Puing-puing Keresahan
Kebersamaan ini banyak
caranya. Melewati pagi yang berganti senja juga malam yang menggantikan siang.
Melewati badai dipenghujan juga merasakan gersang dikemarau. Waktu dengan
sendirinya menemani kita berkisah. Masihkah kau bertanya tentang waktu?
Sudahlah. Waktu sanngat bersahabat, mempertemukan kita yang telah sempat jauh
meski pada akhirnya waktu mempertemukan kita kembali dengan jarak. Sebuah
kesempatan untuk kembali merajut rindu.
Waktu ini tidak akan
lama lagi. Kembali kaki harus melangkah meninggalkan rumah. Menempuh ratusan
kilometer untuk perantauan selanjutnya. Jalan ini harus aku tempuh, sekalipun
terasa begitu pahit. Saat aku rasa benar-benar merasa lelah. Bukankah harusnya
aku bahagia? Formasi pendidikan berasrama sudah keluar. Beasiswa yang sudah
pasti ada ditangan. Hanya ada dua pilihan, menerima atau membebaskannya.
Sedang dari jauh sana.
Akun medsos banjir dengan teman-teman lama yang mulai merapat. Mengabarkan ada
beasiswa S2 untuk guru dikdas. Ada juga yang mengabarkan ada beasiswa S2 untuk
pembibitan dosen. Tawaran yang menggiurkan bukan? Aku sudah menantikan ini
sejak lulus kuliah. Tetapi semua kini ada didepan mata. Mana yang harus
dipilih.
Beberapa mendukung agar
aku melanjutkan S2. Merangkak lagi dari awal mengumpulkan mimpi yang sempat
terpendam. Mengingatkan untuk memperbaiki tofel dan kesiapan materi. Apa
salahnya mengejar mimpi? Ada yang menahanku. Tidak perlu terlalu tinggi untuk
seorang yang menjadi guru. S1 sudah cukup, tinggal mengambil beasiswa
pendidikan profesi yang sudah jelas didapat. “Maruk” bilangnya saat aku ungkap
ingin melanjutkan S2.
Keresahan seminggu
terakhir ini harus aku akhiri. Senja ini mengubah segalanya untuk anak perempuan
seusiaku. Senja mengantarkanku pada doa yang teramat panjang. Mengingatkan aku
akan semua kalimat panjang yang tertulis di akun medsos milikku. Info beasiswa
juga pendapat beberapa teman yang sengaja aku minta pertimbangan. Bertanya
sina-sini mencari kepastian. Segalanya harus berujung disini. Mimpi melanjutkan
S2 itu harus terpendam lagi. Harus aku yakinkan diri ini, jalan Allah selalu
terbaik meski kadang kita tidak menginginkannya. Allah tahu kita membutuhkan yang
terbaik.
Pada akhirnya aku harus
mengambil beasiswa pedidikan berasrama selama setahun. Bandung kabarnya.
Universitas yang aku harap mampu menempuh S2 disana. Pilihan itu pada akhirnya
kita yang harus memilihnya. Apapun nanti hasilnya, aku hanya berharap yang
terbaik.
Lembaran baru itu semoga
bukan pelarian. Bukan karena aku lari dari pertanyaan-pertanyaan untuk
perempuan dua puluh lima tahun. “Kapan nikah Mbak?” atau pertanyaan serupa yang
aku terima saat pulang dari pulau seberang “Mbak, pulang mau nikah ya? Kapan”
benar saja disini kebanyakan perempuan seusia itu sudah menikah. Menggendong
anaknya sambil berdendang. “Kuliah lagi? Kapan nikahnya?” tanya seorang kawan
ketika aku menjawab pertanyaannya tentang rencana hidupku. Apa yang salah
dengan jawabanku? Aku masih punya kontrak tidak menikah untuk beasiswa
pendidkan profesi guru. Sampai pendidikan selesai tidak boleh terikat tali
pernikahan. Meski ada beberapa teman yang sudah mendapat kabar bahagia dari
calon pengantinnya. Hanya memegang komitmen dan menikah usai pendidikan.
Dua, tiga bulan dirumah
sampai kini bulan keenam aku masih berada dirumah. Berada dalam kesibukanku
sendiri didepan notebook dan handphone. Merangkai kata-kata. Menulis artikel
juga cerpen berharap akan dimuat di media, namun masih saja nihil hasilnya.
Salahkah? Mungkin masih ada yang harus aku perbaiki. Belajar meulis dan
menulis. Mengadakan proyek menulis bersama teman-teman membuatku lebih
bersemangat dan semakin ingin belajar. Tetapi diluar sana ada yang kembali
bertanya, “Mbak sekarang kerja dimana?” simpel saja aku jawab di rumah. Aku
mengerjakan semua itu dirumah degan begitu fleksibel waktu. Mengejar dateline dimalam hari yang nyaman untuk
mencari inspirasi. Sesekali berkunjung
ke toko buku.
Selain menjadi ibu atau
ayah bagi anak-anaknya, teman sebayaku juga berada pada karir untuk memenuhi
kebutuhan keluarga mereka. Setidaknya sudah mampu meringankan beban orang tua.
Memiliki pekerjaan yang setiap pagi mereka berangkat bekerja dan pulang disiang
atau sore hari. Semua itu membuatku tersenyum, setidaknya mereka tidak
menganggur dan menyusahkan keluarga.
“Hidupmu apa hanya untuk sekolah? Aku
lho kerja terus dari dulu.” Begitu kata temanku yang baru saja melaksanakan
resepsi pernikahanya saat aku diperantauan. Hanya sekolah? Andaikan mereka
mengerti bagaimana aku bisa bertahan sampai sejauh ini.tetapi itu tidak perlu
aku ceritakan disini. Tentang hari-hari yang harus aku bagi antara sekolah,
belajar juga bermain. Bagamana aku membawa nasi kotak sedang diluar sana bayak
jajanan menggiurkan. Sudahlah mungkin mereka lupa saat aku harus kuliah,
bekerja disiang hingga malam hari. Tidak perlu semua itu menjadi cerita disini.
Semua rezeki aku
pasrahkan pada Allah. Sebisa mungkin aku mencari jalan terbaik untuk
menjemputnya. Kalaupun harus meninggalkan rumah lagi, akan aku tempuh
perjalanan itu dengan restu Bapak-Ibu.
Meninggalkan rumah juga
kampung halaman. Siapa bilang itu mudah? Rumah selalu menjadi tempat kembali,
bagunan sederhana yang istimewa dengan kenangan. Ada cinta disana, tawa, senyum
juga sendau gurau. Hingga suara tetes hujan pun tidak akan mudah dilupakan.
Kampung halaman yang indah dan tak mudah dilupakan. Seperti lagu yang aku
nyanyikan dulu “Desaku yang kucinta...” rekaman masa kecil yang begitu jelas
dalam ingatan.
Terimakasih untuk sahabat-sahabat
yang sudah menemaniku menggila dua minggu terakhir. Menemani kegalauan dan
keresahan. Memberi pertimbangan untuk aku memilih S2 atau pendidikan profesi
guru. Mengingatkanku dengan caranya masing-masing. Semua tertumpah kemarin saat
aku bertemu dengan teman calon konselor. Sampai senja hari ini memaksaku untuk
memilihnya sendiri.
Karanganyar, 19 Februai 2016
Ary Pelangi
Komentar