dan dinginnya sifatmu. Ingin sekali aku

Suara Hati

Gambar
   Hujan sore ini mengingatkan aku akan banyak cerita. Rintiknya membawaku berkelana pada ribuan aksara yang pernah tersaji dalam lembar karya. Sesekali kilat menyambar membangunkan lamunan bahwa pernah tercipta luka dari sebuah kelana. Guruh bersuara membenarkan bahwa ada bekas luka yang masih tersisa dalam goresan pena. Salah siapa? Hati menyalahkan logika yang terlalu angkuh mengambil setiap keputusan tentang rasa. Sementara akal berteriak mengutuk hati yang terlalu lemah dan tidak pernah mampu memilih kebijakan. Keduanya terus beradu hingga kumandang azan memanggil untuk berbuka. Diri meneguk air setelah sehari menahan dahaga. Aku tidak mengerti mengapa mereka selalu berdebat? Hati dan logika tidak pernah sepakat tentang paket cinta yang datang menyuguhkan masa depan. Sementara jari-jari tangan memilih akrab dengan lembaran kertas dan pena. Merekam setiap perdebatan lantas menyuguhkannnya di atas panggung pameran. Sementara mata menjadi bagian paling sengsara sebab harus meng

Menghilang di Batas Rasa

Gambar
Malam ini, bolehkah aku habiskan air mata untukmu? Setidaknya untuk yang terakhir kali dan besok tidak akan ada lagi. Aku lelah bila tiba-tiba hariku harus basah oleh air mata yang menyebut namamu. Boleh ya, sekali ini saja aku menangis? Aku lelah terus berpura-pura tersenyum setiap kali namamu dihidangkan dalam percakapan. Bukannya aku tidak suka. Aku hanya lelah terus mengunyah remukan rengginang sembari menjawab pertanyaan tentang perjalanan hidupmu. Sebentar lagi Syawal, itu artinya namamu akan kembali menjadi sajian meramaikan meja tamu yang berhias kaleng roti. Kau bisa membayangkan betapa indahnya namamu tersaji. Membuatku ingin meneguk secangkir kopi, tetapi selalu gagal. Tanganku terlalu lihai membuat campuran air sirup dan menyuguhkannya dengan senyum paling munafik yang kupunya. Malam ini, Ramadhan kembali menyapa. Aku menjadi sangat gembira karenanya. Sebab aku akan menjadi perempuan yang lebih kuat dan lebih bijak berkata-kata. Seperti itulah Allah mempersiapkan aku

Jangan Makan Cinta (Bagian Tiga)

Gambar
Arypelangi ,- Apa yang kita bicarakan diangka usia kedua puluh enam? Diangka itu, tepatnya saat libur hari raya aku membicarakan pernikahan dengan sahabat lelakiku. Libur lebaran, dan aku pun libur dari rutinitas pendidikan profesi di ibu kota. Kami membicarakan pernikahan tanpa bertatap muka. Hanya dengan menatap barisan kalimat yang saling berbalas dalam layar handphone. Disanalah kami membicarakan pernikahan juga rasa yang akhirnya terungkap setelah lama terpendam waktu. Tepat sekali, hati yang tidak jadi dan tentunya itu bukan pernikahan kami berdua. Ini adalah tentang cinta “Mrs.A” dan “Mr.B” yang telah lama berusaha dijaga dan diperjuangkan. Langkah yang telah serius dan telah berkenalan dengan keluarga masing-masing. Namun hati manusia siapa yang tahu. Tahu-tahu rasa yang telah dipupuk itu ambyar begitu saja ketika “Mr.B” mengajukan nama “Mrs.C” untuk menemani sisa usianya. “Mr.B” telah menemukan pilihannya. Seiring waktu, kini mereka telah hidup dengan pasangan masin

Jangan Makan Cinta (Bagian Dua)

Gambar
Ary Pelangi, - Pagi yang membuatku enggan beranjak terbangun lagi setelah kewajiban pagi tertunaikan. Hari libur memang, hingga tidak perlu beraktifitas untuk cepat-cepat sampai di ruang kerja. Sederet agenda full hari sabtu telah tertata dengan janji-janji yang telah lama disepakati. Nyatanya aku harus beranjak juga menuju kota Bengawan untuk menuntaskan janji-janji temu yang telah disepakati. Undangan pernikahan seorang teman membuat tema berbeda dipagi yang tidak lagi sejuk. Antara menghadiri undangan atau tidak, dilema. Teman-teman sekampus sudah jauh dengan takdir kehidupan masing-masing. Pekerjaan dan pernikahan banyak menghadirkan kisah baru. Pernikahan adalah pembicaraan yang tidak pernah habis. Begitu juga dengan gadis yang teman-temannya sudah menggandeng suami dan anak ke acara kondangan. Pasangan adalah topik emas untuk ditabuh menjadi inti percakapan.

Aku, Habibie dan Sebuah Pertemuan

Gambar
Aku dan Prof. Habibie satu ruang Bertemu Habibie, sebuah jalan cerita yang membuat tatanan hidup ini menjadi lebih bermakna. Meski sebuah temu yang teramat singkat namun begitu banyak makna yang tercipta. Terlebih untuk jiwa yang semangat hidupnya harus selalu dikobarkan. Agar tidak rapuh dan tak mengenal lelah dalam membangun negerinya. “Hanya anak bangsa sendirilah yang dapat diandalkan untuk membangun Indonesia. Tidak mungkin kita mengharapkan dari bangsa lain.” (BJ Habibie)

Sepaket Hadiah di Ibu Kota

Gambar
Teruntuk yang istimewa Hadiah sederhana untuk sahabat yang luar biasa. Meski kau sudah memiliki bukunya, atau sudah memnonton filmnya tetapi tetap buku ini akan menjadi hadiahnya. Hahaha. Semoga cerita di buku ini, akan menjadi satu diantara berjuta rasa, berjuta alasan, berjuta pemahaman untuk terus menggapai cita.. Karena bumi Allah Sungguh Luas Saudaraku... Dimanapun kita berada, saat ini dan nantinya. Tujuan kita sama untuk pulang ke tempat yang kita cita-citakan, dan setiap tanah yang kita pijak, setiap udara yang kita hirup, dan setiap detak jantung. adalah kesempatan adalah mimpi adalah cita adalah karya Jakarta, 230117 -R- ***

Celah Rindu "Dekapan Ibu Kota"

Gambar
Rindu ini mulai menyapa lagi dalam ruang doa untukmu. Ruang itu terisi kembali akan ingatan tentangmu. Perjuangkan saja. Kita tidak akan memahami sang waktu. ***             Keindahan ibu kota tidak membenamkan akan ingatan tentangmu. Kota yang tidak pernah terlelap masih membuatku mengenang hari yang dulu. Lampu-lampu yag selalu benderang masih mengisahkan cerita hari lalu. Ada jalan-jalan yang lapang. Ada jalan-jalan yang terasa begitu sempit saking sesaknya oleh roda-roda. Gedung-gedung indah mengisahkan keangkuhannya, seakan tidak terkalahkan. Seakan yang terbaik dan seolah yang paling mampu menyentuh bintang-bintang angkasa. Haruskah aku seangkuh itu? Menghancurkan rindu agar tidak teringat tentangmu. Rindu yang hanya sepihak. Rindu yang tidak pernah tersampaikan. Rindu yang pernah aku hempaskan di ujung negeriku sendiri. Tentangmu. Tentang hari bersamamu.

Menjemput Kenangan

Gambar
      Menjemput kenangan. Lantas kenangan seperti apa yang akan kita lukis dalam perjalanan ini?       Ceritaku tentang Lawu. Suatu tempat dengan pesona indahnya. Lawu punya hujan, kabut, juga bintang-bintang. Memadukan kisahnya dengan gendhing-gendhing lagu Kota Bengawan. Lengkap sudah lagu cinta yang tertulis dalam keagungan senyuman. Segala kisah yang terbungkus dalam marah, kecewa dan mengantarkan pada satu rumah bernama kasih sayang. Rumah, bangunan beton yang pada akhirnya harus ditinggalkan untuk sebuah perjalanan panjang. Menjemput mimpi di atas bukit barisan.       Bukit-bukit Leuser mulai menanam rindu. Tanahnya yang subur, curah hujan yang tinggi dan sejuknya udara menjadikan rindu begitu mudah untuk tumbuh. Rindu akan rumah dan kasih sayangnya. Kabut-kabut yang setiap malam angkuh bertahta pun tak pernah berpihak, Tak mau memeluk rindu untuk rasa yang tertinggal di Lawu. Kabut tetap dingin memelukku dalam rindu yang semakin tumbuh subur.       Lagi, perjalanan

Mengenalmu Lagi

Gambar
             Setelah banyak musim berganti             Setelah banyak senja yang saling berganti             Betelah begitu banyak kebersamaan yang harus terhenti             Setelah ribuan kilometer jarak membuat bertemu lagi             Setalah banyak hujan berganti pelangi Setelah janji-janji pernah terucap             Aku ingin mengenalmu lagi, lagi dan sekali lagi             Aku ingin mengenalmu lagi dan sekali lagi

Angka Itu “26”

Gambar
Begitu saja segalanya meleleh malam itu. Air bening begitu hebatnya menembus kokohnya kelopak mata. Bahkan dia tidak tahu malam itu untuk siapa air mata itu tumpah. Air mata yang deras mengalir untuk nama yang belum dia tahu. Untuk wajah yang belum pernah dia temui. Malam yang mulai larut mengantarkan canda pada percakapan indah. Dia tidak menanggapinya karena baginya lelaki itu hanya seorang kawan yang keterlaluan bercanda. “Mau ga? Temenku ada yang siap nikah nih.” Lelaki itu menulis sebuah komentar di akun sosmednya.             Resah. Malam itu hanya dengan membaca komentar sederhana itu dia mengakhiri canda dalam tulisan di akun. Seorang lelaki seperti itu, teman yang mampu memposisikan diri dalam bercanda. Dia kira lelaki itu sangat keterlaluan. Sudah bukan sepantasnya lagi bercanda tenang pernikahan.             Angka dua puluh enam mengajarkannya tentang kedewasaan yang membuat lebih memahami betapa indah dan rumitnya perjalanan cinta. Rasa yang telah mengombang ambi

Belajar Berserah (Menuju UTN Ulang 2 PPG SM-3T)

Gambar
“Perjalanan kita tidak mudah untuk didefinisikan meski telah berulang kali memutar otak, memilih kata yang tepat. Nyatanya aku selalu belajar dari kebersamaan kita. Perjalanan yang hampir satu tahun. PPG SM-3T PLB UNJ.” (Karanganyar, 30 Desember 2016)             Malam sudah larut hanya saja tangan-tangan ini masih sibuk dengan rangkaian tugas yang belum juga selesai. Bukan tugas kuliah seperti yang biasa dikerjakan diasrama. Saat itu aku sengaja pulang kerumah menyelesaikan apa yang mesti diselesaikan. Kepulangan yang sudah aku rencanakan berbulan-bulan lamanya. Jari-jari tanganku lincah membalas pesan-pesan yang tampak dalam layar handphone. Beberapa teman yang lama tidak bertemu, setdaknya aku hanya mengabarkan kepulangan dan mungkin bisa meluangkan waktu untuk berjumpa, membagi ilmu yang rasanya terlalu rumit aku pelajari di ibu kota. Agh, mungkin saja mereka mampu mencairkannya, setidaknya membantu membahasakan hingga aku mengerti. Aku masih berdiskusi lewat akun yang

Tentang Sebuah Doa

Aku terbangun sebelum fajar menyapa. Kutahu akan doa-doa yang sering terucap untuk kehidupan dibalik Lawu. Kenyamanan yang lama aku jalani, juga kebersamaan yang baru aku nikmati. Pada akhirnya terucap jadi satu. Memperjuangkan atau mengikhlaskannya.  Dan doa-doa mulai menemukan jawabannya. Aku tidak akan menyesal bila yang aku lepaskan menjadi lebih baik dan yang aku perjuangkan semakin rumit. Terimakasih kehidupan, aku yakin suatu saat nanti masing-masing dari kami akan menemukan yang terbaik. Setidaknya diri ini sadar tentang apa yang terucap dalam doa usai kewajban lima waktu. Sering pula aku mengucapnya disela-sela adzan dan iqamah. Semoga doa itu akan terkabul. Tentang nama yang sudah begitu lama ada dalam rentetan kata. Juga tentang kebersamaan yang kini entah apa namanya. Setahuku semua tidaklah asing hanya saja terlalu istimewa untuk terus dibandingkan. Semakin aku mencari kesempurnaan diantaranya semakin aku menemukan celah yang semakin jauh dari sempurna. Hingga disuat

Lahirnya Seorang Bayi Perempuan

Gambar
Bukan hari yang masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Bahkan mata sudah terbuka sejak setengah empat dini hari. Dari situ pagi berawal. Harusnya kulit-kulit segera bersentuhan dengan air membangunkan syaraf-syaraf tubuh. Namun cucuran keringat yang justru menyapa lebih dahulu. Masih gelap memang, tapi begitulah sepetak kamar yang selalu menyala dua kipas angin besarnya, masih terasa gerah. Biar terlalu pagi aku biarkan angin menerobos masuk lewat jendela dan orang-orang masih banyak yang terlelap. Jarum jam berdetak menunaikan kewajibannya. Suara adzan subuh sudah beralih pada iqomah, di masjid orang-orang sedang menunaikan kewajiban dua rakaat. Disini jarum jam merangkak menuju pukul lima pagi. Semburat warna matahari mulai tampak di langit. Disinilah pagi yang beriring rasa syukur. Meski harus berjumpa dengan rutinitas yang sama untuk berada duduk manis diatas kursi menatap layar notebook . Begitulah rutinitas satu semester yang tengah aku jalani. Masih terlalu pagi unt

Tanya Tanya dalam Pesan

“Orang-orang yang kini ada didekatmu tidaklah datang dengan kebetulan. Mereka adalah ketetapan terindah untuk mewarnai langkahmu dengan porsinya masing-masing. Pun bila suatu hari satu demi satu porsi itu telah habis, terimalah. Kau tidak akan memiliki mereka selamanya dengan segala alasan kenyamanan yang engkau miliki bersamanya”             Barisan pesan yang sejenak menghentikan segala rutinitas tugas kuliah. Sekali dua kali aku membacanya. Lantas kembali pada tugas kuliah menyusun perangkat pembelajaran, begitu saja lenyap segala ide tentang perangkat-perangkat pembelajaran itu. Tidak satu kata pun aku tambahkan, tidak juga satu tanda titik aku hapus. Terhenti.             Kembali tangan jari-jari membuka lembar pesan. Masih sama. Tidak ada kata yang berubah. Tidak ada kalimat yang terganti. “Sudah siapkah engkau kehilangan lagi?” Sebuah tanya yang tertulis dari jauh entah dimana. “Sudah siapkah engkau melepaskan lagi?” Tanya itu masih berlanjut dengan tanya yang lain. “Sud

Langit-langit Ibu Kota

Langit-langit Ibu Kota telah berkisah tentangmu. Kincir-kincir dinding kamar berbisik tentangmu. Jarak yang tak terdevinisi dalam kilometer. Dekat yang terasa jauh, mungkin terlalu jauh. Katanya rindu sudah bertaburan. Siapa peduli!   Langit Ibu Kota masih biru walau kadang berselimut mendung. Kita pernah mendekap rindu dalam balutan kabut. Menyemai rindu dalam barisan bukit. Disana, rumah rantau yang dulu. Dan pernah aku memangkas habis segalanya sebelum roda-roda meninggalkan bekas longsor. Mengapa masih menabur rindu? Sudah dekap saja dalam diammu. Seperti rindu yang sudah-sudah. Malam masih berhias bintang. Sedang bulan masih setia menemani bumi. Apalagi yang membuatmu meragu? Biar langit-langit Ibu Kota berkisah tentangmu. Kincir-kincir kamar membisik rindu tentangmu. Mulailah merajut kisah yang kau jalani kini. Bingkai saja masa yang pernah berlalu. Rindu ini hanya untuk dirindu. Rindu yang bukan untuk dimiliki. Bukankah waktu mempertemukan kita? Tulisan takdir dari San

“Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?”

Gambar
“Semakin lama aku mennggu Untuk kedatanganmu Bukankah engkau telah berjanji Kita jumpa disini Datanglah, kedatanganmu kutunggu Telah lama, telah lama kumenunggu” Sebuah lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama berdendang menemani malam. Sisa rintik-rintik hujan masih menetes dari atap. Lagu yang sudah begitu lama mengudara, tiba-tiba kini berputar mengingatkan akan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan. Hujan. Nyanyian yang tak pernah henti untuk memutar rekaman kehidupan. Jejak yang tidak mudah terlupa. Pernah memang jalan ini membuat patah hati, menjadikan raga teramat lelah dan mengahirinya dalam tetesan lembut kelopak mata. Namun dalam jalan ini pula berjumpa denganmu, mengenal senyum dan tawa. Mengurai keresahan menjadi harapan. Esok atau suatu hari nanti akan aku dapati bunga yang tumbuh dari biji yang tersiram hujan. “Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?” sebuah status yang terpampang jelas di wall sosmed. Sebuah pertanyaan sederhan

Tentang Rindu "Januari"

Gambar
Bukankah Januari sudah berakhir? Bukankah sudah selesai? Aku lebih nyaman berada dalam kegelisahan study -ku yang tidak juga pasti daripada harus peduli tentangmu. Belum mampu lebih dari ini rasa yang aku punya. Hanya sampai kepastian ini yang aku miliki. Aku jalani study- ku dan kau lengkapi hidupmu. Tidak ingin aku mengusiknya lagi. Hati dan fikiran memang susah bersatu, jarang sependapat dan sering berdebat. Itulah kegalauan. Rasa ini tulus padamu, cinta. Enam tahun merajut kisah bersama mustahil bila tanpa rasa. Meski dalam setiap langkahku terisi kisah yang lain, menapak kota yang lain namun saat aku kembali pulang selalu tentangmu. Semua tanya kembali tentangmu. Selalu dirimu dan hanya dirimu yang mereka tanyakan. Sekali ini biarkan semua berjalan seperti dahulu. Anggap tidak pernah ada yang tahu, meski nyatanya mereka terus menanyakanmu, perjalanan kita yang terpisah jarak. Biarkan waktu tetap bersahaja, memudarkan senyum dan merajut kerinduan. Biarkan jarak tetap pad

Puing-puing Keresahan

Gambar
Kebersamaan ini banyak caranya. Melewati pagi yang berganti senja juga malam yang menggantikan siang. Melewati badai dipenghujan juga merasakan gersang dikemarau. Waktu dengan sendirinya menemani kita berkisah. Masihkah kau bertanya tentang waktu? Sudahlah. Waktu sanngat bersahabat, mempertemukan kita yang telah sempat jauh meski pada akhirnya waktu mempertemukan kita kembali dengan jarak. Sebuah kesempatan untuk kembali merajut rindu. Waktu ini tidak akan lama lagi. Kembali kaki harus melangkah meninggalkan rumah. Menempuh ratusan kilometer untuk perantauan selanjutnya. Jalan ini harus aku tempuh, sekalipun terasa begitu pahit. Saat aku rasa benar-benar merasa lelah. Bukankah harusnya aku bahagia? Formasi pendidikan berasrama sudah keluar. Beasiswa yang sudah pasti ada ditangan. Hanya ada dua pilihan, menerima atau membebaskannya. Sedang dari jauh sana. Akun medsos banjir dengan teman-teman lama yang mulai merapat. Mengabarkan ada beasiswa S2 untuk guru dikdas. Ada juga yang m