Percakapan Sang Guru
Tiga hari dua malam. Dibilang lama juga
tidak terlalu lama. Mau dibilang singkat nyatanya juga tidak sesingkat itu. Merasakan
terik matahari, panasnya udara siang juga deru teriakan yang akan dirindukan
suatu hari nanti. Langit-langit malam itu berhiaskan bintang yang kadang
tersapu mendung. Lantas akan kembali merasakan dingin, embun malam yang
membasahi tenda. Tetapi aku tidak terlelap di dalam tenta. Lebih nyaman
beralaskan tikar dan memandang langit berhias cahaya bintang.
Langkah-langkah kaki kecil itu yang
membuatku tersenyum. Adik, aku percaya engkau telah beranjak dewasa dan mampu
menjaga adik-adikmu. Percayalah mereka bukanadik yang manja. Mereka hanya masih
terlalu kecil untuk mengerti arti dewasa.
Lamunanku kembali memutar
rekaman-rekamamn malam yang menyisakan cerita. Berjumpa dengan para pendahulu. Terlalu
banyak percakapan sampai aku tidak mampu mengingat semuanya. Potongan-potongan
cerita itu terjebak spasi oleh waktu yang tidak mungkin aku langgar lagi. Jam dua
belas malam itu waktu cinderella pulang ke rumahnya dan aku masuk ke tenda
sebentar sebelum akhirnya hanya merebahkan badan di luar tenda dan memandang
langit malam.
Terlalu banyak cerita. Satu kebiasaan
yang tak pernah aku lupa untuk tanyakan saat bertemu dengan para pendahulu. “Ceritain
donk zaman dulu seperti apa?”
Kisah-kisah masa lalu yang hanya sedikit
aku mengenal siapa-siapa saja tokohnya. Masa kejayaan mereka dengan segala
keunikannya. Masa lalu yang tidak aku kenal sebab bukan disana langkahku
dahulu.
Segelas kopi juga segelas teh manis
memberikan ceritanya sendiri-sendiri. Itu bukan sesuatu yang terlalu istimewa
tuk dijadikan cerita indah. Tukan kopi juga teh tetapi apa yang kau katakan. Apa
yang kau ucap dan apa yang mampu aku dengar. Hanya sengaja aku mencuri sebagian
ilmu yang kau punya. Apa mungkin engkau yang terlalu baik karna memberikannya Cuma-Cuma?
“Sudah
ingin menikah? Kalo sudah sekalian saja nanti aku do’akan.” Kata sang guru.
“Aku
masih ingin jalan-jalan.” Jawabku. “Do’akan
saja agar misi jalan-jalanku sukses.”
“Seusiamu
disini sudah pantas untuk menikah. Tapi kau masih ingin jalan-jalan, kalau
begitu aku ikut.” Ada nada bercanda dalam ucapan sang guru.
“Iya.
Ikut saja kalau mau.”
“Bareng
itu tidak satu sudah berjalan sampai Solo dan satunya masih tertinggal disini
tetapi bisa jadi beriringan. Beriringan itu bisa satu di depan dan bisa satu
dibelakangnya atau sebaliknya. Tetapi jaraknya langkahnya tak jauh berbeda.”
Aku hanya mengangguk. Ada begitu
banyak percakapan juga cerita Rosul Muhammad yang memiliki banyak istri dengan
segala keistimewaan masing-masing. Ada begitu banyak nasehat disana. Guru yang
satu ini memang berbeda, dirumah sendiri ternyata ada padahal aku terlalu jauh
mengembara sampai kuraih gelar sarjanaku. Baru dua kali aku ikut kelasnya dan
setiap kelasnya membuatku teringat akan kelas-kelas yang lain ditempat yang
jauh dari kampung halamanku.
Perkemahan ini tidak akan mengubah
apapun tentang niat untuk melanjutkan perjalanan panjang itu. Burung besi akan
membawaku jauh menapakkan kaki di tanah yang lain nan jauh. Bukan karena aku
ingin meninggalkan tanah ini tetapi perkemahan ini mengajarkan banyak hal
tentang kehidupan.
Sebentar lagi Ramadhan, aku semakin
mengerti akan semakin banyak kejutan yang hadir lebih dari tahun lalu.
Ary
Pelangi
25
Juni 2014
Komentar