Ombak Samudra Hindia
Aku hanya mengangguk menanggapi
kehadiran Wayang. Sedikitpun aku tidak meliriknya. Mataku masih tertuju pada
langit yang menyatu dengan laut dihadapanku. Menatap ombak yang terus saja
berlomba menepi. Menikmati kesejukan angin samudra yang telah lama tak mengusap
ragaku.
Aroma laut ini masih saja sama
dengan setahun yang lalu saat aku duduk di tepi samudra ini juga. Tetap saja
laut masih biru. Awan masih putih bersih. Meski banyak pemandangan sekitar yang
belum berubah. Hanya saja payung-payung tenda itu dulu tidak ada. Kuda-kuda
juga semakin banyak. Anjing penjaga pantai masih tetap saja agresif berpatroli.
Hari ini tidak akan aku temui senja disini. Karena sebelum senja itu
menyapa munngkin aku sudah akan pergi meninggalkan deburan ombak yang kini
bersahabat. Aku tahu tidak akan aku nikmati senja seperti setahun yang lalu
saat semua kisah itu menjadi awal yang berbeda. Ketika keramahan mulai menyapa.
Diampun berbahasa mengungkapkan segalanya. Gambar itu yang setun lalu diambil
oleh temanku, disini. Gambar yang mengawali segala cerita yang harusnya hari
ini pula akan selesai. Aku menatap awan putih dan dia begitu menikmati air
dalam genggaman tangannya. Setidaknya itu yang belakangan sering aku lihat dari
gambar kecil yang tersimpan dalam folder otakku.
“Apa yang
kau lamunkan?” Wayang memecahkan lamunanku.
“Masa lalu.” Jawabku masih tetap memandang ombak
yang kini sampai mengenai ujung kaki.
“Masa lalu? Apa?” Lagi-lagi Wayang bertanya. Aku
hanya bisa diam memberi jawawaban yang tidak dia harapkan. “Nikmati hari ini, Sa. Hari ini kau milik
mereka.” Kata Wayang sambil menunjuk rombongan kecil yang sedang asik memainkan
bola melawan ombak.
“Aku menikmatinya, Wayang. Sangat menikmatinya.
Tapi laut ini menghadirkan semua masa lalu yang membuatku merasa tak berdaya.
Begitu
saja Wayang meninggalkan aku dan berbaur dengan mereka yang bisa aku dengar
teriaknanya dari tempat duduk. Rasanya sayang melewatkan asinnya air laut. Tapi
aku tidak lagi menikmatinya hari ini. meski sudah aku coba menikmatinya. Tapi
tetap saja tidak bisa. Hanya sesekali saja aku ikut mereka bermain. Meski aku
tahu rasanya itu hanya untuk melihat mereka tersenyum saja.
Saat
ini aku sedang duduk ditepi pantai laut selatan. Aku biarkan ombak menyapa
dengan caranya, membasahi kakiku. Aku biarkan angin membelai jilbabku dan
membuatnya berkibar. Asalkan tidak lepas saja dari kepalaku. Aku menikmati
belaian angin yang menyejukkan ragaku. Jemari tanganku memainkan butir-butir
pasir. Sesekali aku menjatuhkannya dengan berlahan. Berhamburan meninggalkan
genggamanku.
Entah kenapa angin masih saja bisa setia. Mengapa
aku tak mendengarnya mengeluh atau pun berkata ’aku lelah’? Angin masih setia
mengantarkan air menyapa pasir. Menjadikan air bergelombang dan orang-orang
memanggilnya ombak. Mengapa masih saja angin setia mendengarkan deru ombak?
Tidakkah dia bosan? Setiap hari harus selalu begitu. Kesetiannya pada lautan
yang tak tergantikan. Mungkin selamanya akan tetap seperti itu.
“Rif, aku tahu engkau tidak akan datang hari ini. Padahal
sebelumnya telah engkau katakan akan selesai hari ini. Disini.” aku hanya
berbicara pada angin yang tak memberi jawaban kata.
Arifin.
