Masihkah Ada Cinta?
“Perenungan
Kecil dalam Malam yang Semakin Larut”
Perantauanku hampir saja berakhir. Itu harapan kedua orangtuaku. Mereka
ingin aku segera pulang dan memasuki dunia baru. Harapan itu ada dalam
hari-hari mereka. Tetapi aku masih menikmati pengembaraanku, Cinta. Setelah
dari sini aku telah memilih tempat untuk menjadi tanah perantauan. Aku
memilihnya karena disana ada begitu banyak cerita yang menarik perhatianku. Ada begitu banyak kisah
yang membuatku ingin berada disana.
Tengah malam sebentar lagi namun
mata ini belum juga ingin memejamkan mata. Adikku telah tertidur pulas. Mungkin
karena sudah terlalu lelah seharian mengerjakan tugas-tugas kuliah. Adikku?
Benar Cinta. Malam ini aku ada di rumah. Maaf tidak aku katakana padamu kalau aku
pulang. Sudah dua hari aku melepas
rindu di pondok kedua orang tuaku. Aku berharap mampu menemukan lagi
kebersamaaan yang telah lama tidak bisa penuh aku rasakan.
Maaf, aku tidak berani
mengetuk pintu kamarmu. Padahal aku tahu dirimu sedang berada dalam masa sulit
sekarang. Bila sempat mungkin besok pagi-pagi sekali sebelum aku kembali dengan
penerbanganku, aku akan sejenak mampir di tempat biasa kita bertemu. Meski aku
sendiri tidak yakin kau akan datang kesana.
Ada begitu banyak alasan
mengapa aku pulang. Pertama karena sudah terlalu lama aku meninggalkan rumah.
Alasan kedua karena aku merindukan keluargaku. Dan yang ketiga karena ingin
menemuimu. Tapi ternyata aku sendiri tidak yakin dengan pertemuan kita.
Ternyata keadaan berbeda jauh dari yang aku bayangkan sebelumnya. Sangat
berbeda, Cinta. Semua terlalu jauh dari yang aku bayangkan. Mungkin karena
telah lama aku tidak pulang. Mungkin karena aku yang tidak peka dengan
pesan-pesan yang engkau kirimkan.
Cinta, sebentar lagi harusnya
pengembaraan ini berakhir. Tapi
tadi telah aku katakan ada tempat lain yang membuatku ingin kesana. Sebuah
tempat yang jauh. Aku ingin mengatakan ini saat kita bertemu. Semoga besok
pagi-pagi sekali ada kesempatan untuk kita berbicara dari hati.
Setahun yang lalu aku melihat
sepasang suami istri yang sangat rukun. Mereka hidup di tanah kapur yang jauh
dari pusat kota. Rumah mereka berdinding bambu berdiri kokoh di perkampungan
dekat tutan kering. Tetapi mereka tersenyum padaku. Betapa rukunnya mereka.
Tanpa aku sadari telah terlalu lama aku berdiri menatap kebersamaan mereka yang
begitu manisnya. Mereka mampu hidup dalam kesederhanaan. Sampai kini usia
mereka yang sudah puluhan tahun. Aku hanya tersenyum dan berkata ”Inikah cinta
yang sebenarnya?”
Cinta, kadang terasa sulit bila
harus mengingat perjalanan yang harus
kita lalui. Kadang memang harus mampu menahan gejolak hati yang sering membuat frustasi. Hanya saja kita ditakdirkan berbeda untuk
menjalani kehidupan ini. Kita memang harus menjalani hidup ini dengan berbeda.
Benar Cinta, anak-anak kecil itu menjalani takdirnya. Mungkin engkau bertanya
mengapa dalam usia yang begitu belia mereka harus mendayung perahu bernama
rumah tangga. Karena mereka tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa memilih. Sedang
kita punya begitu banyak pilihan untuk menjalani hidup. Kita juga mampu memilih
ingin seperti apa menjalani hidup ini. Sebuah kesempatan yang tidak mereka
miliki.
Hari ini aku ingin berbagi. Tapi
bukan semangat yang ingin aku bagikan. Karena aku juga sedang kehilangan
semangatku, Cinta. Aku sedang
kehilangan bara semangat yang biasa selalu memberiku ketenangan. Aku kehilangan
kebijaksanaan yang biasa mampu menutup kelemahanku. Namun aku yakin akan
menemukan inspirasi saat aku menuliskan kisah ini untukmu.
Kisah ini tentang kenyataan
yang aku temui dalam tanah rantau dan sebagian aku melihatnya dalam beberpa
perjalan yang aku temukan. Oh ya, aku sedang tidak ada penelitian sekarang.
Jadi sebagian waktuku aku gunakan untuk jalan-jalan.
Aku yakin engkau tidak asing
lagi dengan cerita yang satu ini. Karena aku beberapa kali melihatnya saat aku lewat dari perjalananku. Beberapa
waktu lalu saat aku hanya bisa memandang kampung halaman dan berlalu. Tidak sempat untuk singgah karena aku
harus segera tiba di tempat perantauan. Seperti yang pernah engkau bilang
padaku Cinta, tentang seorang wanita yang bekerja menjadi buruh bangunan. Aku
pernah menganggapmu hanya bergurau. Dan itu tidak akan terjadi di kampung
halaman kita yang serba kecukupan.
Tetapi perjalanan hari itu
telah membuktikan bahwa itu terjadi pada wanita-wanita paruh baya dikampung
halamanku sendiri. Mereka yang berpanas-panas dalam proyek pembangunan pabrik.
”Bukankah itu pekerjaan
laki-laki?” aku bertanya pada rekan perjalananku.
”Siapa
yang peduli itu pekerjaan laki-laki. Masa sudah berbeda, Kawan. Lupakah engkau
dengan emansipasi? Tidak ada bedanya lagi laki-laki dan perempuan.”
”Tapi
tidak semua harus sama.” Kaaku membela.
”Sama
saja. Laki-laki dan wanita boleh sama-sama duduk di kursi DPR. Wanita saja
boleh jadi presiden. Laki-laki boleh jadi koki. Lantas kenapa kau heran melihat
wanita menjadi kuli bangunan?” tanya rekan kerjalananku.
Bagiku
tidak begitu Cinta. Kadang
aku berfikir ini tidaklah adil. Aku masih berfikir ini sangat tidak adil. Saat
aku harus melihat peluh mereka menganggut adonan semen dengan pasir pada kedua
tangannya. Tapi mereka bilang ikhlas melakukan semua itu. Mereka bilang memang
jalannya harus demikian. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan ketegaran mereka.
Aku berharap ini masih berada dalam batasan normal.
Aku
sering berkunjung kerumah pasangan muda yang telah memiliki dua putra. Rasanya
senang sekali bila berada disana. Pertama karena mereka selalu menyambut baik
kehadiranku. Yang kedua karena keluarga mereka sangat romantis. Bagiku ini
adalah potret keluarga sederhana yang menyenangkan. Mereka tinggal di rumah
kontrakan sederhana dengan satu kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi
serta satu ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang kerja sang istri. Mereka
hidup cukup sederhana dengan penghasilan yang cukup untuk hidup sehari-hari dan
menyisakan sedikit untuk tabungan.
Tetanggaku
seorang wanita yang sibuk. Hanya pulang dua minggu sekali. Kerjanya diluar
kota. Kedua putranya tinggal dirumah neneknya. Sejak kecil sudah terbiasa jauh
dari orang tua. Perkembangannya memang mengalami hambatan. Aku tahu kedua anak
itu selalu berhasil bermanja pada ibunya saat sang ibu pulang. Selalu mampu
memenuhi keinginannya. Semua mainannya bagus. Hampir selalu mainan baru dan
bukan mainan biasa yang biasa dimainkan anak-anak di desa. Kedua anak itu
selalu mendapatkan mainan yang terbaik. Tentu saja sebanding dengan kualitas
dan harganya.
Bukankah
itu sering terjadi dalam kehidpan ini, Cinta. Sebuah fenomena yang engkau juga
tidak asing lagi. Kau sering bercerita tentang apapun. Tapi beberapa minggu ini
kau tidak mengirim pesan kata. Hanya pesan gambar ekspresi saja yang kau kirim.
Engaku juga tidak mengirim cerita lewat e-mail.
Cinta, apa engkau lulus tepat waktu? Jangan
paksa dirimu untuk terus beradu dengan ketidakpastian. Jalani takdirmu dengan
sebaik mungkin. Cerita-cerita itu adalah bagian dari kepingan kehidupan. Jangan
menjadikan engkau takut. Jangan menjadikan engkau bersedih. Niatan hati ini
akan sampai. Kita akan selamatkan kampung kecil kita yang telah lama aku
tinggalkan.
28 Mei 2013
Ary Pelangi
Kota Negeri Khayalan
Komentar