Hilangnya Butiran Mutiara
…
Tetapi kenyataan memang
tidaklah mudah
Ketika tidak lagi mampu
berkilau
Ketika tidak lagi terjaga
keberadaannya
Mungkinkah hanya akan
menjadi “sampah”
Onggokan sampah yang hanya
diabaikan
Menjadi sindiran dan
cibiran
Andaikan bisa,
Ingin aku merangkainya
menjadi perhiasan
Sebuah gelang, kalung,
liontin atau mungkin mahkota
Hingga nilainya lebih dari
sebutir mutiara
Siapa peduli dengan terik
matahari yang membakar telapak kaki? Siapa pula yang peduli akan keringat yang
bercucuran saat berlari? Sesuatu yang kita pedulikan adalah bagaimana caranya
bisa tetap berlari dan bersembunyi. Bagaimana menemukan orang-orang yang harus
kita cari? Hingga sebuah kepuasan yang kita miliki. Halaman rumah itu yang
menjadi arena turnamen permainan. Kerjasama, strategi dan sportifitas yang
kini bisa kita mengerti artinya ternyata telah menyatu dalam diri ini. Arena
segala turnamen masa kecil kita.
Meski deras hujan mengguyur
bumi bukan menjadi alasan tuk hentikan kebahagiaan. Justru kesempatan untuk
mendapatkan lebih banyak lagi. Ketika lumpur berjaya dan mampu membuat kemenangan
atas kebahagiaan kita. Menjadi lahan bermain yang menyenangkan. Menciptakan
tawa sebagai pengikat kerukunan. Waktu itu aku masih kecil. Sangat kecil untuk
memahami arti kehidupan. Namun aku sudah tahu apa itu menangis dan tertawa. Aku
sering melakukannya, dulu saat aku masih suka bermain dengan hujan di halaman
rumah bersama denganmu, kawan.
Masih ingatkah engkau dengan
pelangi yang menghiasi Lawu? Aku ingin melihatnya lagi. Mengenang kembali masa
kecil yang begitu menyenangkan. Aku dan kau berdiri di pematang. Membiarkan
tanaman padi membungkus sebagian tubuh kecil yang masih begitu rapuh. Kita
saling bercerita tentang pelangi. Menunjuknya dan melukisnya dalam imajinasi.
Hingga hilang warnanya dari angkasa, lantas kita kembali menikmati sisa hari
dengan segudang cerita dan imajinasi.
Ketika masa tidak lagi sama.
Aku sadari diri ini mulai berbeda. Disisa masa seragam merah putih berlahan
harus aku tinggalkan arena itu. Tidak bisa lagi terlalu lama berlari. Tidak
bisa lagi terlalu sering bermain denganmu. Bahkan sempat aku merasa iri ketika
aku lihat tempat itu begitu riuh dengan tawa. Sedang aku harus kembali kedalam
rumah dan membuka lembaran-lembaran masa depan.
Waktuku telah terbagi. Jadwalku
telah ditentukan. Antara sekolah, istirahat, belajar, mengaji dan bermain.
Semua telah diatur sedemikian indah. Aku harus mengikutinya. ”Waktunya belajar
ya belajar.” Ada waktu sendiri untuk bermain. Hari minggu menjadi sangat
menyenangkan, karena aku bebas melakukan apa yang aku suka.
Sampai tiba hari dimana aku
kembali dari sebuah perjalanan. Senja yang cerah menemani langkah menuju pondok
diujung jalan. Seperti biasa aku lewati likuan jalan yang tak lagi rata.
Aku tidak sanggup lagi untuk
tidak memandangnya. Sebuah bangunan kecil yang dulu sangat sederhana. Rasanya
aku tidak ingin berpaling dari sana. Aku mendengar riuh tawa yang telah lama
hilang. Sebuah masjid yang kini telah memiliki ruang belajar sendiri. Sebuah
petakan kecil yang entah apa isinya. Aku mendengar suara anak-anak. Tapi aku
hanya bisa memandangnya dengan mengayuhkan sepedaku lebih lambat saja. Aku
belum mampu menghentikan sepedaku disana dan berbaur dengan riuh tawanya.
Ketakutan itu kembali
menyelimuti diriku. Setelah bertahun-tahun hanya aku asingkan dari kehidupan. Tentang mereka yang kini benar-benar
belajar baca tulis disana. Menuntut pengetahuan agama. Pada akhirnya mereka
akan jatuh ke lubang gelap itu seperti yang sudah-sudah.
Aku sedih menyaksikan semua
itu. Saat aku lihat mereka tumbuh menjadi remaja. Harusnya mampu menjadi
kebanggaan dan harapan. Tetapi generasi sebelum mereka justru menghancurkan semua harapan itu. Ketika gemerlap dunia terlalu menyilaukan.
Sedang mereka tak mampu menjaga diri dari indahnya dunia yang menghanyutkan.
Pendidikan hanya sekedar
sekolah. Pendidikan dasar selesai. Beruntung bisa masuk SMA/
SMK. ”Yang penting sekolah. Dapat ijazah buat jadi kerja di pabrik.” begitu katanya. Hanya asal sekolah dan mengenal pengetahuan
sederhana yang sebenarnya telah jauh tertinggal dari peradaban zaman. Sedang
majelis ilmu agama mulai ditinggalkan. Sholat mulai terabai dan tilawah telah berganti
dengan syair lagu.
Semua ini terlalu
mengecewakan. Ketika pergaulan terlalu bebas. Asap rokok terus beterbangan dan
minuman keras sebagai pelepas dahaga. Sudah mereka kenal dalam usia yang masih
belia. Malam-malam bukan lagi berada dirumah. Tapi mereka telah menyatu dengan
kehidupan jalanan. Duduk bersila di pinggir jalan. Menghembuskan asap rokok dan
memainkan lembaran kecil dengan piawai jemarinya. Kadang sesekali minuman tak
layak itu yang membasahi bibirnya.
Ada apa dengan kehidupan ini?
Ketika harus aku dapati mereka membangun kehidupan keluarga diusia yang terlalu
muda. Merajut harapan namun sering membuatku kembali merasa bersalah. Karena
aku hanya bisa diam dan menganggap sudah biasa. Selalu kesalahan yang sama
akibat gemerlap dunia remaja yang tak berimbang dengan pengendalian diri
terhadap nafsu.
Aku mampu melakukan banyak hal
di negeri pengembaraanku. Mengajari anak-anak baca tulis. Mengajari mereka
mengaji dan menamkan nilai budi pekerti. Aku bisa melakukan aktivitas sosial
lainnya yang mampu membuat aku merasa tenang. Mungkinkah ketenangan itu yang membuatku merasa
tenang disana dan enggan kembali pulang?
Andaikan ruang belajar itu
mampu bermanfaat lebih. Bukan hanya untuk mereka yang hanya berusia pendidikan
dasar. Lantas mereka hilang dan lenyap pula ilmu yang telah mereka kumpulkan.
Ingin rasanya berada disana.
Melakukan sesuatu yang bermakna. Setidaknya lakukan perubahan kecil untuk masa
depan mereka. Hingga bukan lagi suram dunia yang mengisi masa indah kehidupan.
Lantas tidak lagi hanya menjadi korban generasi sebelumnya.
”Sahabat,
semoga pengembaraan ini bermakna. Aku merindukan kampung halaman yang telah
lama aku tinggalkan. Padahal aku tahu pengembaraan ini belumlah benar-benar
selesai. Masih ada kau yang menungguku untuk kembali kesana, sebuah negeri
dengan kesejukan yang kita bertarung bertahan hidup disana. Mengurai air mata
menjadi senyuman dan tawa. Mereaksikan lelah, putuh asa dan harapan menjadi
kebahagiaan dan kenyataan. Hingga lukisan senyum yang mewarnai kehidupan. Namun
disinilah ketika aku pulang. Kampung kecil ini yang bangunan rumahnya telah
kokoh dan megah. Namun semua itu hanyalah kerapuhan yang akan hancur bila
tertiup angin.”
Ary Pelangi
Februari 2013
Kota Negeri Khayalan
– Edisi Pulang Kampung
Komentar