Sebuah nama yang sering membuat aku marah. Satu nama yang menulis banyak kisah
dalam lembar-lembaran hidupku. Meski hanya satu tahun yang aku sadari
selebihnya ternyata itu yang lebih berarti. Satu tahun yang sering berisi
pertengkaran. Serpihan perkataan yang ternyata lebih menyakitkan. Semua itu
hanya bahasa yang tidak sempurna untuk membuat air mata harus sering menetes.
Hanya karena tidak mengerti. Hanya karena berbeda.
Inginku,
menyelesaikan cerita ini hari ini. Sudah tidak bisa lagi aku menyimpan rasa
yang hanya membuat aku sering menahan marah. Ini hari terakhir yang aku punya.
Aku tidak yakin akan memiliki banyak waktu lagi untuk sekedar menemuinya dengan
sengaja. Aku tidak bisa bila hanya untuk sekedar menemuinya untuk menyelesaikan
kisah ini.
“Kau masih bertahan dengan lamunanmu?” Wayang
memercikkan air dari tangannya yang basah mengenai wajahku.
“Sudahlah Wayang bermain saja dengan yang lain. Biarkan
saja aku disini.”
“Tidak, Sa. Lihat mereka.” Wayang memandang kearah teman-teman yang sedang
asik bermain dengan ombak. “Kau mau berjalan sendiri kesana atau ombak yang akan
menelanmu disini.” Wayang melemparkan bola tepat dipangkuanku. “Bawa bola itu
kesana dan bermainlah.”
Aku
kembali melempar bola itu pada Wayang. Kakiku melangkah meninggalkan pasir yang
sudah terlalu lama menemani diamku. Aku menghampiri ombak dan memainkannya
dengan kakiku. Melangkah melewati orang-orang yang bagiku sangat bising.
Keramaian yang selalu membuatku tidak nyaman. Keramaian yang selalu membuat
diriku enggan untuk melangkah. Tapi aku tetap melangkah meninggalkan Wayang
yang terus saja mengusik ketenanganku.
“Salsa!” Suara itu sudah lama aku tidak
mendengarnya. Tapi aku masih ingat milik siapa suara melengking itu. Sayangnya
mataku tidak juga menemukannya diantara ratusan orang yang memadati tepi lautan.
“Sama siapa disini?” Dia begitu saja sudah ada
disampingku.
“Sama teman-teman.” Jawabku sambil menunjuk
rombongan kecil yang sudah tidak jauh lagi dari tempat aku berdiri. “Kau?”
“Tuh. Mereka.” Rama menunjuk pada dua pasang
muda-mudi yang sedang asik berlomba menghindari ombak dan juga seorang gadis
yang melangkah menghampiriku.
“Salsa!” Gadis itu berteriak sebelum akhirnya
berhasil memeluk tubuhku yang mungkin telah rapuh.
Mengapa harus disaat seperti ini?
Tiba-tiba saja ada butiran hangat yang membasahi pipiku. Inikah kerinduan?
Kerinduanku pada sahabatku yang telah lama tidak berjumpa. Denis, gadis yang
dulu rambutnya selalu terikat kini membiarkan angin menerbangkan setiap
helainya. Atau ini adalah ungkapan rasa sakit hatiku yang sejak beberapa tahun
lalu hanya aku pendam. Dia yang sering membuatku iri pada Rama. Karena selalu
banyak kebersamaannya dengan Rama. Karena Rama...
Hari
ini aku melihat mereka datang disini. Menghabiskan akhir pekan di ujung samudra
yang tak akan mengering. Begitu saja gerimis mulai berlomba menyerang pasir juga
gelombang lautan. Aku tahu tidak akan mampu gerimis mengalahkan deburan ombak
yang semakin bersahabat dengan angin. Tetapi sebagian orang-orang lebih memilih
untuk meninggalakan ujung samudra yang berhiaskan mendung kelabu.
“Mana, cowok yang pernah kau ceritakan?” Denis melepaskan pelukannya.
“Aku sama teman-temanku disana.” Jawabku sambil
menunjuk lagi segerombolan orang yang melambaikan tangannya padaku.
