Terlanjur Patah
Kau
patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika begitu banyak kertas-kertas yang
harus kau selesaikan.
Kau
patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kesibukan angkuh bertahta di
hari-harimu.
Kau
patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kau butuh pikiran yang jernih untuk
membuat skenario pertunjukan.
Kau
patah hati disaat yang tidak tepat. Ketika kau butuh sejenak ketenangan untuk
terlelap.
Kau....
kau patah hati.
Kau
patah hati disaat yang tidak tepat.
Jakarta,
14 September 2016
IG:
umisatiti
***
“Terkadang Allah memberikan
ujian di titik terlemah kita.”
Begitu pesan yang aku terima tepat tengah
malam. Saat aku sibuk dengan kertas-kertas tugas skenario pembelajaran untuk
mengajar esok hari. Normalnya skenario ini akan selesai dua jam dalam
konsentrasi tingkat tinggi. Bila
bersantai ria maka cukup tiga jam saja akan selesai. Ditambah dua jam yang
selalu aku luangkan untuk membuat media belajar. Totalnya hanya butuh empat
hingga lima jam aku menyelesaikan persiapan mengajar untuk esok hari. Tetapi aku
sudah mulai sejak pulang sekolah tadi, sejak setengah lima sore aku sudah mulai
mengerjakan berharap tidak akan terlalu malam bila menyelesaikannya. Nyatanya sudah
tengah malam dan aku belum menyelesakan skenarionya. Ada yang salah.
Malam
itu semua begitu bereda. Entah kenapa semua terasa begitu kacau. Emosi yang
mampu aku kendalikan beberapa hari meluap sudah mengacaukan semua tugas-tugas. Hanya
karena aku kehilangan apa yang tidak aku miliki. Seseorang yang selalu aku
semogakan akan berubah menjadi insan yang lebih baik justru menjalin ikatan
kasih dengan orang lain. Dalam doaku, aku meminta agar dia bersikap lebih baik,
lebih ramah dan lebih halus tindak tanduknya. Namun doaku belum menemukan
jawabannya.
Saat
aku memutuskan untuk menjaga jarak dalam persahabatan yang terlalu dekat. Saat aku
mencoba menjelaskan banyak pertanyaan yang menimbulkan kesalahpahaman. Saat itu
kabarnya yang telah berada dalam ikatan romansa bersama yang lain. Disitulah semua
rasa bercampur. Seseorang yang aku semogakan telah memilih jalannya sendiri. Mungkin
aku terlalu berharap lebih hingga aku kecewa dengan harapan yang aku bangun
sendiri.
Mungkin
benar aku kecewa karena dia telah menjalin hubungan. Mungkin disitu letak
kekecewaanku seperti dulu ketika masih di Solo. Ketika aku dapati satu demi
satu temanku yang “paham” mulai menjalin ikatan bernama pacaran. Posisi itu
kini terulang lagi, kekecewaan yang sama pada orang yang berbeda. Aku memang
bukan orang yang harus menjelaskan banyak hal. Tetapi dia adalah seseorang yang
“paham” dia lebih mengerti dibandingkan diriku tentang batasan sebuah pergaulan
dalam agama, bahkan dia yang kadang mengingatkan diriku yang lalai.
Lagi-lagi
aku harus membenarkan nasehat seorang teman ketika penjelasan serasa sudah
tidak mampu menjelaskan segalanya. Ketika penjelasan membuat segalanya semakin
rumit maka cukukup DIAM. “Karena yang mencintai kita tidak butuh penjelasan,
dan yang membenci kita sudah pasti tidak mempercayainya.”
Aku
hanya ingin berteman baik dengan segalanya. Aku ingin bersahabat dengan
perantauanku. Bahkan disini aku mencoba mengobati luka-luka lama. Malam itu
berakhir saat teman-teman sekamarku sudah jauh terlelap dan tengah malam sudah
lewat terlalu jauh. Aku matikan handphone dan terisak dalam diam. Semua
luka-luka lama seakan melepuh kembali. Merajuk minta diobati.
Kenyataan-kenyataan yang telah berlalu berdatangan bersama mereka yang pernah mengacaukan
hari-hari sebelumnya. Orang-orang yang satu demi satu kini muncul dalam hidupku
sebagai teman baik justru datang memporak porandakan malam yang penuh dengan
kesibukan.
Aku
menangis tanpa membangunkan seorangpun. Berlari ke kamar mandi dan mengambil
air untuk membasuh segalanya. Berharap semua ini sembuh begitu saja. Ya, aku
kira akan sembh malam itu ketika aku mulai punya sedikit ruang pikiran untuk
menyelesaikan kertas-kertas yang memang harus selesai.
Hampir
jam dua dini hari aku telah menyelesaikan sekenario untuk esok hari. Aku telah
selesai dengan skenario sederhana yang aku yakin tidak seindah yang biasa aku
tulis. Bagaimana mungkin aku menulis begitu indah dengan hari yang teramat
remuk. Namun anak-anak hanya tahu aku guru yang selalu datang dengan senyum dan
tawa ke sekolah.
Ada
celah dipagi yang hampir menjelang. Kesempatan untuk bicara daan bercakap. Namun
lagi-lagi harus ingat bila bukan diriku yang mengendalikan, siapa lagi? Aku
harus mampu mengendalikan setiap pertemuan dan percakapan. Mengendalikan setiap
kesempatan dan celah untuk sebuah kata bernama interaksi.
Malam
itu awal segalanya berubah, ketika sebuah pertemuan di ibu kota harus mampu
menyembuhkan semua luka-luka yang pernah berlalu. Semua telah tersimpan dalam
waktu,usia yang bukan anak-anak atau remaja alay seperti kata mereka lagi. Banyak
pemahaman yang juga harus berubah, termasuk memaknai sebuah persahabatan.
Mengisi sebuah pertemanan dan menerima ikrar kata cinta. Semua pemahaman itu
tidak lagi sama dengan satu atau dua tahun lalu. Bahkan sangat berbeda ketika
usia ini berada diangka belasan.
Aku
tidak ingin menggurui siapapun. Aku juga tidak ingin menjelaskan apapun. Hanya disini
aku belajar banyak hal yang berawal dari harapan. Tidak ada yang perlu aku
jelaskan. Aku hanya ingin memaknai hidup ini sebagai aku yang sekarang. Rantau
juga kenangan tentangnya. Meski segalanya tidak akan mudah semua akan berakhir
dengan keindahan, apapun bentuknya.
Jakarta, 18 September 2016
U. Satiti
Komentar