Angka Itu “26”
Begitu saja segalanya
meleleh malam itu. Air bening begitu hebatnya menembus kokohnya kelopak mata.
Bahkan dia tidak tahu malam itu untuk siapa air mata itu tumpah. Air mata yang
deras mengalir untuk nama yang belum dia tahu. Untuk wajah yang belum pernah dia
temui.
Resah.
Malam itu hanya dengan membaca komentar sederhana itu dia mengakhiri canda
dalam tulisan di akun. Seorang lelaki seperti itu, teman yang mampu
memposisikan diri dalam bercanda. Dia kira lelaki itu sangat keterlaluan. Sudah
bukan sepantasnya lagi bercanda tenang pernikahan.
Angka
dua puluh enam mengajarkannya tentang kedewasaan yang membuat lebih memahami
betapa indah dan rumitnya perjalanan cinta. Rasa yang telah mengombang
ambingkan ribuan manusia. Mengajaknya bercakap tentang cinta? Tidak perlu.
Bahkan kalian lebih memahami dari siapapun. Kalian tahu bagaimana menggandaikan
rasa cinta, rindu juga kesetiaan dalam jarak dan keterbatasan komunikasi
kampung terpencil di negeri ini. Kalian juga tahu bagaimana rasanya bila rasa
teruji dalam jarak juga kesibukan kota. Cinta dalam rasa beraneka yang mampu
menghancurkan lembar-lembar tugas dan menyita malam yang harusnya terlelap.
Tidak
perlu mengujinya tentang rasa. Dia, aku juga ribuan perantau yang lain belajar
arti sebuah kesetian, memahami apa itu komitmen dan tahu bagaimana kembali
bangun setelah penghianatan orang yang pernah dicinta. Jangan lagi meyakinkan dia,
aku atau perantau lain dengan kata cinta
yang memang tidak manis rasanya.
Sebaris
tulisan itu tidak selesai sampai disitu saja. Percakapan yang membatnya kembali
membuka sebuah percakapan baru esok harinya. Pertanyaan yang sama. Tentang
tawaran untuk berkenalan dengan seseorang yang entah siapa.
“Pertanyaan Mas menohok pakai
banget.” Dia yang mulai mengawali percakapan mencoba mencari ketenangan setelah
semalam menghabiskan air matanya.
“Pertanyaan yang mana?” Sebuah
balasan dari lelaki yang sejak kemarin mengusiknya.
“Masih perlu dijawab?” Dia justru
balik bertanya. “Masih terlalu sensitif dengan yang begituan.”
“Sudah waktunya, dik.” Balasnya
“Temanku tinggal di kota Asri. Gimana?” lelaki itu kembali menulis, kota yang
tidak jauh dari tempat dia tinggal.
Satu pertanyaan yang
ternyata bukan gurauan. Bagaimana bila dia iyakan saja? Atau dia harus
menolaknya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan lagi lelaki macam apa
temannya itu? Menganggapnya tidak pernah ada pertanyaan hebat itu.
Sejauh ini dia hanya
tahu bahwa lelaki yang akan dikenalkan padanya itu adalah orang yang baik.
Entah bagaimana rupanya, pendidikannya, sifatnya juga segala lakunya dalam
ketaatan. Sebab tidak mungkin seseorang kawan yang baginya telah menjadi kakak
seiring perjalanan waktu mengenalkan dia pada seseorang yang tidak baik.
Setidaknya itu yang dia yakini.
***
Barisan kisah itu benar
adanya dalam perjalanan kami yang telah dua setengah tahun dalam masa
perjanjian dengan negara. Kesendirian yang sengaja kami pilih untuk sebuah
perjalanan yang mempertaruhkan rindu dengan orang-orang tercinta. Perjalanan
yang memaksa untuk siap seandainya kenyataan mengharuskan kami kehilangan
orang-orang tercinta. Perjalanan yang membuat diantara kami tidak sempat melihat
orang tercinta kembali pada Sang Pencipta.
Dua puluh enam tahun.
Kawan-kawan sepermainanku sudah menggandeng anaknya untuk jalan-jalan menikmati
hari libur. Sementara diri ini baru saja selesai dengan perjalanan dinas yang
memaksa untuk menikmati hari lebih lama sebagai seorang gadis. Kontrak belajar
diatas materai enam ribu rupiah. Sementara keyakinan yang diajarkan sejak kecil
membuatku mampu bertahan dari sentuhan-sentuhan manja yang semestinya memang
tidak dilakukan. Rasanya sangat bersyukur mampu bertahan dari sentuhan lelaki
di ibu kota. Budaya muda yang berlabel pacaran sama sekali tidak membuatku
tergiur dalam kemewahan ibu kota.
Aku ingat akan doa-doa
yang telah terucap. Ketika malam-malam aku sempatkan untuk menyebut namamu. Kau
yang tidak pernah aku mengerti, apakah kau juga menyebut namaku dalam doamu?
Ketika mereka mulai bercakap tentang “kita” kepadaku, apa mereka juga melakukan
yang sama padamu? Tentang dera rasa yang selalu aku ingkari, apa kau juga
merasakannya? Meski kadang sempat juga berfikir ketika mereka sudah
membicarakannya, berharap kita akan menjalani kehidupan bersama, mengapa tidak
kita aminkan saja? (hahaha.... nyatanya aku justru menertawakan harapan-harapan
mereka tentang kita).
Aku selalu bersyukur
dalam perantauan ini. Setidaknya aku akan terbebas dari cerita bersamamu.
Sayangnya sejauh apapun merantau, cerita tentang kita selalu hadir membersamai.
Entah itu hanya lewat telfon atau percakapan ketika aku pulang. Menceritakannya
padamu? Aku sudah tahu jawabanmu dan kau akan bilang aku seperti anak kecil. Agh..
mungkin aku yang terlalu berlebihan. Bukankah selama ini memang semua tentang
kita hanyalah biasa, tidak ada yang istimewa selain percakapan yang kini masih
mengalir di layar handphone. Ketika
aku pernah memutuskan untuk menahan bicara dengan seseorang yang menghadirkan
gejolak rantauku kau selalu muncul mengajakku bercakap, seolah itu adalah tanda
untuk menyudahi percakapan. Sebab kau tidak bercakap hingga larut malam dan aku
terbiasa begitu bersamamu. Meski kadang kita juga waktu hingga menembus tengah
malam saat aku di ibu kota dan engkau entah dimana.
Kita tidak memiliki
janji apapun dalam perjalanan ini. Kalaupun mereka mempercakapkan kita, anggap
saja itu doa. Sebagaimana aku menyebut tentangmu dalam doa, karena aku selalu
berharap engkau mendapat yang lebih baik dari diriku saat ini.
Aku akan belajar dari
tawaran perkenalan itu. Entah sedikit ataupun banyak aku tidak peduli. Tentang
kisah dia. Membuatku sadar bahwa memang sudah saatnya menata rencana hidup ini
lebih matang lagi. Aku hanya teringat saat masih sibuk di ibu kota dengan
lembar-lembar tugas kuliah. Teman-temanku bilang aku tidak punya target
menikah. Namun engkau bisa bertanya pada seorang muridku yang kini menghirup
udara Seribu Bukit. Aku telah menuliskan target itu dalam buku harianku.
Muridku itu telah membacanya.
Disinilah tititk akhir
aku mengakui segalanya. Aku mengaku menyebutmu dalam doa agar engkau
mendapatkan yang lebih baik dariku. Aku mengaku, belum memiliki keberanian
untuk menyambut keseriusan orang lain. Namun setelah tulisan ini selesai akan
banyak lagi yang tidak sama. Nikmati saja perjalanan kita masing-masing dengan
kereta kita masing-masing. Kau pun tahu aku tidak pernah memahamimu.
Ketika angka dua puluh
enam yang pernah aku takutkan dulu kini harus dijalani. Angka yang mengatakan
pada diri sendiri bahwa kita bukan lagi anak-anak. Memang sudah waktunya, mau
bagaimana lagi. Angka ini harus kita jalani dengan segala pernak perniknya.
Segala keindahan akan keragaman cinta.
“Apa ada yang mau
denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?” Setahun yang lalu aku
membuat tulisan tentang kalimat tanya sederhana ini. Membacanya kembali
membuatku teringat akan banyak hari yang pernah terlewati denganmu, tentang
rantau juga kampung halaman. Meski kini setahun sudah berlalu dan aku baru
selesai dengan pendidikan profesi guru satu bulan yang lalu. Katanya gelar baru
untuk pendidikan yang telah satu tahun aku nikmati dalam perantauan di Ibu
kota.
Saat ini kampung
halaman tampak seperti satu tahun lalu, hanya saja ada yang sedikit berbeda.
Seorang temanku kini sudah ada di Negeri orang, bukan lagi Indonesia. Ketika
aku tanyakan kapan pulang mungkin menunggu anak ketiganya lahir. Seorang
temanku lagi yang dulu menjadi teman satu kelas saat di bangku sekolah dasar
saat ini anaknya sudah bisa berjalan. Liburan lebaran lalu aku kembali
mengunjungi seorang teman yang baru saja menerima kehadran putra pertamanya.
Dan tahun ini satu lagi ada temanku satu kelas yang akan menikah. Kenyataan
yang tidak bisa lagi aku pungkiri bahwa telah banyak anak gadis yang lebih muda
dariku telah mengarungi rumah tangganya. Sunah yang sungguh mulia, menggenapkan
separuh agama dalam keyakinan yang aku punya.
Setidaknya ada kisah
yang menjadi pelajaran hebat disini. Bahwa masih ada yang harus dipersiapkan untuk
perjalanan selanjutnya. Meski orang-orang banyak yang telah memintaku untuk
segera punya pacar agar lebih tenang, setidaknya untuk membuktikan bahwa diri
ini masih “laku”. Namun aku berada tetap pada jalanku bahwa jodoh tidak akan
kemana. Sebuah keyakinan yang kini semakin kuat “Bahwa laki-laki yang baik
adalah untuk perempuan yang baik dan begitu pula sebaliknya.” Hukum Allah tidak
akan pernah berkhianat. Meski yang selama ini aku lakukan baru memperbaiki
diriku. Kau tahu, meski banyak orang yang nyinyir dan nyindir tentang status
singgel yang aku miliki banyak doa-doa kebaikan yang memang dikirim oleh sahabat-sahabat
terbaikku. Bahwa aku harus menjadi lebih baik untuk mendapatkan yang terbaik.
Karena rezeki, jodoh dan kematian telah tergariskan oleh-Nya dengan sangat
sempurna.
Tentang semua rasa itu.
Tentang semua gurauan itu. Tentang harapan mereka untuk kita, mengapa tidak
kita aminkan saja? (nyatanya aku selalu menertawakan perkataan mereka tentang
kita.. hahaha) Kalau memang takdir mempertemukan mungkin kita akan menjalani
hari bersama. Dan kau akan tertawa membaca semua cerita ini karena terlalu konyol.
Namun bila takdir memang tidak begitu, masing-masing dari kita akan mendapatkan
yang terbaik. Doa-doa yang terbaik tidak akan pernah terlupa dalam perjalanan
ini. Titik balik ini mengajarkan aku untuk lebih bersikap dewasa dan meyakini
kalau dirimu bukan satu-satunya orang baik yang bisa menjadi harapan dalam
langkahku selanjutnya. Bisa jadi porsi kita akan semakin terkikis habis.
Semoga masing-masing
dari kita mendapat yang terbaik, sebagaimana doa yang kita harapkan
masing-masing. Cukup bicarakan saja tentang cinta kepada-Nya. Setidaknya hanya
untuk mengingat bahwa kita pernah berdebat, “Menikah tidak cukup hanya dengan
saling jatuh cinta”.
Karanganyar, 27 Januari 2017
Ary Pelangi
Komentar