Pesan dari Rantau



Seperti biasa, hari ini berharap terlalu tinggi. Ingin menggapai langit-langit yang jauh disana. Seperti biasa, diri ini menggepakkan sayap terlalu kuat. Tetapi diri ini telah lupa, ada sayap yang pernah patah. Harusnya kusadari itu namun terlambat sudah. Raga ini melesat jauh dari awan-awan, hingga tiada lagi awan menangkapku. Mata terbuka, “Mengapa masih bernafas?” sedang sakit menjalar disekujur tubuh. Masih sendiri.
Seekor pipit jatuh diantara gerimis
Karanganyar, 18 Desember 2015
Ary Pelangi


            Malam yang semakin gelap tampak semakin gelapnya. Diluar sana bintang-bintang pun enggan bersinar. Mungkin bukan enggan bersinar hanya berembunyi dibalik selimut mendung. Dingin tidak ingin kalah, turut serta hadir merobek-robek raga yang hampir seminggu terus saja meriang.
            Langit hendak menumpahkan hujan, tetapi tampak keraguan. Sesekali hanya tetes gerimis yang terdengar.
            Harusnya aku matikan handphone malam ini hingga tidak aku temukan temukan pesan itu. Pesan yang membuat tangan ini tidak sabar untuk membanting handphone yang sejak senja tadi tidak jauh dari jangkauan tangan. Namun tugas-tugas itu membuatku tetap bertahan dengan handphone juga notebook. Tidak ingin membuka sosmed, tetapi setiap kali “Ting” menggema ditelinga tangan ini begitu lincah segera meraihnya.

            Kekhawatiranku sejak siang tadi terwujud sudah. Sebuah nomor yang hanya aku kenal tiga digit terakhir. Sebuah pesan yang menghancurkan segalanya. Entah apa yang dituliskan jari-jariku. Tetapi tidak ada yang aku pikirkan. Huruf-huruf tidak terbaca berjajar memenuhi lembar ms.Word. Hingga berakhir dengan kusor yang menekan tombol shut down.
            Tanganku kembali dengan handphone. Memastikan lagi aku tidak salah membaca pesan itu. Namun sama. Tidak ada satu kata pun yang berubah. Tidak ada satu huruf pun yang terlewat.
            Mata ini beralih pada pesan-pesan yang lain. Mungkin akan ada yang berbeda dan takdir akan berubah. Setidaknya membuatku tertawa diatas kekecewaan yang baru saja singgah.
            Mengunggah sebuah foto dan menulis sedikit kata. Mungkin cukup untuk ungkapkan kecewaku. Tetapi tidak ada yang berubah. Tidak ada tawa juga tidak ada ketenangan. Masih sama, kecewa.
            Kecewa yang dulu sudah termaafkan pun kini kembali hadir menertawakan. Berjalan di jalan yang sama tetapi waktu membuatnya tidak lagi sama.
            Aku tercekat dalam kecewa yang hadir menertawakan. Hingga aku tak mampu turut serta menertawakannya seperti dahulu. Hingga tidak ada lagi bunyi “Ting” terdengar. Aku pikir sudah berakhir tetapi aku terlanjur terjebak dalam kepahitan yang tidak mampu aku rasakan lagi pahitnya. Kepahitan yang sudah mengalirkan sungai-sungai ketidakrelaan. Pasrah? Tidak. Aku merintih sendiri. Meneteskan butir-butir yang tidak ingin dilihat orang.
            Sendiri dalam kegelapan. Aku terjebak dalam tangisku sendiri. “Ya muqalibal qulub tsabit qalbi aladinika” kalimat yang terucap begitu saja hingga nafasku sedikit terasa lebih bebas. Namun aku masih tercekat dalam tangisku sendiri. Sepertinya sudah puluhan istigfar terucap. Tetapi dada ini masih juga terasa sakitnya.
            “Mas, masih ingatkah kau pada adikmu ini?” ingin aku mengirim pesan padanya tetapi sudah malam. Aku juga tahu disana sudah satu jam lebih malam dari langit Jawa. “Air mata ini sama dengan air mata yang dulu pernah kau lihat.” Batinku. Tetapi tidak satu pesan pun aku kirimkan padanya.
            Hanya kalimat istigfar yang aku dengar dari dalam hatiku sendiri. Sampai aku berusaha tenang. Berusaha menghentikan tangisku sebelum seseorang dari kamar sebelah mendapatiku menangis.
***
“Masih adakah idealisme dihatimu disaat kau benar-benar sendiri?”
            Aku tidak sadar ada begitu banyak bunyi “Ting” yang terabai disaat diri ini tenggelam dalam tangis. Sebuah tanya sederhanya dari seorang Mas yang kini menjalani perantauan nan jauh diseberang pulau.
            Angin apa yang membawa pesan-pesan itu? Dia mengirim kalimat sederhana hampir di tengah malam. Berulang kali aku membaca pesan itu seakan-akan dia langsung mengucapkannya padaku. “Idealisme?”'
“Mungkinkah itu yang sudah mulai memudar dalam hidupku?”
            Rasa syukur ini semakin menyejukkan jiwa. Seketika terasa begitu damai dalam diri ini. Dan kecewa yang tadi, mungkin angin telah menerbangkannya jauh entah kemana. Mungkinkah angin membawanya jauh sampai menyeberang lautan. Dan dia yang disana mungkin saja sedang menatap langit mendengarnya.
“Maaf Mas, bila lelapmu harus terusik oleh bisikan angin. Sebab aku tidak tahu lagi selain membebaskan apa yang terasa. Mengembalikan pada Rabb-ku dan membiarkan agar Dia yang menyelesaikannya. Maaf Mas, bila lelapmu harus terusik oleh air mataku. Hanya itu yang bisa aku kirim dalam lelahku. Aku ingin tangguh meski tanpamu. Menjadi adikmu yang mampu berdiri tegak memegang idealisme meski badai terus saja menggoyangkannya. Terima kasih untuk pesan malam ini. Sebuah tanya yang engkaupun tidak butuh jawabannya. Sebuah tanya yang mampu membuatku lebih mengerti dalam menasehati diri sendiri.”

Karanganyar, 18 Desember 2015 (23:04)

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe