Puisi Si Patah Hati
Aku masih tertunduk didalam mobil.
Mengapa dua kawanku ini rela jauh-jauh dari Yogya dan menculikku. Sekilas tadi
aku melihat keramaian senja di tanah lapang. Mungkin sedang ada pasar malam.
“Lihatlah keluar!” Arya yang sejak tadi
mengemudi turun juga dari mobil. Begitu juga Widya yang sejak tadi duduk
disampingku turun tanpa kata.
Entah
untuk alasan apa aku dibawa kesini. Ini bukan Solo juga bukan Yogya. Hanya saja
aku belum pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Berlahan-lahan kepala
terangkat dan mata mulai melihat apa yang terjadi diluar sana.
“Untuk seorang gadis yang pernah menabur
benih cinta dihatiku.” Kalimat pertama Sanjaya terhenti sejenak. Kata-kata
indah terucap selanjutnya.
“Terimakasih telah menaburnya dihatiku.
Menunggunya tumbuh, namun tidak juga berakar. Kau menunggu dan tetap menunggu,
kemaraupun tiba. Kau menantinya, batangpun tak mau nampak. Hanya kau masih
berharap tumbuh rimbnnya daun. Masih kau nantikan manisnya buah. Kemarau tak
akan pernah berganti dengan hujan. Benih yang kau semaikan mati sudah.” Sanjaya
menarik nafas dan memandang kaca mobil yang masih tertutup.
“Bukalah pintunya, Sa. Puisi ini
untukmu.” Sanjaya kembali menarik nafas dan aku masih tertunduk didalam mobil.
Suara Sanjaya mulai
mengantarkan mentari kepersembunyiannya. “Terimakasih untuk cinta setahunmu.
Sebuah rasa yang terlewatkan olehku. Kutahu kini terlambat menyadarinya, namun
inilah keterlambatanku. Kau telah pulang dengan kecewa. Menyibak gerimis dan
berjalan seolah tak pernah ada hujan kau rasa. Hatimu telah retak karena
kemarau.”
“Keluarlah Salsa, ada hadiah untukmu.”
Sanjaya masih terus berharap aku akan keluar. Tatapan matanya begitu memelas
dan penuh harap.
Kuturunkan
kata dan bergantian aku pandang dua wajah yang masih berdiri didepan pintu, Ari
juga Sanjaya. “Lelaki mana yang berani menulis puisi sebegitu pahitnya?” tatapanku
tepat pada mata Sanjaya yang hampir putus asa. Tetapi mulutnya ingin mengucap
lagi.
“Masih adakah waktumu
tuk kembali menyemai benih diladang hatiku? Menantikan hingga kemarau berhanti
penghujan. Masih adakah kesabaran untuk kembali memulai. Aku tak ingin
melewatkanmu, Salsa.” Sanjaya melipat kertas yang ada ditangan kirinya. Itu
artinya berakhir sudah kalimat puisi dalam genggamannya. Aku buka pintu mobil
dan berdiri didepan dua anak manusia yang begitu aku kenal.
Mata
Sanjaya sayu menatapku. Sedang dua orang yang tadi datang menculikku tak lagi
berkata apapun. Ari tertunduk seakan bicara pada tanah juga rumput-rumput yang
mulai mengering.
“Dia menulisnya untukmu, Sa.” Sanjaya
memberikan selembar kertas yang tadi dibacanya.
Aku membuka lipatan
kertas bertuliskan puisi. Tulisan tangan yang cukup rapi. Tertulis titimangsa
yang begitu jelas “Sebuah pembaringan rumah sakit kota Yogyakarta, 8 Oktober
2015. Ari.” Matanya semakin tampak merah meski masih tertunduk aku melihatnya
begitu jelas.
“Tidak ada sebutir
cintapun yang aku tanam dihatimu. Mungkin kau salah melihat tentang bayangan
yang hadir menyemai diladang hatimu.” Semakin lekat aku memandang wajah Ari
yang mulai terangkat. “Aku hanya pernah salah meletakkan biji cinta yang aku
punya.”
Ari masih terdiam.
Mulutnya ingin berucap tapi bibir terlalu kuat mengunci kata. Diriku tak pernah
meneteskan air mata dihadapan lelaki. Itulah kekuatanku. “Aku sudah mengambil
lagi benih itu sebelum kembali pulang kesini. Aku sudah membuangnya.
Menjatuhkannya saat perjalanan pulang dua bulan lalu. Tidak ada lagi cinta yang
aku tinggalkan dihatimu, Ari.”
Aku tahu telah
memecahkan sekeping hati yang tengah terluka saat gelap mulai datang. Diri ini
justru menumbuk lembut dengan sendirinya hatiku yang telah remuk. “Ari, mengapa
tidak kau simpan saja rasa itu?”
Kubuka pintu mobil dan
kupersilakan penulis puisi yang tengah patah hati itu masuk kedalamnya.
“Pulanglah” kataku. “Istirahatlah, Ari. Semoga esok hatimu telah sembuh.” Aku
tutup pintu dan meminta Arya mengantar juga Widya kembali ke Yogya. Dan aku
habiskan malamku sendiri sepanjang jalan menuju rumah.
Karanganyar, 9 Oktober 2015
Ary Pelangi
Komentar