Impian Masa Lalu

Kaki ini melangkah menelusuri lorong panjang. Aroma ini yang selalu aku rindukan. Terlebih lagi bila ada di lorong panjang ini. aroma yang sangat nyata bisa aku rasakan. Meski bagi orang-orang ini bukan aroma yang menyenangkan. Bagiku ini adalah bagian dari kehidupan yang pernah aku impikan. Lorong panjang yang membuat aku mengingat ketukan langkah sepatu terburu-buru dan roda yang berdecit memekakan telinga beriring rasa cemas orang-orang yang memandangnya. Tatapan yang menyisakan rasa iba dalam hati lantas beriring nama yang Maha Kuasa dalam ucap dzikir yang menenangkan jiwa.

            Pagi ini kembali aku terhanyut dalam suasana yang telah lama hilang dari kehidupanku. Memang sudah aku siapkan diri ini sejak beberapa hari lalu untuk mengingat semua detil ini. Aku yakinkan diri ini bahwa akan mampu untuk mengingatnya tanpa menyisakan rasa luka. Aku telah siap melewati lagi lorong-lorong itu. ”Aku benar-benar siap.”
            Langkah kakiku  telah menyatu dengan langkah-langkah yang berdetak di lorong panjang yang menyimpan banyak cerita kepedihan. Aku telah memandang wajah-wajah yang sayu, mungkin karena lelah menunggu sanak keluarga mereka yang sedang terbaring lemah. Wajah-wajah itu yang membuat aku kembali merasakan iba. Seperti inikah rasanya lemah? Atau mungkin ini justru wajah-wajah kesabaran yang tersembunyi dibalik balutan rasa lelah.

            Imajiku kembali melayang tentang cerita yang sering aku dengar dari ibu dan bapak. Sering aku mendengarnya dikala malam mulai menyapa. Cerita itu yang sudah lama tidak aku dengar lagi. Cerita yang sama namun tak pernah aku merasa bosan mendengarnya. Merski telah berulang kali aku mendengar. Meski telah hafal akhir cerita itu. Aku tetap mendengarnya sampai akhir. Sampai cerita itu selesai dengan kata-kata yang tetap sama. ”Semua itu adalah keajaiban.”
            Tentang masa kecilku yang harus berada dalam ruang tertutup untuk bertarung dengan diri sendiri. Saat selang-selang penyambung kehidupan membalut tubuh yang baru dalam hitungan bulan. Saat orang-orang telah membuat keputusan tentang hidupku ini. Mereka telah lebih dulu menyerah untuk tetap menatapku. Saat sebagian mereka telah merelakan kepergian nyawa yang telah berada diujung kehidupan. Orang-orang telah siap mengucap kata perpisaan. Aku tidak tahu apa yang dulu dirasakan ibu bapakku. Mereka yang mendengarnya mungkin juga telah lelah melihatku hanya terbaring tanpa rasa. Karena mungkin aku masih belum mengerti tentang rasa sakit. Mungki ibu yang selama itu merasakan rasa sakitku. Mendengar rasa putus asa dari mereka-mereka yang datang menyapa.
            Disaat dunia sedang tidak berpihak. Saat putus asa yang telah bersahabat. Aku tahu mereka berdua tetap tidak menyerah. Aku tahu kesabaran mereka lebih dari orang-orang yang mengucap kata perpisahan denganku. Mungkin memang telah selesai perjuangan hidup saat itu. Saat mereka juga telah berusaha menyelamatkan aku dari kehidupan yang teramat singkat. Bagaimana mungkin mereka menyerah? Mungkin bukan menyerah. Tetapi itu adalah perjuangan mereka untuk ikhlas berserah diri pada Sang Pemilik Kehidupan. Bagiku mereka tidak menyerah selama menemani aku yang terasing bersama tabung oksigen dan juga selang-selang penyambung kehidupan yang lain.
            Aku tetap melanjutkan melangkah. Menaiki tangga menuju lantai tiga. Kali ini bukan unuk kembali terbaring diruang yang sama. Bukan pula karena aku telah menjadi seorang dokter seperti yang dulu aku mpikan. Seragam putih itu telah begitu lama aku merelakannya. Tapi hari ini ada sosialisasi kesehatan yang membawaku kembali melangkah menelusuri tangga-tangga menuju lantai tiga.
            Ingatan tentang impian masa kecil itu semakin hidup dalam hebusan nafas. Ada rasa kecewa yang mungkin telah lama terpendam. Tapi bukankah aku telah merelakannya? Aku sudah melepaskannya. Aku tidak ingin terus berada dalam impian masa kecil yang telah lama lepas dari genggaman. Bila hari ini aku disini bukan untuk menyesalinya. Bukan untuk meratapinya juga bukan pula untuk kembali hanyut dalam kehidupan dan merasakan yang namanya ”gagal”.
            Aku telah duduk di deretan kursi perserta. Baris kedua yang sangat srtategis untuk mengikuti seminar. Disamping kiriku ada sahabatku yang super cerewat. Disamping kananku teman sekelasku yang juga lebih cerewet lagi. Namun aku hanya lebih sering diam karena banyak ingatan masa lalu yang kembali hidup dalam ruang teduh.

“Ikut tes lagi, jadi adik tingkatku.” Ucapan teman sekelasku waktu SMA yang kembali membawaku pada tahun pertama aku kuliah.
“Trimakasih. Tidak akan pernah.’ Aku jawab dengan penuh percaya diri. Meski sebenarnya ingin kembali mengikuti tes dan melanjutkan meraih mimpi di fakultas kedokteran.
“Sudah terima saja. Masih ada kesempatan untuk jadi dokter.’ Ujarnya lagi.
Namun kembali aku menolaknya. Bagiku itu sudah berakhir sejak pengumuman hasil tes SNMPTN tahun 2009. Aku sudah melepas cita-cita yang aku gantung terlalu tinggi dalam angan-angan. Tidak ada lagi perjuangan untuk melanjutkannya. Sudah memang jalannya harus begini. Saat aku menerima hidup dengan kepasrahan dan kembali menajalani hidup ini seperti aliran air. Aku biarkan kenyataan membanjiri hidupku dan aku tenang mengalir dengannya. Sampai suatu hari aku benar-benar telah terhanyut dan menemukan papan untuk membawaku mendayung dengan kedua tanganku. Merelakan diri melepas impian dan menjalani hidup dengan mimpi yang baru. Menjalani perjuangan untuk bermuara di hilir sungai yang lain.
            Aku menikmati alunan musik penghibur dalam ruang teduh itu. Suara seorang dokter yang cukup mengganggu keresahan hati membuatku tersedak dari nikmatnya makan siang yang ada dalam pangkuan. Muara musik yang membuatku kembali hidup dalam bayangan beberapa bulan lalu. Sebuah ingatan yang kembali membuat aku berada dalam kehidupan seorang calon dokter.
”Bagaimana kabarnya, dik? Aku sudah lama tidak melihatmu.”
”Sehat. Tentu saja. Aku juga sudah lama tidak bertemu kakak. Sudah banyak yang berubah sekarang.” Kataku.
”Apanya yang berubah?” Dia kembali bertanya.
”Banyak. Bagaimana rasanya jadi dokter?” Tanyaku.
”Belum dokter. Masih calon, dik. Do’akan saja.” Katanya sambil membuka pintu menuju taman perpustakaan kampus. ”Aku tidak pernah melihatmu di fakultas. Bukankah kau bilang ingin menyusulku disana?”
”Itu sudah berakhir. Aku yang akan menjadi gurunya para dokter.” Jawabku sambil tetap berusaha membersamai langkahnya.
”Keren.” Katanya. ”Tapi yakin tidak menyesal?” Aku hanya menggelengkan kepala menanggapi pernyataannya itu.
            Kembali aku menenagkan hati ini dengan hanya sesekali memasukkan suapan nasi kedalam mulut. Menikmati alunan bas yang berdendang ditelinga. Membiarkan suara dokter muda itu memenuhi ruangan. Asal makan siang ini kembali nikmat aku akan melupakan semua impian itu. Saat ini mungkin saatnya melepas semua impian masa kecil yang telah lama aku tinggalkan. Dihadapan mereka yang telah menjadi dokter. Meski mereka tidak tahu akan impian masa kecil yang sangat berarti dalam kehidupanku.
”Sob, bukannya dulu kamu ingin jadi dokter ya?” kata temanku yang super cerewet. ”Coba kalau kamu jadi dokter, tuh temennya cakep-cakep dan cantik-cantik.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Bukan masalah dokternya yang cakep atau cantik. Tetapi ini perkara impian yang memang harus aku tinggalkan. Hari ini saatnya melepaskan semua impian yang hanya menjadi benang pengikat antara aku dan masa lalu. Merelakan impian itu berarti banyak yang harus aku relakan juga untuk aku lepas dalam hidup ini.
            Aku telah memilih kehidupan baruku. Aku memilih muara sungaiku sendiri. Menjadi gurunya dokter bagiku lebih bijaksana dalam menjalani hidup saat ini.  Bukan untuk terus hidup dalam bingkai masa lalu. Sekaang aku mengerti bahwa hidup ini sangat sederhana. Harus mampu menyikapinya dengan bijaksana.

Solo, 5 Mei 2013
Ary Pelangi
            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe