Tentang Sebuah Doa
Aku
terbangun sebelum fajar menyapa. Kutahu akan doa-doa yang sering terucap untuk
kehidupan dibalik Lawu. Kenyamanan yang lama aku jalani, juga kebersamaan yang
baru aku nikmati. Pada akhirnya terucap jadi satu. Memperjuangkan atau
mengikhlaskannya. Dan doa-doa mulai
menemukan jawabannya. Aku tidak akan menyesal bila yang aku lepaskan menjadi
lebih baik dan yang aku perjuangkan semakin rumit. Terimakasih kehidupan, aku
yakin suatu saat nanti masing-masing dari kami akan menemukan yang terbaik.
Setidaknya
diri ini sadar tentang apa yang terucap dalam doa usai kewajban lima waktu.
Sering pula aku mengucapnya disela-sela adzan dan iqamah. Semoga doa itu akan
terkabul. Tentang nama yang sudah begitu lama ada dalam rentetan kata. Juga
tentang kebersamaan yang kini entah apa namanya. Setahuku semua tidaklah asing
hanya saja terlalu istimewa untuk terus dibandingkan. Semakin aku mencari
kesempurnaan diantaranya semakin aku menemukan celah yang semakin jauh dari
sempurna.
Hingga
disuatu malam di bulan Ramadhan aku tertunduk dalam diam. Memutar rekaman jejak
yang pernah terpotret di lereng Lawu. Rintikan hujan kota bengawan juga senja
yang mendekap kegelisahan. Apalagi selain pertengan yang tidak pernah berakhir
hingga akhirnya telah begitu saja terlupa? Sebuah kenangan yang sengaja aku
putar, aku alirkan bersama air dari kelopak mata. Jejak kenangan itu sengaja
aku hadirkan agar aku tahu seberapa indah kenangan itu.
Saat
aku kalah satu pertanyaan dengan sahabatku. Dia lempar balik pertanyaan yang
pernah aku tanyakan. Sebab dia telah mendapatkan jawabannya. Tentang seseorang
yang dia cintai. Sedang aku juga telah menemukan jawabannya dihari itu. Saat
pertanyaan itu menghantam relung hatiku. Tentang seseorang yang aku cinta.
Tentang seseorang yang aku perjuangkan. Dia telah menjawab pertanyaan yang
sama, membuktikan betapa tangguhnya pengorbanan, kesetiaan dan tetap menjadikan
kekasihnya berada dalam dekapnnya. Sedang aku? Aku apa!
Dihari
yang sama terkuras habis semua kecewa. Bahwa yang aku harap akan berjuang telah
lama menyerah. Yang aku inginkan untuk mengapai langit justru memilih terbang
diantara awan dan merapat dengan bumi. Dan saat aku meninggalkannya aku pikir
mampu mendekapnya dari jauh, agar tidak kecewa. Rupanya aku terlalu berharap
pada manusia yang aku kira hebat dan akan terbang tinggi saat aku melambung
lebih tinggi darinya. Aku kira dia akan menyusul. Nyatanya, Tidak. Meski begitu
aku yang mungkin masih terlalu berharap, mengharapkannya menggapai langit yang
tidak ingin disentuhnya.
Pembuktian
seorang sahabat, pertanyaan hari itu membuat diri ini tersadar. Mungkin aku
yang terlalu berharap. Menginginkan yang terlampau istimewa dan memaksakan
kehidupan. Aku benar-benar terbangun.
Satu
lagi rekaman jejak rantau kembali aku putar. Tentang nama yang juga sering
terucap dalam doa. Bukan karena istimewa, tetapi justru aku yang rapuh
menghadapinya. Melihat setiap tingkah dan lakunya yang membuat jenuh.
Tingkahnya yang selalu tampak mengesalkan dan membuat kebanyakan orang sakit
hati. Aku justru mengabaikan segalanya dan menganggapnya berlalu. Mengucap
namanya dalam doa agar dia menjadi seseorang yang baik.
Ramadhan
kali ini mengantarkan aku pada sebuah doa yang istimewa. Melepaskan mimpi untuk
menggapai langit. Biar dia yang tidak ingin menggapai langit tetap terbang
diantara awan. Aku akan menempuh jalan yang sudah terlanjur aku pilih. Apa yang
bisa mengubah takdir? Setahuku hanya doa yang mampu mengubah segalanya.
Berharap akan kehendak-Nya dan terus berhara pada-Nya. Sampai satu nama terucap
dan aku harap akan sama-sama saling memperbaiki diri. Hingga kemanapun langkah
kaki menapak akan ada jawaban terindah. Aku justru memilih yang orang anggap
tidak baik. Namun disitulah justru aku melihat begitu banyak kebaikan dan
kesungguhan.
Meski
terlalu banyak tanya “mengapa?” aku juga
tidak tahu jawabnya. Setahuku aku measa sudah waktunya harus melepaskan.
Merangkainya dalam doa dan menata ulang mimpi-mimpi kehidupan. Meski kutahu
jodoh tidak akan kemana, aku menyebut nama yang baik. Sahabat yang menemani
langkah-langkah kehidupan. Tidak ingin aku menyesalinya tentang mimpi yang telah
aku relakan dalam doa. Menggantinya dengan mimpi yang baru dan mengawalinya
lagi, ya lagi. Untuk kesekian kalinya harus aku bebaskan cinta untuk menemukan
hidupnya masing-masing.
Bila
nanti tiada aku temukan dirimu dalam langkah-langkahku selanjutnya. Anggap saja
porsi kita telah habis. Siapapun, bila telah terlewati perantauan ini dan
masing-masing kita memiliki kehidupan yang lebih baik bersama orang-orang yang
mencintai kita. Aku harap kisah ini tetap tersimpan, menjadi kenangan dari
masing-masing kita. Berbahagialah bersamanya dan jangan bercerita padanya sebab
itu mungkin akan membuatnya kecewa dan sakit karena terlalu istimewanya cerita
ini. Pun bila kita harus bertemu lagi dan telah memiliki kehidupan
masing-masing cukuplah kita bertemu sebagai sahabat lama yang bercerita tentang
kesuksesan.
Biarlah
doa ini tetap sama. Perjuangan yang tidak akan pernah aku sesali. Yach aku
tidak akan menyesal sekalipun meski yang telah aku lepaskan memiliki kehidupan
yang lebih baik. Aku akan bahagia sebab begitulah doaku.
Aku
juga tidak akan pernah menyesal bila yang tengah diperjuangkan semakin sulit
dirasakan. Itu artinya dia sedang perjalanan menjadi yang terbaik untukku.
Entah bagaimana caranya semua akan berjalan. Aku yakini sekalipun bukan untukku
dia akan menjadi yang lebih baik dan akan ada yang terbaik untukku.
Terimakasih
mewarnai Ramadhanku. Menyadarkan aku akan kehidupan yang terlampau istimewa.
Jakarta,
23 Juni 2016
Ary Pelangi
Komentar