Pudarnya Waktu dan Jarak

“Kuliah di Yogya saja, biar kita bisa sama lagi.” Katamu waktu itu.
“Aku tetap di Solo.” Jawabku.
“Apa iya? Pikirkan lagi.” Pintamu meyakinkanku. Dan aku hanya mengiyakan.
Persimpangan jalan membuatku mengakhiri kebersamaan dalam perjalanan.  sebuah kisah yang tak kutahu awalnya. Hanya hari itu kta mengakhirinya dengan lambaian tangan saat aku berdiri di trotoar dan kau masih dalam bus menuju sekolahmu.
(Catatan tahun 2009_ Putih Abu-abu)
***
          
  Dia adalah sahabat yang begitu istimewa. Mengenalnya ditahun terakhir saat kuberbangga dengan seragam biru putih. Semakin dekat dengannya dan kakraban terjali begitu saja. Dirinya meminta aku bersamanya satu sekolah untuk mengisi masa putih abu-abu bersama. Hanya jelas itu tidak mungkin. Aku tidak secerdas dirinya juga tak ada uang saku untuk dua kali naik bus setiap pagi dan dua kali lagi saat pulang. Dijanjikannya sepeda motor agar tidak perlu keluar uang untuk perjalanan sekolah tetapi aku bukan orang yang menggantungkan diri pada orang lain.
            Takdir sungguh bersahabat. Mengizinkan tiga tahun melukis cinta dalam kotak berjalan meniti jembatan pengetahuan, SMA. Kabut, fajar juga gerimis mengisi cinta yang tidak pernah mengucap kata cinta. Katanya cinta namun terisi dengan kecemburuan dan cinta yang lain. Cinta yang tetap kembali untuk berdamai dan memahami. Cinta yang akhirnya terpisah karena cita yang berbeda. Sejak itu kita mulai mengerti sudah habis waktu untuk bersama. Lambaian tangan itu pertemuan terakhir sebelum ujian untuk menutup masa putih abu-abu. Tidak ada hutang, tidak ada janji, juga tidak ada kerinduan. Hanya menyisakan puing-puing kenangan yang suatu hari nanti akan hilang.
***
Kalau saja dulu bisa setenang itu, mengapa sekarang tidak untuk kita?
Begitu saja kita saling mengenal. Melewati musim yang terus saja berganti. Empat kemarau empat penghujan yang tidak pasti dengan ceritanya. Perjalanan yang tidak pernah aku duga sebelumnya saat kukira semua baik-baik saja, hanya persahabatan biasa. Tetapi gerimis, hujan juga senja menjadikan semuanya berbeda. Saat aku tahu pertengkaran begitu menyiksa dan kau berpamitan meninggalkan aku dalam suatu perjalanan, aku kira itu hanya gurauan belaka.

Kau pergi dan menghilang. Lantas kau datang bersama sahabatmu yang lain menebar marah padaku. Berteriak dengan suara yang hanya kita dengar. Suara yang begitu menyakitkanku. Kau tanyakan tentang sahabat lelakimu yang hilang. Saat itu aku telah seminggu mencarinya, pesan-pesankupun tidak dijawabnya. Telfon tidak pernah mendapat jawaban. Kau masih saja menyalahkanku. Saat aku bertanya mengapa tak kalian tanyakan pada sahabatnya yang lain, lantas aku sebut nama-nama yang mungkin lebih dekat dengannya tetapi kau bilang tidak peduli. Aku sudah menemui mereka dan merekapun mengaku tidak tahu.
“Tidak ada yang tahu, dia pergi tanpa barang-barangnya. Hanya sebuah ransel berisi buku-buku yang bukan buku kuliah. Temukan dia dan suruh kembali pada kuliahnya. Kembalikan dia pada kami.”
            Sahabat lelakimu itu, Cinta. Aku tidak menemukannya, sahabatnya yang pernah aku sebutkan namanya untukmu juga tidak tahu dan tidak pernah mengatakan apapun padaku. Apa kau pikir aku diam? Diantara ketidakpastian itu, saat yang lain mengatakan “Entahlah.” Aku justru marah padamu dan pura-pura sibuk dengan kuliahku. Sahabatmu itu, dia yang sering menanam benih kemarahan dalam diriku, memancing emosi saat pertemuan dengannya dan hebatnya dia selalu ada sebagai sahabat baik saat aku membutuhkannya. Dalam kepergiannya itu sekali dia menemuiku dan akupun mengabarkannya padamu, aku tahu dia sedang tidak baik sementara aku mencoba tidak peduli dengan masalah-masalahnya. Seperti pintamu, aku minta dia mengabari kalian, kembali dengan kuliahnya namun dia hanya tersenyum dan memintaku diam.
            Cinta, bahkan diantara kita tidak pernah ada kata cinta. Hanya saja semua isyarat itu begitu jelas saat kita menjadi kawan bicara yang begitu istimewa. Menapaki jalan-jalan itu dengan tidak pernah mendapat kepastian. Lawu, gerimis, malam dan hujan begitu saja mengantarkan cerita dalam keramahan yang akhirnya hanya terlukis dalam diam. Kita hanya diam karna saling mengerti akan banyak hati yang terluka jika kata cinta itu terucap. Sejak kau bilang pergi kau benar-benar pergi dan hebatnya lagi kau memintaku untuk tetap menemani sahabatmu itu. Kau bilang hanya aku yang membuat hatinya masih berasa. Tetapi siapa yang peduli? Aku temani sahabatmu, mencoba ada untuknya seperti pintamu.
            Aku pikir kau sudah benar-benar tidak peduli, Cinta. Tetapi kau selalu datang disaat paling kritis dalam hidupku. Kita semakin sering bertemu disemester kedelapan saat kau mulai bertanya tentang rencana-rencana hidup. Sehari penuh pernah kita lewati berdua berawal dari gerbang kampus hingga sehari penuh. Banyak cerita lalu yang kita bicarakan lagi, tentang cinta yang kau temui dan berhasil membuatku patah hati. Kau bilang itu hnaya cerita biasa. Pertemuan-pertemuanpun kembali terulang dalam ketidaksengajaan.
“Kau lanjutkan saja hidupmu. Aku pun akan menyelesaikan skripsiku. Cintai orang yang mencintaimu apa adanya. Saat ini ada orang yang memperjuangkanmu tetapi kau berhasil membuatnya ragu.” Katamu. “Ada orang baik, tetapi kau habiskan waktumu untuk berdebat dengannya. Aku tidak tahu apa kau mencintainya. Bila dia datang, terimalah.”
“Siapa?”
“Aku tidak akan mengatakannya karna dia berhasil membuatku patah hati.” Hujan masih deras menjatuhkan dirinya diatap. “Kau jaga saja hatimu untuk orang yang kau cintai, untuk orang yang mencintaimu juga. Aku juga akan menjaga hatiku untuk orang yang aku cintai, untuk orang yang mencintaiku. Jodoh tidak akan kemana.”
“Siapa orang itu? Apa dia lebih baik darimu?” tanyaku tetapi kau hanya tersenyum. Itulah terakhir bertemu saat aku telah selesai dengan naskah skripsiku, tinggal menunggu waktu ujian. Kisah yang aku pikir berakhir ketika tali toga mengakhiri kehidupan universitas.
            Sekarang aku tahu siapa orang itu saat aku kembali dari tanah perantauanku. Saat kaupun telah meraih sarjanamu dan juga pulang kekampung halamanmu. Aku justru tahu dari orang lain saat semua begitu jelas. Selesai? Selesaikan semua dalam diam. Karena tidak mungkin bila cinta ini menjadi segitiga yang tidak pernah saling bertemu.
Hanya untuk menjaga hati agar tak banyak yang terluka. Kisah ini, hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Cerita yang boleh kau ingkari. Perjalanan yang akupun tidak mengakuinya. Tidak pernah berawal dan biar seperti ini saja. Berakhir dengan kita saling diam. Hingga tidak akan ada yang meanggung rindu diantara kita.

Karanganyar, 16 Oktober 2015

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe