Cinta yang Lain
“Terima
kasih telah mengizinkan aku mencintai yang lain.”
Setahun yang lalu
ketika aku sampaikan pesan padamu untuk kepergianku jalankan tugas di tanah
orang. Aku bilang akan pergi setahun dan mungkin akan sulit mengirim berita
padamu. “Ya, hati-hati.” Sebuah jawaban singkat yang sampai mengisi inbox SMS
malam sebelum aku berangkat.
Bahkan
kita tidak bertmu sebelum perpisahan untuk perjalanan jauhku. Aku mengerti dan
baiklah aku cukup mengerti. Kau mungkin terlalu sibuk dengan tugas-tugasmu yang
rumit itu. Diri ini cukup mengerti dengan kesibukan tugas akhirmu, Cinta. Aku
yakin waktu itu engkau sedang fokus memandang layar notebook-mu. Sebegitunya
engkau serius mengetikkan calon skripsi yang akan engkau konsultasikan dengan
pembimbingmu. Sampai aku menghibur diri dengan keyakinan itu dan kau baca
pesanku sambil lalu. Begitu kau tidak ingin kehilangan fokus tugasmu dan kau
hanya sempat menuliskan “Ya, hati-hati.”
Berbulan-bulan
aku menikmati perantauanku tanpamu, Cinta. Bahkan kau tahu, doa yang sebelumnya
untukmu telah berganti menjadi nama yang lain. Tiga hari pertama saat aku sadar
telah mengganti namamu dengan nama yang lain aku selalu terbangun menjelang
subuh dengan mimpi yang sama.
Hari
hujan di tanah Kemuning. Saat aku bersamamu melewati hari itu juga serangkaian
kisahnya. Benar. Hari itu kita masih sama-sama mahasiswa yang begitu memliki
rencana indah. Hari hujan itu berlalu begitu saja beriring perdebatan juga
pertengkaran. Hari yang mengecewakan memang. Dihari itu juga kita sama-sama
menyimpan luka yang sama untuk sebuah kebersamaan. Hari itu kita berperan
seolah semua baik-baik saja. Begitu seterusnya hari-hari selanjutnya.
Tiga
hari dengan mimpi yang sama di waktu yang sama. Membuatku merasa berat menyebut
lagi namamu dalam doa yang telah terganti dengan nama yang lain. Membuatku
berhari-hari merenung dan bertanya “Mengapa?”
Ingin
sekali menghubungimu, Cinta. Hanya saja aku takut pesanku akan mengganggu
kesibukanmu. Aku takut hanya akan mengganggu keseriusan skripsimu. Diri ini
hanya takut engkau kehilangan fokus dan mood untuk segera lulus. Maka aku
urungkan niat itu.
Tentang
nama yang baru itu aku mulai bersenang-senang dengannya. Tetap menyebutnya
dalam doa dan membiarkan namamu terabai begitu saja. Aku melupakan mimpi-mimpi
sebelum subuh itu. Aku menikmati hari-hari dengan dirinya, menulis sendiri
kisahku tentangnya.
Malam,
aku kembali terbangun dalam sepi. Belum beranjak dari tempat tidurku namun air
mata telah mengalir dengan derasnya. Seorang diri aku sesenggukan mengingat
mimpi tentangmu. “Aku akan menulis kebersamaan kita.” Itu janjiku di tanah
Kemuning dulu. Malam itu aku bermimpi tentangnya. Kau pun akan menulis dengan
caramu sendiri. Mengapa harus engaku?
Esok
harinya banyak hal berbah. Kita mulai saling bicara lagi lewat media sosial.
Mulai saling memberi kabar dan bercerita. Kau bilang, “Aku sudah lulus.” Begitu
aku tersenyum mendengar berita gembira itu. ceritamu kau berada di perantauan
yang jauh dari rumah, mencari pengalaman kau bilang. Sejak hari itu kita mulai
lebih sering saling bicara dengan tulisan. Kau tahu, masih bukan dirimu yang
aku sebut dalam doa. namamu telah berganti dengan nama yang lain. Kau mengerti
itu?
Ada
yang menarik dengan nama yang lain itu. Cinta, aku menikmati waktu dengan
dirinya meski hanya sebatas dengan tulisan. Hari-hari yang menyimpan begitu
banyak kisah dan hiburan. Membuatku sampai merasa layak menggantimu dengan
dirinya. Semua waktuku dengannya memiliki arti lebih.
Aku
membaca semua tanda yang engkau beri untukku. Empat tahun di universitas denganmu.
Aku mengenalmu dengan apa yang engkau miliki. Wajar saja kita sering mencuri
waktu disela-sela kesibukan. Pernah aku hampir menyerah dan marah tentang
isyarat-isyaratmu hanya saja aku terlalu angkuh mengakuinya waktu itu dan
membiarkannya berlalu begitu saja.
Syawalpun
tiba dan menjawab segalanya. Peratauanku yang tinggal menghitung hari berlalu
begitu lambat. Saat aku lebih sering bercerita denganmu juga diriku yang
semakin nyaman merajut kisah dengan dirinya. Aku dengan dirimu, aku dengan
dirinya sama-sama merajut cerita dalam tulisan. Menyembunyikan semua tanda dan
membiarkannya berlalu, persis dahulu kisah kita.
Syawal
kembali mengajarkan luka. Tahun lalu aku belajar untuk tidak bertemu denganmu
menyambut perantauan panjangku. Syawal tahun ini aku terluka karena kecewa pada
nama yang aku sebut dalam doa. Nama yang menggantikan namamu. Tidak perlu aku
ceritakan, Cinta. Aku sudah cukup terluka karenanya. Hanya karena aku kecewa
padanya. Itu saja. Bahkan dia tidak pernah menyakitiku. Dan setiap percakapanku
dengan dirinya masih sangat menyenangkan, hanya saja aku terlanjur kecewa
dengan sikapnya.
Malam
sebelum aku meninggalkan tanah perantauanku aku kembali bermimpi tentangmu.
Saat kau meninggalkan rumah singgah waktu kuliah dulu. Saat kau bilang “Tak
usah menahanku dan memintaku datang lagi.” Saat itu aku memandangmu sampai aku
tak lagi menemukan tubuhmu diantara orang-orang. Sejak hari itu kita masih
sering bertemu hanya saja tidak lagi di rumah singgah. Pertemuan kita selalu
memiliki kisah indah sendiri.
Kini
aku telah kembali dan belum bertemu denganmu. Ingin aku memastikan semua
isyara-isyarat itu, tetapi masih layakkah aku untukmu setelah perjalanan yang
panjang ini. setelah aku mengganti namamu dengan nama yang lain. Masihkah
mungkin?
Terimakasih
sudah mengizinkan aku mencintai yang lain. Membuatku mengkhianati isyarat yang
tidak pernah pasti. Jalani saja takdir ini mulailah saling menyebut nama dalam
doa. yakinlah seperti dahulu. Masih ada ruang maaf untuk semua pertengkaran
kita dan aku berharap masih ada maaf untuk cinta dalam perantauanku.
Mengertilah.
Karanganyar, 14 September 2015
A.Pelangi
Komentar