Puisi Si Patah Hati

Aku masih tertunduk didalam mobil. Mengapa dua kawanku ini rela jauh-jauh dari Yogya dan menculikku. Sekilas tadi aku melihat keramaian senja di tanah lapang. Mungkin sedang ada pasar malam.
“Lihatlah keluar!” Arya yang sejak tadi mengemudi turun juga dari mobil. Begitu juga Widya yang sejak tadi duduk disampingku turun tanpa kata.
            Entah untuk alasan apa aku dibawa kesini. Ini bukan Solo juga bukan Yogya. Hanya saja aku belum pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Berlahan-lahan kepala terangkat dan mata mulai melihat apa yang terjadi diluar sana.
           
Ari berdiri diluar jendela, tepat didepan pintu. Wajahnya masih menyisakan warna biru putih, pucat. Matanya masih sembab, merah. Aku dengar dua hari lalu dia dirawat dirumah sakit. Entah apa sakitnya. disamping Ari berdirilah Sanjaya, sahabat kental Ari. Tangan kirinya memegang selembar kertas sedang ditangan kanannya ada microfon berwarna hitam. Aku kembali terunduk didalam mobil. Suara Sanjaya mengudara memenuhi langit senja itu.

“Untuk seorang gadis yang pernah menabur benih cinta dihatiku.” Kalimat pertama Sanjaya terhenti sejenak. Kata-kata indah terucap selanjutnya.
“Terimakasih telah menaburnya dihatiku. Menunggunya tumbuh, namun tidak juga berakar. Kau menunggu dan tetap menunggu, kemaraupun tiba. Kau menantinya, batangpun tak mau nampak. Hanya kau masih berharap tumbuh rimbnnya daun. Masih kau nantikan manisnya buah. Kemarau tak akan pernah berganti dengan hujan. Benih yang kau semaikan mati sudah.” Sanjaya menarik nafas dan memandang kaca mobil yang masih tertutup.
“Bukalah pintunya, Sa. Puisi ini untukmu.” Sanjaya kembali menarik nafas dan aku masih tertunduk didalam mobil.
Suara Sanjaya mulai mengantarkan mentari kepersembunyiannya. “Terimakasih untuk cinta setahunmu. Sebuah rasa yang terlewatkan olehku. Kutahu kini terlambat menyadarinya, namun inilah keterlambatanku. Kau telah pulang dengan kecewa. Menyibak gerimis dan berjalan seolah tak pernah ada hujan kau rasa. Hatimu telah retak karena kemarau.”
“Keluarlah Salsa, ada hadiah untukmu.” Sanjaya masih terus berharap aku akan keluar. Tatapan matanya begitu memelas dan penuh harap.
            Kuturunkan kata dan bergantian aku pandang dua wajah yang masih berdiri didepan pintu, Ari juga Sanjaya. “Lelaki mana yang berani menulis puisi sebegitu pahitnya?” tatapanku tepat pada mata Sanjaya yang hampir putus asa. Tetapi mulutnya ingin mengucap lagi.
“Masih adakah waktumu tuk kembali menyemai benih diladang hatiku? Menantikan hingga kemarau berhanti penghujan. Masih adakah kesabaran untuk kembali memulai. Aku tak ingin melewatkanmu, Salsa.” Sanjaya melipat kertas yang ada ditangan kirinya. Itu artinya berakhir sudah kalimat puisi dalam genggamannya. Aku buka pintu mobil dan berdiri didepan dua anak manusia yang begitu aku kenal.
            Mata Sanjaya sayu menatapku. Sedang dua orang yang tadi datang menculikku tak lagi berkata apapun. Ari tertunduk seakan bicara pada tanah juga rumput-rumput yang mulai mengering.
“Dia menulisnya untukmu, Sa.” Sanjaya memberikan selembar kertas yang tadi dibacanya.
Aku membuka lipatan kertas bertuliskan puisi. Tulisan tangan yang cukup rapi. Tertulis titimangsa yang begitu jelas “Sebuah pembaringan rumah sakit kota Yogyakarta, 8 Oktober 2015. Ari.” Matanya semakin tampak merah meski masih tertunduk aku melihatnya begitu jelas.
“Tidak ada sebutir cintapun yang aku tanam dihatimu. Mungkin kau salah melihat tentang bayangan yang hadir menyemai diladang hatimu.” Semakin lekat aku memandang wajah Ari yang mulai terangkat. “Aku hanya pernah salah meletakkan biji cinta yang aku punya.”
Ari masih terdiam. Mulutnya ingin berucap tapi bibir terlalu kuat mengunci kata. Diriku tak pernah meneteskan air mata dihadapan lelaki. Itulah kekuatanku. “Aku sudah mengambil lagi benih itu sebelum kembali pulang kesini. Aku sudah membuangnya. Menjatuhkannya saat perjalanan pulang dua bulan lalu. Tidak ada lagi cinta yang aku tinggalkan dihatimu, Ari.”
Aku tahu telah memecahkan sekeping hati yang tengah terluka saat gelap mulai datang. Diri ini justru menumbuk lembut dengan sendirinya hatiku yang telah remuk. “Ari, mengapa tidak kau simpan saja rasa itu?”
Kubuka pintu mobil dan kupersilakan penulis puisi yang tengah patah hati itu masuk kedalamnya. “Pulanglah” kataku. “Istirahatlah, Ari. Semoga esok hatimu telah sembuh.” Aku tutup pintu dan meminta Arya mengantar juga Widya kembali ke Yogya. Dan aku habiskan malamku sendiri sepanjang jalan menuju rumah.

Karanganyar, 9 Oktober 2015

Ary Pelangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paket Cinta // Suami Istri Lyfe

Menghilang di Batas Rasa

Menikah Denganmu // Suami Istri Lyfe