Postingan

Selamanya . . .

Gambar
  Cinta, Masihkah engkau sering menatap kaca itu? Menyaksikan pohon-pohon berlarian? Masihkah pandangan itu hampa seperti hari kemarin? Sudahlah cinta. Cukupkanlah imajimu itu. Tenang sesuatu yang hanya akan mengembalikan dunia ”autis” yang telah lama engkau tinggalkan. Sesalku yang tak bisa menjagamu untuk tetap terjaga dalam kehidupan ini. Sedihku melihatmu kembali berada dalam imaji ”autis” yang sulit tuk berganti. Aku merindukan senandungmu. Ingin aku dengar lagi tawamu. Melihatmu dalam bahagia itu menyenangkan hatiku. Memandangmu bersama mereka menenangkan hariku. Dimana kini semua itu, Cinta? Dalam hidup ini kadang kita memang harus kehilangan. Suka atau tidak suka kita harus melewatinya. Kehilangan sebagian kecil ataupun banyak dari kehidupan yang kita miliki.tapi bukan berarti kehilangan yang sedikit ini harus membuatmu kembali menyelam dalam duniamu yang dulu. Bukan berarti kau harus kembali pada masa itu sebelum kau memiliki yang hilang saat ini.

Bertahanlah

Gambar
Sinar matahari di siang menjelang sore. Sinar itu yang dengan halus menyibakkan tirai gerimis yang mehanku untuk sejenak berhenti. Disebuah bangunan yang harusnya tenang namun suara bising mesin-mesin pengaduk semen membuatku jengah. Aku pergi meninggalkan tempat persinggahanku. Masih melangkah kaki ini entah kemana. Tidak peduli dengan gerimis ini. Masa bodoh dengan sinar matahari yang sesekali menyilaukan. Tidak ada pelangi. Hanya saja tidak ada pilihan lain lagi selain aku melangkah dan membiarkan gerimis mengiringi langkahku. Cinta…. Aku yakin engkau sedang menangis. Mengapa cinta? Tidakkah engkau lebih dewasa sedikit lagi? Hanya sedikit saja lebih dewasa menyikapi keadaan ini. Bukakah engkau sendiri yang pernah berkata akan menyelesaikan ini sampai akhir? Lantas mengapa kini engkau menangisi pilihanmu? Engkau sudah cukup dewasa dalam mengambil keputusan juga dalam bersikap. Kau bingung? Tentu. Karna sedihmu dan bimbangmu hanya untuk dirimu sendiri. Tidak pernah e

Sebuah Kenangan Tentang Perjalanan

Gambar
Hujan sedari tadi membuatku melamunkan banyak hal. Aku duduk ditepi jalan raya sambil menanti hujan reda, tahukah apa yang muncul dalam bayanganku? Suara air yang berdau dengan aspal menyambutku turun dari bus ditempat yang kini terasa asing bagiku. Aku berteduh disuah bengkel di pinggir jalan. Jalanan yang masih padat dengan lalu lalang kendaraan. Duduk disana, melamun. Ya aku melamun. Nenikmati indahnya gemericik air yang beradu dengan aspal. Sungguh suara itu menjadi nyanyian kedamaian dalam diriku. Hujan semakin deras dan entah lagu apa yang berdendang. Hujan ini mengingatkan aku pada bangunan itu. Sebuah gedung kecil tempat aku singgah. Bangunan berlantai dua itu, entahlah. Aku ingat itu hari  Minggu tanggal satu Januari, sudah hampir satu tahun rupanya. Sungguh waktu ini terlalu cepat berlalu. Sudah hampir satu tahun, tapi peristiwa itu maaaasih jelas dalam bayanganku. Masih sangat aku ingat detailnya yang membuat nafasku sempat terasa berat. Aku percah ceritakan tentang

Tentang Hari Hujan Itu

Hujan. Tirai itu yang akan menahanmu untuk tetap duduk bersamaku. Mendengarkan lagu dari tetes air yang jatuh diatap. Memanjakan diri metap kehidupan dalam bingkai bernama jendela. Telah aku dengar sebuah ceritera tentangmu. Beberapa gambar tersebar di maya. Surat kabar itu menyampaikan pesan padaku setelah kau tinggalkan aku hari itu. Kau lakukan itu juga. Tapi tidak mengapa bagiku. Tidak mengapa kau tinggalkan aku untuk berada disana menulis sendiri kisahmu dan berkawan dengan media. Terimalah itu menjadi bagian dalam perjalanan hidupmu. Sungguh tak seorangpun akan menduga bila kau berani melangkah sampai disana. Batas yang benar-benar telah engkau patahkan. GAris yang telah engkau hapuskan. Lantas kau boleh bangga dengan apa yang telah engkau pilih. Jangan pernah bersedih atas pilihan itu. Jangan pernah engkau menyesalinya. JAngan menangis, cinta. Malam ini bukan kau yang menangis karena ayahmu telah mengetahui. Hadapi itu dan keluarlah dari zona ini yang telah bertahun-tahu

Lomba Menulis-Bentang Pustaka

Gambar

Labirin-labirin Masa Lalu

Gambar
Cuaca yang tidak bersahabat.  Angin bertiup menerpa dedaunan yang mulai cerubus. Rasa dinginnya sampai meresap ke pori-pori. Niatan hati segera saja pulang sebelum terperangkap hujan di bangunan bertingkat ini. Berlahan tapi pasti aku melangkahkan kaki melewati anak tangga hingga sampailah aku di lantai satu. Sejenak aku terdiam di ujung tangga. “Benarkah aku ingin pulang?” Batin hati kecilku. “Ya.” Suara hati itu kembali muncul. Kaki ini kembali melangkah meninggalkan suara sepatu yang terus beradu dengan lantai. Entah kenapa aku mempercepat langkahku dan berbalik menuju rumah singgah. Entahlah. Meski aku ingin segera pulang tapi kaki ini melangkah menuju bangunan itu, yang aku sebut rumah singgah. Seperti ada magnet yang menarikku kesama. Ada sesuatu yang menarik langkahku untuk mendekat dan melihat apa yang terjadi. “Sepi.” Kataku pada diri sendiri saat bisa aku lihat bangunan kecil itu. Seperti tak ada kehidupan. Tak seorangpun mengisi kesepian bangku di serambi.          

Tangis dalam Kebekuan

Gambar
Diammu.... Dimana sedihmu? Hingga yang kau tampakkan hanyalah senyum palsumu yang tak semua orang mengerti. Seolah engkau baik-baik saja. Seolah engkau adalah orang paling bahagia yang ada. Tahukah kau, tidak bisa engkau sembunyikan sedihmu itu dalam senyumanmu. Entah semanis apa engkau tersenyum. Seceria apa engkau tampakkan dirimu dihadapan orang lain. Akan ada yang mengerti engkau lebih dari senyuman palsumu. Aku punya satu kisah indah untukmu cinta. Sempatkan dirimu untuk membacanya. ini tentang seorang gadis yang kini sering bersamaku. Tentu ini akan mengusik ketenanganmu tetapi aku ingin engkau tahu sebuah cerita yang indah dan mampu memilukan hatiku. Dia begitu berbeda dari yang lain. Sungguh dia  tidak seperti kebanyakan perempuan yang aku temui. Sopan tutur katanya, dan supel orangnya. Sangat menyenangkan bila berbicara dengan dirinya. Untuk seusia dia, bagiku dia telah cukup dewasa dan bijak menyikapi kehidupan ini. teman-teman yang menyayangi dia, nilai akademi