Aku, Kau dan Rumah Singgah


“Aku akan S2. Kuliah disini tidak harus menjadi guru bukan?” Kata Alif hari itu. Entah itu hari yang keberapa disemester yang keberapa. Hanya saja kalimat itu jelas masih ada dalam ingtan Sasa.
            Sudah dua tahun lalu Sasa mendapatkan gelar sarjananya. Hari ini dia kembali duduk dibawah pohon memandang rumah singgah. Ada seorang teman yang dinantikan kehadirannya. Sore ini Sasa akan menemui seorang teman yang setahun lebih tidak ditemuinya. Seorang teman yang setia mendengar cerita Sasa saat diperantauan.
            Sebotol air mineral dan sekotak permen coklat. Sebuah novel telah dibacanya beberapa halaman. Lantas dia teringat akan ucapan Alif yang membuatnya kembali memandang rumah singgah. Sebuah bangunan yang dulu mempertemukannya dengan Alif dan juga sahabat-sahabat terbaiknya di universitas.
“Aku anak pertama dan masih punya dua adik perempuan. Bagaimana bisa aku hidup sesuka hatiku.” Kata Alif “Aku harus bisa hidup hemat disini.”
            Hari itu Sasa menjadi pendengar yang sangat baik. Mendengarkan cerita Alif dan teman-temannya tentang kehidupan kos. Sasa tidak tahu bagaimana rasanya menjadi anak kos. Sampai dia berada dibangku kuliah tidak pernah dirasa jauh dari keluarga.
          
  Rumah singgah menjadi tempat yang nyaman untuk bertemu. Entah sekedar bertemu untuk basa-basi atau bertemu karena ada pekerjaan dan keperluan. Sangat jarang Sasa membuat janji bertemu dengan Alif tanpa ada perlu. Meski begitu mereka sering bertemu dirumah singgah tanpa ada janji, kebetulan.
            Shelter-shelter di depan rumah singgah menjadi tempat berbincang yang menyenangkan. Berbincang tentang pendapat yang berbeda. Berbincang tentang perselisihan dan ketidaksepakatan. Temapat saat ini  Sasa duduk seorang diri pernah menjadi tempat yang menyenangkan untuk berselisih. Tempat dimana ada begitu banyak masalah dan kegelisahan. Tertuang semua dalam pedebatan dan perbedaan.

“Aku sudah lelah berada disini, Lif. Lelah dan sangat lelah.” Kata Sasa pada Alif saat senja hampir menutup hari. Senja yang mulai kehilangan terangnya. Senja yang mulai tampak jingga.
Hari itu Sasa benar-benar merasa lelah dengan hidupnya. Lelah dengan dirinya dan segala kesibukannya. Kuliahnya, kebutuhan hidupnya, pekerjaannya, teman-temannya juga aktivitasnya di rumah singgah. Semua itu berkumpul menjadi satu dan benar-benar terasa berat dalam hari-hari Sasa. Semua yang ada dalam hidupnya menjadi asing begitu juga teman-teman yang ada disekitarnya. Mungkin Sasa sendiri yang mengasingkan diri dari semua ini.
“Aku ingin berhenti, Lif. Sekarang.” Sasa benar-benar merasa frustasi dengan dirinya. Tanpa coklat juga tanpa permen yang menghibur. “Aku sudah lelah dan benar-benar lelah. Kau tetaplah disini, rumah singgah kita.” Hembusan angin menggenapi keputusasaan yang ada pada diri Sasa, langit mulai kelabu memanggil gelap. Jingga telah samar-samar menghilang.
“Aku sakit, Sa.” Perkataan Alif membuat Sasa mengurungkan niatnya untuk pergi. “Kalau kau lelah, aku sakit.” Suara Alif jelas terdengar oleh Sasa. “Kalau bukan kau, siapa lagi Sa? Siapa Sa? Tidak ada yang lain yang bisa menyelesaikan tanggunganmu. Selesaikan tugasmu, begitu juga aku selesaikan tugasku, dan mereka juga selesaikan tugas mereka.” Ada yang tertahan dalam kalimatnya, ada yang hilang. “Kau tidak boleh lelah, Sa.”
Bukan Sasa yang lebih dulu berdiri dan pergi. Alif begitu saja berdiri dan mulai melangkah lebih dulu. “Semua tak akan sama lagi.” Rasa sesak sudah memenuhi diri Sasa.  Desahan yang terasa hambar. Hanya saja Alif terus berlalu.
Berlalu. Sampai hari terus berganti dan Sasa masih keluar masuk rumah singgah entah untuk alasan apa. Tugas-tugasnya yang kadang membuat senyuman tanpa rasa. Ada yang hilang. Mungkin semua sesak yang pernah memenuhi hidupnya terlanjur kuat mengendap. Sampai tidak ada lagi sesak-sesak kecil yang datang menghampirinya, tidak peduli. Begitu mungkin sisa hidupnya di rumah singgah.
Begitulah sang waktu melukis kenangan. Sasa tidak pernah sama lagi hidupnya. Ada yang mengeras dalam dirinya. Hanya ada hati yang kadang melunak untuk menampung segala cerita. Menggenggam kisah dalam rumah singgah. Hingga harus tetap tersenyum disaat terpahit sekalipun. Rumah itu selalu penuh dengan cinta. Cinta yang tidak akan pernah selesai dalam kebersamaan. Cinta yang selalu menemukan celah untuk berdamai setelah pertengkaran yang hebat. Meski tidak akan pernah sama setiap harinya.
Suatu siang disuatu bangunan bertingkat. Bukan didalamnya, hanya dihalaman yang ramai dan penuh orang-orang. Saat Sasa mencoba tetap tersenyum dalam lelahnya. Orang-orang yang dirindu justru datang. Berbinarlah hati Sasa, masih ada alasan untuk tersenyum. “Kemana Alif? Sudah beberapa hari dia tidak pulang ke kontrakan.” Kata seorang dari mereka. Mereka itu sahabat-sahabat Alif.
“Justru itu yang ingin aku tanyakan ada kalian.” Kata Sasa menahan remuk dihatinya. Dia tahu sebuah perdebatan hebat akan terjadi. Tiga lelaki melawan seorang perempuan. “Sudah lama aku tidak melihatnya di rumah singgah. Semua orang disini mencarinya. Mungkin kalian tahu dia ada dimana?” sebisa mungkin Sasa menahan rasa sakit dihatinya. Tidak seorangpun tahu Alif ada dimana.
“Andaikan kami tahu, kami tidak akan bertanya.” Suara itu masih biasa terdengar. Tetapi orang-orang yang sibuk berlalu lalang itu mungkin tidak mendengar. “Cari dia, temukan dia, dan kembalikan pada kami.” Suaranya semakin pelan tetapi begitu jelas dan menyakitkan.
Sasa benar-benar tidak tahu. Setelah pertemuan itu dia semakin tidak tahu kemana mencari Alif. Semua orang dirumah singgah mencarinya tapi tidak ada seorangpun yang menemukannya. “Hanya kau yang bisa kami temui disini, dan kami juga tahu kau punya alasan untuk bertemu dia. Hubungi dia, Sa. Bicaralah padanya.” Sasa semakin merasa tertekan dengan semua itu. Seakan dia tahu semua tentang Alif, sedang Sasa sendiri tidak pernah tahu orang macam apa yang bernama Alif.
Alif. Teman berdebat yang menyenangkan. Pelampiasan marah yang tidak pernah tumbang. Dia hanya seseorang yang kebetulan ada disaat dibutuhan. Kebetulan? Sasa menghela nafas. Sasa benar-benar tumbang. Setelah beberapa hari suhu badan naik turun tidak menentu, kepala terasa pening dan makan pun terasa pahit. Sehari semalam hanya terbaring ditempat tidur hanya sesekali bangun untuk bercakap dengan keluarganya, makan minum dan menelan pil untuk menurunkan demamnya.
Disisa senja Sasa menyalakan handphonenya yang mati sejak dia hanya menghabiskan waktu diatas tempat tidur. Ditulisnya pesan untuk Alif tentang rencana proyek yang tengah mereka kerjakan. Sasa menyerah dan tidak sanggup lagi bila Alif tidak ambil bagian untuk membantu tugasnya. Pesan itu tidak terjawab saat Sasa terbangun dari lelap dimalam hari. Sampai senja kembali menyapa pesan itu hanya pesan yang tidak terjawab. Sampai malam datang dan Alif membuat janji bertemu.
Pertemuan yang hanya beberapa menit, tanpa basa basi. Masih ada sisa pucat di wajah Sasa tapi tidak ada yang peduli, Sasa hanya tersenyum seperti biasa. Berbicara tentang rencana proyek sosial yang telah mereka kerjakan dan kelengkapan administrasinya. Lantas Alif kembali pergi setelah menitipkan pesanan untuk disampaikan pada seorang temannya lewat Sasa.
Merapat ke rumah singgah terasa sangat berat hari itu. Tetapi titipan Alif untuk temannya itu harus tersampaikan. Teman-teman Sasa akan mendapati dirinya yang tidak sehat. Sasa yang telah tumbang dan merasa telah habis karena tugas-tugas mulai kembali menumpuk dalam hidupnya. Seperti biasa datang dengan seakan ceria dan baik-baik saja. Salah seorang teman terdekat Alif tahu, Sasa telah berjumpa dengan Alif. Kembali Sasa dihujani dengan pertanyaan tentang Alif. Dimana Alif? Bagaimana kabar Alif? Apa yang dia lakukan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain mengikutinya.
“Aku tidak tahu. Dia hanya meminta aku menemuinya dan menitipkan itu di gerbang kampus.” Sasa tampak seperti biasa, mencoba sehat. Dia tahu sisa pil untuk tadi pagi belum disentuhnya. “Aku tidak tahu masalah apa lagi yang terjadi diantara kalian dan rumah singgah. Kalian tidak pernah bercerita lagi padaku seperti dulu. Aku hanya tahu, aku berbeda satu tingkat struktural dengan kalian. Aku tahu kalau aku memang tidak berhak tahu apa yang terjadi diantara kalian. Tidak mengapa aku tidak tahu, tapi jangan bertanya tentang apa yang tidak aku tahu.” Sasa mengelak dengan pertanyaan-pertanyaan itu. “Kalau kalian punya masalah selesaikan. Bukankah tidak perlu melibatkan aku?”
Setiap kenangan terus berlalu dan berlalu dengan sendirinya. Tangis, haru, kecewa, marah, tawa dan kebersamaan datang silih berganti. Entah hati sudah menjadi apa orang hanya perlu tahu kalau semua itu masih bisa dilukiskan dengan senyuman. Masih bisa ditunjukkan dengan kebersamaan. Walau entah apa yang tersembunyi didalam hati masing-masing dari mereka.
Detik, jam dan hari terus berganti. Selesai sudah semua tanggungan di rumah singgah. Sasa mulai tidak menjangkaunya lagi meski hanya sesekali mengunjungi orang-orang yang ada disana. Begitu juga Alif yang mulai benar-benar tidak tampak. Juga sahabat-sahabat mereka yang mulai saling tidak bertemu. Sasa yang harusnya telah selesai dengan target skripsinya, terpaksa mengakhiri semester delapan dengan kehampaan dan merajut langkah disemester kesembilan. Sampai tuntaslah sudah dengan gelar sarjananya. Alif. Entah bagaimana dia, Sasa hanya sesekali mendengar kabar dari temannya. Meski kadang bertemu dalam ketidaksengajaan atau sekedar basa-basi mengirim kabar.

Solo, 27 November 2015

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe