Celah Rindu "Dekapan Ibu Kota"
Rindu
ini mulai menyapa lagi dalam ruang doa untukmu.
Ruang
itu terisi kembali akan ingatan tentangmu.
Perjuangkan
saja. Kita tidak akan memahami sang waktu.
***

Ada jalan-jalan yang
lapang. Ada jalan-jalan yang terasa begitu sempit saking sesaknya oleh
roda-roda. Gedung-gedung indah mengisahkan keangkuhannya, seakan tidak
terkalahkan. Seakan yang terbaik dan seolah yang paling mampu menyentuh
bintang-bintang angkasa. Haruskah aku seangkuh itu? Menghancurkan rindu agar
tidak teringat tentangmu.
Rindu yang hanya
sepihak. Rindu yang tidak pernah tersampaikan. Rindu yang pernah aku hempaskan
di ujung negeriku sendiri. Tentangmu. Tentang hari bersamamu.
Diantara semua
kebisingan ibu kota. Durasi hari yang terbatas singkatnya, aku ingin
membenamkan sisa rindu yang aku punya. Menyimpannya diantara deru-deru
kebisingan yang tidak pernah padam. Membiarkannya tertumpuk kesibukan-kesibukan
hidup yang tidak akan tertidur. Disini, ibu kota.
Bahkan hingga detik
kata ini terangkai, aku tidak pernah tahu apakah engkau juga merindu. Semoga
saja tidak. Semoga tidak. Dan biarkan aku mengenalmu seperti itu.
Pada akhirnya aku harus
mulai mengerti. Ada kertas-kertas yang harus terselesaikan. Ada jiwa-jiwa yang
harus terus diajak bicara. Hingga pada akhirnya aku harus kembali tersadar akan
rindu yang memang belum waktunya. Catatan yang memang seharsnya tidak
melengkapi catatan ibu kota. Hanya saja rindu ini tetap terselip diantara kebisingan
kota Jakarta. Namamu yang sering saja menemani langkah-langkah yang baru
dimulai.
Disini. Diantara riuh
keramaian orang-orang bersahaja. Disini dalam kesunyian kota yang tidak pernah
terlelap oleh kesibukannya. Aku hamburkan namamu diantara bintang-bintang yang
masih menyala, lampu jalanan ibu kota. Aku ingin melangkah tanpa rindu
tentangmu. Tetaplah ditempatmu, jalan yang engkau yakini kebenarannya.
Sementara diri menyelesaikan rajutan kertas-kertas di ibu kota.
Disini, keramaian yang
tidak padam. Bukankah rindu sendiri itu telah berakhir?
Satu paket aku
hempaskan dari ujung negeriku dan paket yang lainnya aku hamburkan dalam kerlip
cahaya ibu kota.
Ketika aku mulai lelah deganmu,
aku lari. Ketika aku mulai marah padamu, aku pergi. Saat aku tahu semua ucapku
tak berarti, aku coba tak lagi peduli. Mengapa harus berpayah bercakap padamu?
Ketika engkau putuskan “BERHENTI”. Memaksamu? Aku sudah lelah memaksa. Aku
lelah mengingatkan. Dan aku pilih lari, mungkin kau mengerti. Hingga aku
terlalu jauh berlari. Hingga hari yang tak terhitung oleh jari. Ratusan hari
aku coba tidak mengusik. Membiarkanmu berada dalam inginmu. Hanya saja semua
kesalahan seakan terlimpah padaku. Memaksaku untuk datang lagi padamu. Aku
tidak ingin. Hingga kebisingan ibu kota memaksa lagi memanggil kenangan.
Haruskah semua salah itu tertuju padaku?
Jakarta, 28 Maret 2017
U. Satiti
U. Satiti
Komentar