Sebuah Kenangan Tentang Perjalanan


Hujan sedari tadi membuatku melamunkan banyak hal. Aku duduk ditepi jalan raya sambil menanti hujan reda, tahukah apa yang muncul dalam bayanganku?
Suara air yang berdau dengan aspal menyambutku turun dari bus ditempat yang kini terasa asing bagiku. Aku berteduh disuah bengkel di pinggir jalan. Jalanan yang masih padat dengan lalu lalang kendaraan. Duduk disana, melamun. Ya aku melamun. Nenikmati indahnya gemericik air yang beradu dengan aspal. Sungguh suara itu menjadi nyanyian kedamaian dalam diriku. Hujan semakin deras dan entah lagu apa yang berdendang.
Hujan ini mengingatkan aku pada bangunan itu. Sebuah gedung kecil tempat aku singgah. Bangunan berlantai dua itu, entahlah. Aku ingat itu hari  Minggu tanggal satu Januari, sudah hampir satu tahun rupanya. Sungguh waktu ini terlalu cepat berlalu. Sudah hampir satu tahun, tapi peristiwa itu maaaasih jelas dalam bayanganku. Masih sangat aku ingat detailnya yang membuat nafasku sempat terasa berat. Aku percah ceritakan tentang ini. Tapi kini peristiwa itu benar-benar jelas dalam bayangan mataku.
Tentang hujan yang begitu lebat. Hujan yang yang memenjarakan aku dalam kesendirian disisa hariku yang baru sedikit berlalu. Aku duduk seorang diri disana. Sendiri benar-benar aku sendiri menikmati hujan yang berkawan dengan kilat dan guntur. Itulah hujan paling menakutkan yang pernah aku alami.
Sekarang, aku berada di tempat yang asing bersama orang yang tidak aku kenal. Aku pilih untuk diam dan hanyut dalam lamunan. Aku bicara dengan hujan dan aspal. Aku berdialog dengan angin yang tak henti-hentinya menerjang ribuan tetes air hujan. Angin bercerita tentang hari itu, yang hampir satu ahun berlalu. Tetapi aku hanya diam mendengarnya. Sakit dan terlalu menyakitkan.
”Itu sudah berlalu.” Kataku.

Tetapi angin terus bercerita tentang bangunan itu. Rumah singgah yang tidak aku lihat hari ini. Rumah yang hari ini tidak aku kunjungi. Dia terus bercerita dan tidak mau diam. Seperti rekaman kaset yang kembali berputar. Aku mendengarnya begitu jelas. Sangat jelas sekali. Tentang tujan yang hampir satu tahun berlalu. Tentang badai yang menerpa bangunan itu dan aku seorang diri ada disana menjadi saksinya. Sungguh hari itu begitu gelap dan menakutkan. Aku disana beradu melawan diriku sendiri.
”Sudahlah! Cukup!” Pintaku dalam kebisuan.
”Bukankah kau merindukan mereka?” Ujarnya. ”Tetapi tahukah kau, apa pernah mereka merindukanmu?”
”Diam saja kau!”
”Dengar Ary, dengarkan ceritaku tentang mereka. Mereka yang kau cintai dan kau rindukan.”
”Tidak!” Jawabku.
Tetapi dia terus saja bicara. Aku mencoba untuk tidak mendengarnya. Bisikan ceritanya yang memang menusuk hati. Dialah pendongeng yang penuh perasaan. Mampu menghayati peran dan membuat pendengar hanyut dalam ceritanya. Kali ini dia ceritakan tentang rumah singgahku. Rumah dimana aku dan saudara-saudaraku mengukir cerita. Dia ceritakan semua tentantang saru tahun yang hampir berakhir. Dia tahu.
”Diamlah!” Kataku.
Aku tidak sanggup lagi mendengar cerita itu. Aku tidak ingin lagi mendengarnya. Dia, entah kenapa begitu banyak bercerita. Kenapa?
”Mengapa sekarang engkau takut?” Ujarnya.
”Bukankah engkau tahu, apa yang terjadi setahun lalu saat aku seorang diri dibangunan itu? Nafasku hampir habis disana dan aku kira itulah terakhir aku akan bernafas.” Aku langkahkan kaki meninggalkan bengkel yang sudah ramai oleh pengunjung dengan berbagai masalah motor mereka.
”Kau bisa terus bersama mereka.” Dia masih saja mengikuti aku. ”Aku akan membawamu tinggal bersama mereka.”
”Dengarkan aku! Pergi!”
”Aku tahu kau tidak ingin kehilangan mereka bukan?” Dia masih saja berjalan mengiringi langkahku.
”Tidak! Pergi!”
”Kau terlalu angkuh, Ary!” Dia membentakku.
”Aku memiliki hak atas diriku. Aku punya duniaku yang indah. Kau bisa menjadi angin yang menyejukkan, aku bisa berkawan dengan hujan, petir dan guntur lagi. Sampaikan salamku pada mereka. Berdamailah denganku seperti dulu. Hadirlah dalam hidupku dan bermain denganku. Bukan untuk menjadi pendongeng akustik tentang keidupanku. Dengarkan aku, bisakah kita kembali berdamai?”

---0---
27 Desember 2012
Ary Pelangi
Kota Negeri Khayalan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe