Hilangnya Butiran Mutiara



Tetapi kenyataan memang tidaklah mudah
Ketika tidak lagi mampu berkilau
Ketika tidak lagi terjaga keberadaannya
Mungkinkah hanya akan menjadi “sampah”
Onggokan sampah yang hanya diabaikan
Menjadi sindiran dan cibiran

Andaikan bisa,
Ingin aku merangkainya menjadi perhiasan
Sebuah gelang, kalung, liontin atau mungkin mahkota
Hingga nilainya lebih dari sebutir mutiara


Siapa peduli dengan terik matahari yang membakar telapak kaki? Siapa pula yang peduli akan keringat yang bercucuran saat berlari? Sesuatu yang kita pedulikan adalah bagaimana caranya bisa tetap berlari dan bersembunyi. Bagaimana menemukan orang-orang yang harus kita cari? Hingga sebuah kepuasan yang kita miliki. Halaman rumah itu yang menjadi arena turnamen permainan. Kerjasama, strategi dan sportifitas yang kini bisa kita mengerti artinya ternyata telah menyatu dalam diri ini. Arena segala turnamen masa kecil kita.
Meski deras hujan mengguyur bumi bukan menjadi alasan tuk hentikan kebahagiaan. Justru kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Ketika lumpur berjaya dan mampu membuat kemenangan atas kebahagiaan kita. Menjadi lahan bermain yang menyenangkan. Menciptakan tawa sebagai pengikat kerukunan. Waktu itu aku masih kecil. Sangat kecil untuk memahami arti kehidupan. Namun aku sudah tahu apa itu menangis dan tertawa. Aku sering melakukannya, dulu saat aku masih suka bermain dengan hujan di halaman rumah bersama denganmu, kawan.
Masih ingatkah engkau dengan pelangi yang menghiasi Lawu? Aku ingin melihatnya lagi. Mengenang kembali masa kecil yang begitu menyenangkan. Aku dan kau berdiri di pematang. Membiarkan tanaman padi membungkus sebagian tubuh kecil yang masih begitu rapuh. Kita saling bercerita tentang pelangi. Menunjuknya dan melukisnya dalam imajinasi. Hingga hilang warnanya dari angkasa, lantas kita kembali menikmati sisa hari dengan segudang cerita dan imajinasi.
Ketika masa tidak lagi sama. Aku sadari diri ini mulai berbeda. Disisa masa seragam merah putih berlahan harus aku tinggalkan arena itu. Tidak bisa lagi terlalu lama berlari. Tidak bisa lagi terlalu sering bermain denganmu. Bahkan sempat aku merasa iri ketika aku lihat tempat itu begitu riuh dengan tawa. Sedang aku harus kembali kedalam rumah dan membuka lembaran-lembaran masa depan.
Waktuku telah terbagi. Jadwalku telah ditentukan. Antara sekolah, istirahat, belajar, mengaji dan bermain. Semua telah diatur sedemikian indah. Aku harus mengikutinya. ”Waktunya belajar ya belajar.” Ada waktu sendiri untuk bermain. Hari minggu menjadi sangat menyenangkan, karena aku bebas melakukan apa yang aku suka.
Sampai tiba hari dimana aku kembali dari sebuah perjalanan. Senja yang cerah menemani langkah menuju pondok diujung jalan. Seperti biasa aku lewati likuan jalan yang tak lagi rata.
Aku tidak sanggup lagi untuk tidak memandangnya. Sebuah bangunan kecil yang dulu sangat sederhana. Rasanya aku tidak ingin berpaling dari sana. Aku mendengar riuh tawa yang telah lama hilang. Sebuah masjid yang kini telah memiliki ruang belajar sendiri. Sebuah petakan kecil yang entah apa isinya. Aku mendengar suara anak-anak. Tapi aku hanya bisa memandangnya dengan mengayuhkan sepedaku lebih lambat saja. Aku belum mampu menghentikan sepedaku disana dan berbaur dengan riuh tawanya.
Ketakutan itu kembali menyelimuti diriku. Setelah bertahun-tahun hanya aku asingkan dari kehidupan. Tentang mereka yang kini benar-benar belajar baca tulis disana. Menuntut pengetahuan agama. Pada akhirnya mereka akan jatuh ke lubang gelap itu seperti yang sudah-sudah.
Aku sedih menyaksikan semua itu. Saat aku lihat mereka tumbuh menjadi remaja. Harusnya mampu menjadi kebanggaan dan harapan. Tetapi generasi sebelum mereka justru menghancurkan semua harapan itu. Ketika gemerlap dunia terlalu menyilaukan. Sedang mereka tak mampu menjaga diri dari indahnya dunia yang menghanyutkan.
Pendidikan hanya sekedar sekolah. Pendidikan dasar selesai. Beruntung bisa masuk SMA/ SMK. ”Yang penting sekolah. Dapat ijazah buat jadi kerja di pabrik.” begitu katanya. Hanya asal sekolah dan mengenal pengetahuan sederhana yang sebenarnya telah jauh tertinggal dari peradaban zaman. Sedang majelis ilmu agama mulai ditinggalkan. Sholat mulai terabai dan tilawah telah berganti dengan syair lagu.
Semua ini terlalu mengecewakan. Ketika pergaulan terlalu bebas. Asap rokok terus beterbangan dan minuman keras sebagai pelepas dahaga. Sudah mereka kenal dalam usia yang masih belia. Malam-malam bukan lagi berada dirumah. Tapi mereka telah menyatu dengan kehidupan jalanan. Duduk bersila di pinggir jalan. Menghembuskan asap rokok dan memainkan lembaran kecil dengan piawai jemarinya. Kadang sesekali minuman tak layak itu yang membasahi bibirnya.
Ada apa dengan kehidupan ini? Ketika harus aku dapati mereka membangun kehidupan keluarga diusia yang terlalu muda. Merajut harapan namun sering membuatku kembali merasa bersalah. Karena aku hanya bisa diam dan menganggap sudah biasa. Selalu kesalahan yang sama akibat gemerlap dunia remaja yang tak berimbang dengan pengendalian diri terhadap nafsu.
Aku mampu melakukan banyak hal di negeri pengembaraanku. Mengajari anak-anak baca tulis. Mengajari mereka mengaji dan menamkan nilai budi pekerti. Aku bisa melakukan aktivitas sosial lainnya yang mampu membuat aku merasa tenang. Mungkinkah ketenangan itu yang membuatku merasa tenang disana dan enggan kembali pulang?
Andaikan ruang belajar itu mampu bermanfaat lebih. Bukan hanya untuk mereka yang hanya berusia pendidikan dasar. Lantas mereka hilang dan lenyap pula ilmu yang telah mereka kumpulkan.
Ingin rasanya berada disana. Melakukan sesuatu yang bermakna. Setidaknya lakukan perubahan kecil untuk masa depan mereka. Hingga bukan lagi suram dunia yang mengisi masa indah kehidupan. Lantas tidak lagi hanya menjadi korban generasi sebelumnya.

”Sahabat, semoga pengembaraan ini bermakna. Aku merindukan kampung halaman yang telah lama aku tinggalkan. Padahal aku tahu pengembaraan ini belumlah benar-benar selesai. Masih ada kau yang menungguku untuk kembali kesana, sebuah negeri dengan kesejukan yang kita bertarung bertahan hidup disana. Mengurai air mata menjadi senyuman dan tawa. Mereaksikan lelah, putuh asa dan harapan menjadi kebahagiaan dan kenyataan. Hingga lukisan senyum yang mewarnai kehidupan. Namun disinilah ketika aku pulang. Kampung kecil ini yang bangunan rumahnya telah kokoh dan megah. Namun semua itu hanyalah kerapuhan yang akan hancur bila tertiup angin.”

Ary Pelangi
Februari 2013
Kota Negeri Khayalan
– Edisi Pulang Kampung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe