Ini Bukan Kemewahan, Ini Bentuk Pemulihan

 Ini Bukan Kemewahan, Ini Bentuk Pemulihan

- Umi Satiti -



Sabtu malam, aku seorang diri di dalam kamar memikirkan banyak hal untuk direnungkan. Sejauh ini ternyata banyak hal yang membuatku Lelah, bahkan aku hamper kehilangan diriku sendiri hanya karena terus mencoba menjadi seperti yang mereka pinta.

Sejauh ini - banyak pencapaian, banyak pendapatan, dan banyak perjalanan. Hanya saja belakangan Lelah begitu melekat, senyum hanya sebuah pura-pura untuk tampil baik-baik saja. Aku banyak kalahnya. Aku banyak kurangnya. Sebegitu jahatkah dunia pada diriku yang kecil ini?

Malam ini aku ingin mengurai sebuah pernyataan yang belakangan memenuhi tellingaku, "Sekarang kamu boros, ya, jajan terus."

Secangkir thai tea menemani, aku hanya ingin bercerita bagaimana rasanya bisa membeli sesuatu yang dulu hanya bisa aku lihat. Ada masa dalam hidupku yang banyak berantakannya aku harus menahan banyak hal - keinginan. 

Baju bagus yang dulu dikenakan orang-orang di hari raya, seragam sekolah baru saat awal tahun ajaran, sepatu yang tidak kebesaran, atau hal-hal lainnya yang dulu ingin aku dapatkan tapi tak bisa. semua itu, dulu terasa tidak mungkin. Aku hanya mendapatkan barang-barang baruku Ketika semua telah rusak.

Makanan yang dulu tampak mewah, hanya aku lihat dari kaca jendela bus Ketika bepergian, rasanya terlalu jauh untuk dijangkau. Es krim yang sering muncul iklannya di layer TV, juga rasanya tidak mungkin untuk dinikmati. Bahkan Ketika aku beranjak dewasa dan mengenal beberapa brand fashion ternama, mulai mengenal skin care, aku masih harus menahan diri untuk membelinya. Hanya karena aku harus memastikan apakah besok sudah ada yang dimakan di rumah.

Banyak hal yang tidak bisa aku dapatkan saat itu, tapi aku membungkusnya dalam sebuah doa. "Semoga suatu hari nanti bisa menikmatinya."

Saat ini aku bekerja lebih keras. Mencapai titik karir yang telah sukses dimata orang-orang. Aku punya gaji tetap setiap bulan melekat dengan tunjangannya. Berangkat pagi pulang sore dengan hasil yang harusnya lebih dari cukup. Namun, apa yang aku kerjakan tidak berhenti disitu, aku masih mengambil pekerjaan malam di dunia literasi. Aku mengedit naskah, mengoreksi puisi, dan mengerjakan tulisan-tulisan yang kiranya juga menambah cuan. Kemudian Ketika uangku cukup, satu demi satu aku membeli sesuatu yang dulu masuk dalam daftar doaku. MUngkin inilah watu Allah mengabulkan doa-doaku satu demi satu.

Aku bekerja keras, menabung, bertahan dan juga menahan hingga akhirnya berada pada titik ini - membeli yang dulu hanya bisa aku inginkan. Aku membayarnya dengan uangku sendiri - hasil kerja kerasku. Namun masih saja ada orang yang berisik di telingaku, "Sekarang kamu boros, ya, jajan terus."

Salahkah aku jka saat ini aku menikmati hasil kerja kerasku?

Bagi Sebagian orang, mungkin mereka melihatku ebagai pemborosan. Namun bagiku, inilah bentuk pemulihan. Aku tidak sedang menghambur-hamburkan uang, aku hanya sedang membayar luka masa kecilku - luka karena menahan, karena merasa tidak pantas, karena selalu berkata "tidak", karena tidak mampu. Sekarang aku mampu membayarnya. 

Mungkin saja mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Menjadi aku yang bekerja keras tapi harus mendahulukan kebutuhan pokok terpenuhi dulu sampai aku tidak mendapatkan sesuatu untuk menghibur lelahku. Aku yang dulu lega hanya dengan kebutuhan pokok terpenuhi. Mungkin mereka juga tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku yang pura-pura tidak ingin, padahal sebenarnya tidak mampu.

Saat ini dunia mengenalnya sebagai self reward - "membeli sesuatu" sebagai hadiah karena telah berjuang keras atas sesuatu hal. Inilah yang sedang aku lakukan untuk memvalidasi usahaku endiri bahwa aku juga layak mendapatkan apa yang aku inginkan setelah aku berjuang keras meraihnya.

Meski di sisi lain kehidupan social akan memandangnya dari sisi berbeda ketika membeli barang-barang "mewah". Akan ada label boros, pamer, konsumtif, atau foya-foya. Rasanya aku juga harus belajar untuk menghadapi tantangan social baru ini.

Rasanya lebih lega setelah aku menulis dengan begitu Panjang. Aku seperti sedang berdialog dengan diriku sendiri di depan layer leptop. Aku sedang tidak boros, aku tahu kebutuhanku, aku tahu tanggungjawabku, dan aku juga tahu akan nilai rupiah yang kukeluarkan. Akan kupastikan dulu bahwa setiap kebutuhan pokok telah terpenuhi. Kemudian biarkan dunia social melakukan perannya, memberikan penilaian seperti tugasnya.

Aku tidak sedang pamer, aku sedang merayakan kelegaan - akhirnya aku mampu mewujudkan inginku satu demi satu. 


#15DaysNote #15DN #Day4




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menepi dalam Hening

Kebangkitan Novel Indiva

6 Jurus Renang Ala SLB Rahmawati Kholid