“Cowok itu?”
Denis bertanya lagi.
“Aku masih sama
seperti dulu. Aku belum punya pacar.” Aku hanya melirik pada Rama yang masih
sama senyumannya. “Emang kamu, sudah berapa kali berganti pacar?” Denis hanya
nyengir menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah. Kau segera kesana saja. Kasihan
teman-temanmu.” Kata Rama.
“Iya.” Jawabku.
“Kita juga harus main kesana, Ram.” Kata Denis sambil mendorong Rama.
Kakiku
melangkah meninggalkan jejak di atas pasir. Membiarkan ombak menghapusnya.
Membiarkan tetap air mata tetap menetes bersama gerimis. Kehadiran mereka
membuatku semakin tidak mengerti tentang apa yang aku rasakan. Meski jarang aku
bertemu tapi aku selalu tahu apa yang terjadi diantara mereka. Hanya saja sudah
hampir satu tahun ini berita-berita itu hilang begitu saja. Dan hari ini
kembali air yang menjadi saksi bertambah parah luka yang aku rasakan.
Denis
yang pernah menjanjikan banyak hal padaku. Termasuk persahaban yang membuatku tidak
bisa melupakannya. Keceriaan yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.
Termasuk disana ada Rama yang akan selalu setia menjadi sahabat yang baik. Rama
yang telah menjanjikan padaku tentang penjagaan hati. “Kalau kau bisa menjaga
hatimu, aku juga akan berusaha menjaga hatiku.” Setidaknya itu yang pernah Rama
janjikan padaku. Tetapi begitu banyak cerita berbeda yang sering aku dengar.
Juga tentang dia dengan seorang gadis cantik tiga tahun lalu.
Semakin kaki ini berat untuk melangkah. Sayangnya
gerimis semakin deras. Aku hanya menggunakan ujung jemariku untuk menghapus
sisa air mata. Mulai melukis senyuman untuk Wayang dan juga teman-teman yang
sudah lama menyatu dengan air samudra. Meski belum selesai aku bercerita pada
angin. Aku tahu angin mengerti tentang perasaan ini. Seperti sebelumnya dia
yang akan bercerita pada hati tentang rasa. Hari ini memang harus terluka.
Bukan untuk Rama atau Denis. Bukan pula untuk Arifin ataupun Wayang yang selalu
memahami diriku. Tetapi hati ini memang harus begini untuk tetap bisa bercerita
pada samudra. Untuk belajar kesetiaan pada janji. Untuk belajar berkonban dan
setia seperti angin yang selalu setia pada air. Seperti angin yang tidak pernah bosan mendengar
riuh deburan ombak.
“Harusnya hari ini aku bersama mereka.” Kataku pada Wayang.
“Kau menyesal?” Wayang menatap laut yang semakin
kuat menerima tembakan air dari langit.
“Mengapa harus menyesal?” Aku kembali bertanya.
“Rama.” Jawabnya singkat. “Sebenarnya dia orang
yang baik. Tapi dia punya caranya sendiri untuk memilih jalan hidup ini.”
Wayang masih memandang ombak yang semakin mendekat. “Jadi dia yang membuatmu
nyaman melamunkan masa lalu?”
“Bukan dia.” Jawabku. “Sudahlah. Lupakan saja.”
***
Senja
telah membungkus Yogyakarta. Bus terus melaju meninggalkan kenangan tentang
masa lalu. Aku nikmati lampu-lampu jalanan yang turut menghiasi senja.
Keteduhan yang tetap saja tidak selesai. Tidak akan pernah selesai mungkin.
Karena segalanya hanya kembali menggantung untuk terus dijalani.
“Sa, mampir Malioboro ga? Ni kita menuju Malioboro.” Sebuah pesan dari Rama menghancurkan
lamunanku.
“Tidak Rama. Aku dan teman-teman sudah menuju Solo.” Aku mengirimnya untuk Rama.
“Harusnya tadi kau bergabung dulu dengan kita sebentar. Kau juga bisa
berkenalan dengan pacar baru Denis.” Aku kembali membaca SMS Rama.
“Untuk berkenalan dengan pacar baru Denis. Atau kau juga akan memperkenalakan
Sukma sebagai pacar barumu? Nikmati saja Malioboro malam ini. Have fun.”
“Ya. Mungkin juga akan begitu. Semoga engkau juga akan menemukan orang
lebih baik untuk bersanding.” Pesan Rama masuk hampir bersamaaan dengan sebuah pesan yang lain.
Aku
tidak segera membuka satu pesan itu. Bagiku sudah cukup pesan Rama untuk membuat kepingan hati ini semakin
hancur. Sukma yang sudah sangat lama aku tahu punya rasa pada Rama. Aku tidak mengerti tentang perasaan. Aku
tidak mengerti tentang cinta. Aku juga tidak mengerti apa gunanya pacar.
Pandanganku
kembali larut pada lampu-lampu yang menyala semakin terang. Sebagian sudah
terlarut dalam lelapnya. Mungkin karena lelah setelah bermain dengan ombak.
Beberapa masih terjaga, mungkin karena tidak mengantuk. Sebagian lagi memainkan
pipet-pipet handphone mereka. mungkin
sedang mengirim pesan atau menulis status di facebook. Wayang yang duduk tepat dibelangkau. Dia sudah cukup
terlelap rupanya. Aku baru sekali ini melihat Wayang begitu lelapnya. Tapi itu
bukan wajah yang benar-benar terlelap. Ada rasa sedih dan kecewa yang aku lihat
dari wajahnya. Mungkin aku yang terlalu berlebian.
Wayang.
Entah kenapa dia mampu memberi begitu banyak kebijaksanaan. Dia yang begitu
ramah pada kehidupan. Wayang yang selalu mampu memainkan peran terbaik dalam
setiap episode kehidupan. Wayang yang mudah menerima keadaan. Wayang yang
selalu tulus dan perhatian. Wayang yang hanya mampu aku terima kehadirannya
sebagai sahabat. Bukan sebagai Rama atau juga Arifin. Bukan seperti mereka yang
mendapatkan ruang lebih dalam relung hatiku.
“Salsa. Kau tidak tidur.” Suara Wayang yang baru
saja terdengar menjawab telefon.
“Belum.”
Jawabku. “Kenapa?”
“Arifin ingin
bicara denganmu.” Wayang memberikan telefon genggamnya padaku.
Aku menerima Handphone Wayang degan tangan kananku. Sedang satu tanganku
yang lain memainkan handphoneku sendiri. Aku membuka sebuah pesan yang tadi
belum sempat aku baca. Disana hanya ada satu kata. “Maaf.” Pesan dari Arifin.
“Ada apa Rif ?” Aku bertanya
setelah dia menjawab salamkuku.
“Kenapa tidak
membalas pesanku?” Suaranya terdengar dari ujung nan jauh.
“Aku kira itu
tidak butuh jawaban.” Jawabku sambil tetap memandang keluar jendela.
“Terus?” Arifin
bertanya lagi.
“Terus apa?” Aku balik bertanya.
“Harusnya kau
mengatakan sesuatu.”
“Apa yang harus
aku katakan Rif ? Sudah jelas kau tidak datang.
Itu sudah cukup menjawab semua keadaan. Kalau kau ingin mendengar cerita hari
ini, sudahlah besok saja.” Jawabku sambil memandang gerimis yang mulai
menghiasi kaca.
“Bukan begitu, Sa. Ini harus ada penjelasannya. Sebelum
kau benar-benar akan pergi.” Suara itu tertahan. “Kau bilang ini kesempatan
terakhir. Benarkah?”
“Iya.” jawabku.
“Berarti sudah selesai?” Suaranya terdengar begitu
putus asa.
“Sudah selesai, Rif. Apa lagi yang ingin kau tahu?” Aku terdiam
sebentar. “Sudah selesai Rif. Memang harus seperti ini keadaannya. Gambar itu
yang kau perlihatkan padaku kemarin. Semoga bisa kau lupakan. Hapus saja dari
memori handphone.”
Sangat menyesal aku
mengatakannya. Sudah aku kembalikan ketidakpastian itu pada samudra. Aku tahu Arifin tidak akan mengerti. Aku
juga tidak mengerti Rif. Biarkan saja pertengkaran-pertengkaran kecil itu yang
mengakhirinya.
“Kau bercanda. Hari ini aku ingin kau jujur. Akan kau kemanakan
perasaanmu juga perasaanku?” Suara Arifin terdengar begitu saja mengudara.
“Perasaanku? Aku akan membawanya untuk satu minggu
lagi. Untuk bertemu dengan
seorang dokter yang akan mengangkat kanker dalam tubuhku. Bawa saja perasaanmu kemana kau suka.” Aku
putuskan sambungan telfon saat itu juga.
Berakhir
sudah bersama hujan yang membawaku meninggalkan Yogyakarta. Aku dan gambar
kecil satu tahun yang lalu. Arifin yang dulu menggenggam air dalam gambar itu.
Saat tidak ada kata untuk mengungkapkan rasa. Sudah cukup gambar itu yang
mengawali terungkapnya rasa yang kini bersarang dalam hati. Saat pertengkaran
mulai sering terjadi. Saat bahasa dan sikap telah cukup untuk mengatakan marah.
Hanya untuk sebuah janji menjaga kesucian hati. Hanya cukup dengan dia katakan “Kalau
kau lelah, aku akan sakit. Kau tidak boleh lelah agar aku juga tidak sakit.”
Tetapi
Arifin, kini aku telah terlanjur sakit. Lalu bagaimana dengan dirimu. Tentang
sakit yang telah sejak lama menemani pertengkaran kita. Rasa sakit yang bisa
aku tahan dan diam saat kau marah. Karena aku hanya tidak ingin engkau sakit.
Tetapi aku tidak mampu lagi menahan rasa sakitku ini. Rasa sakit ini bukan karena dirimu. Bukan karena
aku sering menjalin pertengkaran denganmu. Tetapi sakit ini adalah anugerah
Allah untuk menjadi teman dalam hidupku. Setia seperti angin yang menemani air
laut.
“Dia menyukaimu, Sa.” Kata Wayang sambil menerima
handphonenya. “Hanya saja tidak pernah ada kata itu untukmu. Aku tidak perlu
menjelaskannya bukan?”
“Aku, dia juga kau sama-sama tahu.”
“Bagaimana dengan Rama?” Wayang kembali bertanya
lagi.
“Rama. Aku tidak tahu siapa yang lebih dulu
mengingkari perjanjian itu. Dia yang lebih dulu menyukai teman sekelasmu atau
aku yang lebih dulu menjalin kisah dengan Arifin. Tapi semua itu sudah selesai.
Sudah ada seorang dokter yang menantiku. Aku tidak yakin apa akan mengenalnya
sebagai malaikat yang menyelamatkanku untuk berjumpa lagi dengan kalian. Atau menjadi malaikat yang akan
mengantarku pada ruang hidup selanjutnya. Dan menghilangkan semua rasa sakit
ini.”
“Bersyukurlah, Sa. Bersyukurlah karena masih ada
cinta yang bisa dirasakan oleh hati. Rasa sakitmu hanya untuk menggugurkan
dosa-dosa yang mungkin harus kau tebus disini. Agar dikehidupan selanjutnya
tidak terasa berat.”
“Mungkin memang begitu. Sampaikan salamku untuk
Arifin juga Rama kalau aku tidak lagi bertemu mereka.”
Biarkan saja hujan membawa semua kepingan
ini. Untuk mengantarku pergi
meninggalkan cinta yang tak pernah mengenal kata cinta. Untuk perasaan yang
memang hanya untuk dirasakan. Untuk akhir yang hanya akan ada dalam hati
masing-masing jiwa manusia. Cukup dengan menjaga hatinya juga hatiku. Dan yang
juga lebih penting adalah perasaan orang-orang disekitarmu.
Juni 2013
Ary Pelangi
Kota Negeri Khayalan
Komentar