Merindu Januari

Rindu ini bukanlah hutang yang harus kau lunasi. Bukan pula janji yang harus kau tepati. Rindu ini hanya tentang hujan di lereng Lawu. Kenangan lama yang hanya terjamah dalam ungkapan kata “Rindu”.
Enam tahun Cinta. Waktu yang kini hidup dalam kenangan. Bait-bait masa lalu yang tidak akan mungkin akan terungkap dalam kejujuran. Kaupun tidak ingin mengakuinya bukan? Kita sama Cinta. Melewetkan enam tahun yang seakan hanya biasa. Kini angin mendesah mengingatkan akan lembaran-lembaran masa lalu. Masihkah kau mengingkarinya? Ya, aku masih mengabaikannya meski jelas isyarat-isyarat itu terlukis untukku. Mungkinkah aku yang salah mengerti? Aku berharap satu hal Cinta, aku salah mengartikan isyaratmu.
Hujan hari kemarin mengingatkan aku akan pertemuan hari pernikahan sahabat kita. Pesta yang begitu sederhana untuk orang yang begitu istimewa. Sahabatku yang juga sahabatmu, Cinta. Tentang undangan bulan Januari tahun yang akan datang. Aku hanya merindu Januari.

Pernikahan? Ya Robb... Satu demi satu sahabatku telah menapak di singgasana pelaminan. Merajut indah keluarga kecil mereka dengan orang terkasih. Melukis senyum dihati keluarga yang telah lama bersamanya. Ketika asa untuk mandiri, lepas dari orang tua benar-benar telah terpenuhi. Disini aku masih bersahabat dengan kata. Merindu entah siapa yang akan datang diujung masa.
Merindu Januari? Apa yang aku rindukan dari Januari? Hujan? Atau barisan-barisan kenangan masa lalu? Sebuah lagu tentang Januari “Kisah kita berakhir di Januari....”. Betapa indahnya suara itu. Andaikan sejelas itu ingin aku mengakhiri rindu ini. Cinta, isyaratmu pun masih tampak ragu. Lalu haruskah aku peduli? Mengabaikannya pun terasa sakit.
Bukan pernikahan yang aku rindu, Cinta. Aku hanya merindukan kepastian. Berhentilah memberi isyarat padaku bila kau tidak mendengarku. Berhentilah memberi isyarat jika semua kataku hanya berlalu bagimu. Semua hanya menambah keraguanku.
Bukan pernikahan yang aku rindu. Sebab aku masih ingin menjelajah dengan kehidupanku. Menempuh jarak dan jarak yang terlampau jauh. Aku merindu jarak ratusan kilometer untuk selesaikan pendidikanku. Tempat-tempat indah untuk menemukan kawan dan keluarga baru.
Bila Januari itu benar-benar datang dan nyata adanya. Haruskah aku datang kesana lantas berjumpa dengan dirimu. Aku kembali ragu dengan semua bait-bait kata yang terus mengisi catatan kecilku. Mungkinkah ada yang salah dengan catatan-catatan itu? Semoga saja salah dan salah. Hingga aku tidak harus merindu Januari.
Hari ini terakhir bulan Novmber. Esok Desember sudah mulai bertahta melanjutkan kisahnya. Aku semakin sibuk didepan layar menatap ratusan kata yang tidak kunjung selesai juga. Tidak mengapa Cinta, aku mulai tersadar tentang semua kata yang aku anggap salah. Aku menulis ulang kisah ini. Sebuah catatan takdir yang telah ditentukan-Nya. Kata ini memang tidak sempurna, tidak sesempurna takdir-Nya. Kata ini memang harus tergenapi oleh kata darimu. Mungkin memang harus bertemu dengan Januari.
Kata akan bertemu dengan Januari tetapi aku tidak harus bertemu denganmu dan kaupun begitu. Kita tidak perlu saling berucap, bila enggan bicara. Biarkan saja bila takdir mempertemukan. Kita sibuk. Sama-sama sibuk dengan cerita kita. Kau sibuk sendiri dengan kisahmu begitu juga diriku. Masih ada asa yang terlampau tinggi. Masih ada cita yang kurindu dan aku pun masih ingin terbang jauh menempuh ratusan kilometer.
Cinta, kau pernah bilang akan terbang tinggi dengan sayap-sayapmu yang mulai lelah. Tetapi sayap itu tiba-tiba berhenti karena patah. Aku coba membalutnya, tetapi mungkin tidak sempurna. Engkau lebih tahu dengan dirimu, Cinta. Sayap yang aku kira telah sembuh ternyata masih menyisakan luka yang aku tak tahu. Aku ingin kau menyembuhkan sendiri dengan caramu. Karena aku harus pergi. Karena aku tidak ingin berharap lebih tentangmu.
Diri ini terlanjur melangkah degan caraku sendiri. Aku berharap akan mampu mengimbangimu hingga kau tidak perlu bersedih tentangku, tentang hidupku. Maka aku terus melangkah dan melangkah. Melewati ratusan kilometer dan melintasi samudra dari atas awan. Berharap pergi jauh dari dirimu. Berharap engkau mampu mengobati sendiri sayapmu dengan caramu. Berharap agar engkau kembali terbang dan menemukan hidupmu. Tetapi aku salah. Kau tetap dengan sayap patahmu dan berjalan kearah yang berbeda. Sedang aku tidak cukup mengerti itu.
Semua ini tidak akan terus seperti ini. Suatu saat akan kau temukan jalanmu sendiri begitu juga diriku. Bila bukan Januari masih ada bulan-bulan yang lain. Mungkin bila Januari kita bertemu kita harus kembali bersiap untuk kembali berpisah.
Terimakasih untuk hujan yang telah mendamaikan. Menyiram kemarau di November yang begitu panjang. Aku rindu. Merindu Januari yang belum juga pasti.

Karanganyar, 30 November 2015

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe