“Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?”

“Semakin lama aku mennggu
Untuk kedatanganmu
Bukankah engkau telah berjanji
Kita jumpa disini
Datanglah, kedatanganmu kutunggu
Telah lama, telah lama kumenunggu”

Sebuah lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama berdendang menemani malam. Sisa rintik-rintik hujan masih menetes dari atap. Lagu yang sudah begitu lama mengudara, tiba-tiba kini berputar mengingatkan akan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan.
Hujan. Nyanyian yang tak pernah henti untuk memutar rekaman kehidupan. Jejak yang tidak mudah terlupa. Pernah memang jalan ini membuat patah hati, menjadikan raga teramat lelah dan mengahirinya dalam tetesan lembut kelopak mata. Namun dalam jalan ini pula berjumpa denganmu, mengenal senyum dan tawa. Mengurai keresahan menjadi harapan. Esok atau suatu hari nanti akan aku dapati bunga yang tumbuh dari biji yang tersiram hujan.
“Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?” sebuah status yang terpampang jelas di wall sosmed. Sebuah pertanyaan sederhana seorang kawan perempuan yang ditujukan untuk kehidupan. Sebuah tanya yang menyimpan keresahan dan menginginkan kepastian.

Dua bulan terakhir, itu bukan pertanyaan asing lagi. Sering aku dapati pertanyaan serupa dari kawan-kawan perempuan yang mulai resah memikirkan usia. Memang pertanyaan serupa kadang melesat dalam lamunanku namun aku selalu berhasil menendangnya dari khayalan. Memilih menggantinya dengan aktivitas yang sekiranya membuatku tetap tersadar. Namun dalam sadarku, aku berada dalam sosmed dimana pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada dalam wall. Seperti sebuah tanya yang wajib untuk dijawab. Mungkinkah sebuah pengingat untuk diri yang terlalu sibuk mendamba pendidikan yang terlalu tinggi.
Mungkin jari-jariku sudah tidak cukup lagi untuk menghitung berapapa kali pertanyaan serupa mendarat ditelinga. Sejak aku kembali dari desa perpencil di seberang pulau. Keberadaanku enam bulan dirumah menumbuhkan sebuah tanya sederhana. “Kapan nikah?” sesederhana itu.
Seberu. Begitu masyarakat tempat rantau menyebut anak gadis. Dikampung halamanku, rumah tempat tinggalku menyebutnya anak perawan. Anak gadis yang sudah layak untuk menikah. Menjalin ikatan dengan lelaki dan mengarungi kehidupan rumah tangga. Sebegitu sederhana kebiasaan desa mengusik kehidupan orang-orang didalamnya. Ketika angka usia memasuki angka dua puluh dan belum menikah mulailah muncul sindiran-sindiran alam. Angin membisikkan cerita-cerita yang entah siapa penulisnya, membuat hati geram dan muak rasanya. Bisik-bisik itu semakin jelas terdengar saat menanjak diangka dua puluh tiga hingga dua puluh lima. Semakin saja bisik-bisik itu jelas. Memuat telinga tidak ingin mendengarnya, umpatan-umpatan yang bagiku tidak semestinya. Setelah itu munculah gelar “perawann tua” anak gadis yang tidak juga menikah padahal usianya sudah lebih dari dua puluh lima tahun.
Kebanyakan mereka disini hidup berkarir setelah menyelesaikan pendidikan SMA, mereka diterima untuk bekerja di industri. Entah bagian apa tetapi pabrik-pabrik itu siap menampung tenaga muda. Baru-baru ini saja mulai ada yang melek untuk masuk perguruan tinggi. Itupun tidak banyak. Selebihnya kebiasaan tetap menjadi panutan. Menikahkan anak perawan mereka dengan lelaki pilihan.
Enam bulan usai perantauanku dari seberang. Aku masih menunggu sebuah janji untuk ditepati. Pendidikan satu tahun berasrama dengan beasiswa penuh. Aku mendarat di Jawa saat angka kehidupanku dua puluh lima tahun kurang dua bulan. Sedang aku harus menghabiskan enam bulan untuk liburan panjang sebelum masuk asrama. Beasiswa menjanjikan begitu banyak kenyamanan, tawaran menggiurkan. Semua itu sebanding dengan pengorbanan. Pengabdian satu tahun dirantau untuk membaktikan ilmu di daerah yang tidak mudah kehidupannya. Kontrak tidak menikah sampai selesai pendidikan. Sebuah syarat yang membuat kebanyak perempuan mundur sebelum mengikuti seleksi pengabdian dulu. Janji yang akan menghadiahkan kenangan angka dua puluh enam didalam asrama pendidikan.
Selalu ada harga mahal untuk hasil yang juga mahal. Hukum dagang yang tidak pernah bisa ditolak. Meski sering terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan ketika orang-orang tahu aku ingin menyelesaikan pendidikan sebelum menikah. Banyak nasehat yang mengingatkan aku untuk menikah dan membebaskan beasiswa yang sudah ditangan. Lantas menjalani kehidupan seperti kebanyakan anak gadis disini. Namun aku beruntung, keluargaku hanya membiarkan semua bisikan itu terbang terbawa angin, tidak ingin mendengarnya. Justru mereka bersemangat untuk pendidikanku. Mengingatkan agar aku tidak terpengaruh dengan semua bisikan angin yang menggoyahkan.
“Bawa pacarmu pulang.” Kata seorang kawan karib teman bermain. “Setidaknya biar kami kenal.” Kebanyakan anak gadis memang begitu. Berkumpul dan bercerita tentang kekasihnya, munjukkan foto kemesraannya dengan sang kekasih. Senyumku kembali menjawab dengan sederhana. “Nanti kalau sudah waktunya. Siap-siap nyinom aja” begitu kataku membuyarkan mereka. “Kapan Mbak?” Sebuah tanya seolah tidak percaya. Nyinom, begitu kami menyebut aktivitas pemuda-pemudi bila ada teman yang menikah, menghidangkan makanan untuk tamu yang hadir dalam pesta pernikahan. “Kapan-kapan.” Jawabku. Jawaban yang kebanyakan kami sangat paham artinya, sebuah makna waktu yang entah kapan.
Tadi dah acara lamaran adik kita “si fulan” dengan “si fulan”. Tapi tanggal nikahnya belum fix. Tadi seorang teman menunjukkan foto mereka berdua naik mobil. Nggh.. mungkin disini kita sama-sama menjadi pengingat bagi adik-adik kita untuk tetap jaga-jaga sebelum waktunya. Ya, syukuri dulu saja mereka ada niat serus dan baik. Bagi saya pribadi, saya belum menemukan dalil yang melarang orang jatuh cinta. Justru sejauh yang saya tahu, sejarah dari zaman nabi, sahabat dan para pengikut terdahulu bahwa mereka memfasilitasi ketika ada dua cinta, ya dibantu buat nikah. Jadi kumendukung siapapun asal nitnya memang nikah, tentu karena paham bukan karena akal-akalan nafsu saja. Cinta itu fitroh. Kembali pada “si fulan” dan “si fulan”, mari kita sama-sama menjaga. Jangan sampai mereka lama-lama untuk sah dan dinasehati misal hampir kebablasan seperti foto berdua di mobil.
Sebuah pesan kiriman seorang teman dalam grup salah satu medsos yang aku gunakan. Pesan yang memang sudah malam baru tersampaikan, mungkin dia juga baru saja mendapat kabar itu. Tentang si fulan dan si fulan yang disebut-sebut dalam pesan itu memang beberapa hari lalu mulai menjadi perhatian kami. Awalnya aku hanya tersenyum setengah tidak percaya, setidaknya aku pernah dekat dengan mereka. Tetapi bukan si fulan dan si fulan itu yang telah menyelesaikan lamaran yang menjadi perhatianku. Sebuah pesan yang lain tentang kepedulian seorang kakak untuk adik yang mereka temukan di kota perantauan ketika kuliah. Ada sebuah pengingat yang mungkin sudah lama tidak menyentuh kehidupanku, ya sejak aku jarang bertemu mereka karena terbatas kesibukan masing-masing.
Dua, tiga kali aku baca pesan itu, ada makna yang dalam dalam kalimat yang panjang. Aku tidak ingin menyimpulkannya. Setidaknya aku paham dengan apa yang tertulis disana. Masih ada peradaban yang menjunjung nilai-nilai kehidupan yang begitu istimewa.
Aku teringat dengan diskusi beberapa hari lalu, sudah agak lama memang tetapi aku ingin menuangkannya disini. Sebuah diskusi yang entah bagaimana berawal, namun seorag dari kami membuat kesimpulan sedehana setelah beberapa kalimat panjang muncul di wall grup sosmed kami. Diskusi sesama anak rantau yang telah pulang kekampung halamannya. Diskusi yang tidak memancing emosi namun mampu mengurai kegelisahan. Percakapan dimana kami tidak saling bertatap muka namun mampu saling berdebat, tertawa dan sesekali menyindir.
Semua pilihan memiliki jalannya masing-masing. Bila ingin jadi dosen ya setidaknya S2 dan S3 bila perlu, ikuti seleksinya, syukur bila ada beasiswa. Kalau ingin berwirausaha ya silakan berusaha, buat bisnis plan dan jalankan usahanya. Andaikan ingin nikah juga tidak masalah, cari pasangannya, penuhi kewajibannya dan jadikan sah di KUA. Tetapi andaikan ingin kembali kerantau jadi GGD ya ikut saja PPG, toh beasiswa sudah ditangan. Kalaupun tidak GGD gelar “gr” bisa tetap kita miliki.
            Setiap tujan kehidupan memiliki jalurnya masing-masing. Jalan yang harus ditempuh juga harga yang harus dibayar. Semua akan sebanding dan tidak akan ada yang dirugikan. Sebuah pilihan kehidupan yang kadang terasa rumit.
            Wahai jiwa yang merindu, lupakah engkau akan sebaris kalimat indah ini? Jaminan yang tidak pernah diingkari oleh Sang Pencipta, bahwa semua diciptakan berpasang-pasangan. Mungkin hanya akan berlalu dan berlalu begitu saja tetapi apa lagi yang harus kita takutkan? “Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu pula sebaliknya.” Masihkah harus meragukan janji-janji manis yang pasti akan datang diwaktu yang tepat. Menjadi hadiah dalam perjalanan hidup kita.
            Wahai jiwa yang mendamba cinta, mungkin engkau seperti diriku yang mendekap cinta dalam diam, sesekali menuangkan dalam deretan kata diatas kertas. Semoga seseorang itu akan datang setelah aku selesai dengan mendidikanku, setelah aku benar-benar siap menyambutnya. Sedang aku tahu pasti bila saat itu tiba, usia kehidupan ini sudah menapak diangka dua puluh enam. Mungkin suatu hari pertanyaan ini akan kembali terucap dan sebuah jawaban akan mengiringinya. “Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?”

Karanganyar, 24 Februari 2016

Ary Pelangi

Komentar

Inspirasi Guru mengatakan…
Janji2 itu adalah janji Tuhan. tentulah bagi orang yang yakin janji itu sudah cukup menjadi jawaban hehe
Umi Satiti mengatakan…
iya. kita harus percaya tentang janji yang sudah pasti jawabannya.

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe