Labirin-labirin Masa Lalu
Cuaca
yang tidak bersahabat. Angin bertiup
menerpa dedaunan yang mulai cerubus. Rasa dinginnya sampai meresap ke
pori-pori. Niatan hati segera saja pulang sebelum terperangkap hujan di
bangunan bertingkat ini. Berlahan tapi pasti aku melangkahkan kaki melewati
anak tangga hingga sampailah aku di lantai satu. Sejenak aku terdiam di ujung
tangga. “Benarkah aku ingin pulang?” Batin hati kecilku. “Ya.” Suara hati itu
kembali muncul.
Kaki
ini kembali melangkah meninggalkan suara sepatu yang terus beradu dengan
lantai. Entah kenapa aku mempercepat langkahku dan berbalik menuju rumah
singgah. Entahlah. Meski aku ingin segera pulang tapi kaki ini melangkah menuju
bangunan itu, yang aku sebut rumah singgah. Seperti ada magnet yang menarikku
kesama. Ada sesuatu yang menarik langkahku untuk mendekat dan melihat apa yang
terjadi.
“Sepi.”
Kataku pada diri sendiri saat bisa aku lihat bangunan kecil itu. Seperti tak
ada kehidupan. Tak seorangpun mengisi kesepian bangku di serambi.
Tanpa banyak kata lagi aku tetap
melangkah dan semakin mempercepat langkahku. Rasa penasaran itu semakin kuat.
Entah apa itu namanya tapi ada aura kebekuan yang bisa aku rasakan. Meski hujan
belum turun tapi dingin telah terasa. Sampai ke dinding jiwaku dan mengetuknya
serasa berkata, “Aku ingin masuk.” Segera saja aku menepisnya dan melapas
kepatuku di depan pintu. Belum sempat mengucap salam, aku hanya terpaku di
depan pintu menatap kebekuan dalam sepetak ruang kecil.
Kebekuan. Ternyata ini yang sedari
tadi aku rasakan. Dari sini asalnya dingin yang tadi mengetuk jiwaku. Tidak
banyak kata yang bisa aku ucapkan selain menyapu satu persatu wajah penghuninya
sore itu. Sebuah luka tergores begitu jelas. Seperti teriris pisau dan meneteskan
darah. Pasti terasa perihnya. Beruntung, kebekuan menjadi bius paling mujarab
sore itu.
Berlahan aku melangkahkan kali dan
bergabung duduk bersama mereka. Wajah itu masih asing untuk tempat ini dan lagi
itu. Dua wajah itu yang telah lama menghilang. Entah kenapa hari ini kembali
duduk disini seperti beberapa waktu yang lalu. Sudah terlalu lama.
Aku tidak berani menatap wajahnya.
Dia yang kini duduk disampingku. Biarlah aku hanya diam mendengarnya bicara.
Entahlah. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada ruangan ini yang semakin membeku
oleh dinginnya suasana. Tapi aku tahu apa yang bisa aku rasakan pada diriku
sendiri. Aku sadar telah berada di sebuah pintu labirin yang bernama masa lalu.
Ya, kini aku sedang berada disana di sebuah labirin yang telah padam cahanya. Hanya
mungkin didalam labirin itu masih ada sedikit lilin yang telah meredup
sinarnya.
Aku masih mendegar dia terus bicara
dan bicara. Aku bisa memahaminya. Begitulah setiap kalimatnya yang semakin aku
dengar semakin menusuk dalam didnding jiwa ini. Dan aku telah melankah memasuki
labirin-labirin itu. Labirin yang semakin gelap dan aku semakin melangkah ke
dalam. Ingin rasanya kaki ini berhenti saja sejanak tapi tidak bisa. Kaki ini
terus melangkah menapki labirin-labirin yang mengisahkan cerita lalu. Rasanya ingin
aku bereriak agar ada seseorang yang bisa menghentikan waktu. Tapi sekeras
apapun aku berteriak aku yakin tak seorangpun akan mendengarnya. Dinding-dinding
labirin ini terlalu kokoh dan hanya memantulkan gema teriakanku. Semakin gelap
dan nafasku semakin sesak. Mungkin saja oksigen disini tidak lagi cukup untuk
aku bernafas. Kembali lagi aku dengar suaranya yang semakin melemah. Aku
sandarkan diriku pada dinding labiri yang telah berlumut. Entah itu apa tapi
rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa dingin yang telah merasuk kesekujur tubuhku.
Mash aku dengar sayup-sayup suaranya
sebelum benar-benar lenyap dari pendengaranku. Aku melngkahkan kaki mendekati
lilin yang masih menyala. Masih ada lilin yang menerangi labirin ini. Aku bisa
lega dan mulai bisa bernafas dengan normal lagi. Hingga tak aku dengar lagi
suaranya yang tadi menggores dan membuat miris diri ini. Aku sadari dia telah
berhenti bicara. Wajah yang dulu sering menjadi tempat peraduanku. Wajah yang
telah lama hilang dari pandangan mataku. Wajah yang tidak pernah aku kira akan
duduk bersamaku hari ini, disini- ruang kecil
yang aku sebut rumah singgah.
“Inilah saatnya aku leluar dari
labirinku.” Pikirku. Aku mu;lai melangkahkan kaki dan mengingat jalan pulang. Yah
aku bisa keluar sekarang dan kembali meninggalkan pintu labirin. Tapi aku
salah. Mataku tidak lagi bisa melihat
jalan didepanku. Padahal tinggal beberapa langkah lagi ku akan meraih ganggang
pintu labirin dan keluar. Kedua kakiku melemas dan aku terjatuh. Aku kira
diriku telah pingsan dan tidak sadar. Tapi tidak. Aku masih mendengar suara
itu. Suara yang sangat aku kenal meski tak bisa aku melihat siapa yang bicara. Tapi
aku ingat dialah yang tadi duduk berseberangan denganku, diruang kecil berpetak
rumah singgah.
Aku rasakan seluruh dinding labirin
bergetar. Aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Kini aku rasakan diriku
berguling-guling entah kemana. Aku bisa menahannya. Entahlah. Aku tidak tahu.
Suara itu masih saja bicara. Anda
saja dia berhenti bicara, “Ya, Allah tolong aku.” Meski telah berulang kali aku
mendengar nada serupa dan mungkin juga aku pernah mendengar kalimat-kalimat
itu. Tapi setiap kali aku mendengarnya rasanya terlalu menyakitkan. Dungkin darah
telah banyak yang menetes dan entahlah apa masih bersisa.
Aku dapati diriku telah meringkuk di
tempat yang teramat gelap. Aku tahu telah berada sangat jauh dari pintu
labirinku. Aku pernah meringkuk di tempat ini sambil menangis berhari-hari. Aku
pernah terperangkap disini dan tidak bisa keluar lagi sampai entah berapa kali
matahari terbit dan terbenam. Aku hanya bisa melihat gelap. Dan hari ini aku
kembali berada disini. “Aku tidak mau lagi.”
Tapi suara itu terus bicara meski
aku tak mau lagi mendengarnya. Dia terus bicara aku bisa melihatnya membuka
cacatan kecil yang mungkin tidak pernah bisa lepas dari dirinya seperti aku
yang selalu memiliki catatan-catan kisah hidupku. Aku ingin dia diam. Sungguh aku
tidak mampu lagi mendengar setiap kalimat yang dia ucapkan. “Aku tidak bisa
lagi!”
Dengan sadarku aku beranjak dari
dudukku. Meninggalkan sepetak ruang kecil di rumah singgah. Aku hempaskan
diriku di bangku panjang yang ada di serambi depan rumah singgah. Aku tutup
wajahku dengan kedua tanganku. Aku tidak ingin merasakan dingin itu lagi. Dan dengan
paksa aku sadari telah keluar dari labirin yang teramat sangat gelap dan
dingin. Aku mampu bernafas lagi dengan lega. Entah apa yang mereka pikirkan aku
tidak peduli. Hanya saja aku merasa beruntung bisa keluar dari labirin yang
menyiksa itu.
29
November 2012
Ary
Pelangi
Rumah
Singgah
Komentar