Pesan-Pesan Senja
Senja selalu memiliki
kisahnya. Senja pun tidak pernah kehilangan cintanya. Durasinya mungkin tidak
sebanyak pagi. Dia terlalu singkat, seperti fajar yang memaksa bergegas untuk
bangun. Senja, senja dan senja. Senja selalu menawan membingkai kisahnya. Selalu
istimewa dimata pemilik cinta. Senja memiliki caranya sendiri untuk selau
romantis. Begitulah senja. Senja yang selalu ada banyak kata untuk
melukiskannya. Terlalu banyak warna untuk menyempurnakannya.
Senja
memang selalu membuatku terpesona. Mungkin karena terlalu banyak warna yang
tidak sanggup aku pilih untuk menyempunakannya. Hingga esok aku akan kembali
termenung menatap senja dengan cahaya jingganya.
Kisah
ini tentang senja yang selalu menawarkan kenyaman. Senja yang jingga mendekap
kedamaian. Senja yang selalu aku nikmati dengan kesederhanaan cinta. Dimana
seua cukup dengan keramahan, kebersamaan dengan bumbu tawa. Namun malam
merenggut segalanya. Mengambilnya begitu saja. Membuatku tidak berdaya, bahkan
hanya untuk sebuah kata, “Tidak.”
Malam
yang tidak begitu jauh dari senja menggambil segalanya. Membuatku kehilangan
kata tentang betapa indahnya senja. Kedatangan yang membuatku mengutuk malam
karena ketidakberdayaan. Kesempurnaan senja yang hilang. Romantis yang begitu
saja terkikis habis. Begitu saja dingin menjadikan beku. Itulah kesempurnaan
senja yang sesungguhnya. Ketika semuanya sudah berakhir dengan kata cukup namun
sebenarnya tidaklah cukup.
Malam
beku itu mengantarkan aku berjumpa dengan senja metropolitan. Malam beku yang
membuatku menulis janji untuk kehidupan. Malam yang menyadarkan aku bahwa
bahagia tidaklah sesederhana itu. Bukan perkara cukup untuk diri sendiri,
nyaman untuk seorang diri yang sebenarnya tidak aku miliki. Malam beku itu
membangunkan syaraf-syaraf tidak sadarku bahwa ada orang lain yang harus lebih
bahagia dari yang telah aku dapatkan. Ada seseorang yang lain yang ternyata
belum cukup dengan apa yang telah aku perjuangkan. Sedang aku adalah miliknya
dan harus mencukupi hidupnya. Siapa lagi kalau bukan untuk dua orang yang
melewati ribuan senja dengan membesarkanku. Dua insan yang selalu aku nantikan
disenja hari dan selalu aku merasa sakit ketika keduanya kembali.
Bertahun-tahun
aku sakit dengan senja. Ketika menyapa dua insan kembali kerumah dengan
peluhnya. Bukankah seharusnya aku bahagia? Bukankah aku seharusnya gembira
memiliki pejuang hidup yang tangguh? Tetapi aku selalu sakit ketika roda-roda
itu mengantarnya kembali kerumah. Dan rasa sakit itu semakin membuatku sesak
dikala aku berjumpa mereka dimalam yang semakin dingin. Rasa sesak itu
bertahun-tahun menemaniku, sejak aku belum mengerti arti sebuah perjalanan.
Malam
beku itu mengantarkan aku paja senja metropolitan. Jalanan yang aku tempuh
untuk mewujudkan janji yang malam itu aku tulis. Entah kapan janji itu akan aku
penuhi, tetapi kini aku beada pada jalan untuk mengusahakannya.
Pesan-pesannya yang sudah sampai padaku.
Pesan yang menohok hatiku untuk melangkahkan kaki ke kota metropolitan. Pesan
yang menyayat-nyayat hati. Pesan yang membuatku tertunduk, beku. Disitulah hati
menangis, meski pesan itu bukan untukku. Pesan itu karena ada aku. Hari itu,
aku jelas mengingatnya. Pesan yang semakin membuatku bertekad ingin meninggalkan rumah. Menjalani pendidikan
tinggi, mengusahakan kehidupan yang lebih baik. Meski pesan itu bukan untukku,
tapi pesan itu karena aku dan aku ada disitu. Maka aku berjanji dihari itu,
akan menjalani kehidupan yang lebih baik
Jakarta, 7 Mei 2016
Ary Pelangi
Komentar