Tanya Tanya dalam Pesan
“Orang-orang yang kini ada didekatmu
tidaklah datang dengan kebetulan. Mereka adalah ketetapan terindah untuk
mewarnai langkahmu dengan porsinya masing-masing. Pun bila suatu hari satu demi
satu porsi itu telah habis, terimalah. Kau tidak akan memiliki mereka selamanya
dengan segala alasan kenyamanan yang engkau miliki bersamanya”
Barisan
pesan yang sejenak menghentikan segala rutinitas tugas kuliah. Sekali dua kali
aku membacanya. Lantas kembali pada tugas kuliah menyusun perangkat
pembelajaran, begitu saja lenyap segala ide tentang perangkat-perangkat
pembelajaran itu. Tidak satu kata pun aku tambahkan, tidak juga satu tanda titik
aku hapus. Terhenti.
Kembali
tangan jari-jari membuka lembar pesan. Masih sama. Tidak ada kata yang berubah.
Tidak ada kalimat yang terganti.
“Sudah siapkah engkau kehilangan lagi?”
Sebuah tanya yang tertulis dari jauh entah dimana. “Sudah siapkah engkau
melepaskan lagi?” Tanya itu masih berlanjut dengan tanya yang lain. “Sudah
siapkah engkau untuk kembali berdebat?” Aku menunggu mungkin akan ada tanya
yang lain. Namun nyatanya aku kertunduk mengulang sendiri semua tanya.
Menjawabnya? Untuk apa? Untuk siapa?
Untuk
seseorang yang entah dimana? Untuk seseorang yang katanya telah menyiapkan masa
depan namun mengecewakan? Untuk seseorang yang dengan lelahku dia merasakan
sakit? Untuk seseorang yang melepaskan pemilik mimpi-mimpi kehidupan sepertiku?
Atau untuk seseorang yang berhasil mengatakan kita hidup masing-masing? Siapa?
“Nada-nada itu serupa tetapi tidak sama.
Ketika kehidupan membawa orang-orang baru dengan porsi yang entah seberapa besar
dalam hidupmu, nikmati. Sebelum porsi itu habis termakan waktu.”
Setiap
kehidupan yang baru menuliskan lembaran barunya. Merangkai sendiri ceritanya
dan menghadirkan sendiri tokohnya. Kalau pun harus hidup dengan orang-orang
baru bukan berarti melupakan yang lama, meninggalkannya. Mereka yang lalu pun
memiliki porsinya masing-masing. Mungkin dahulu ada porsi yang terlalu besar
sampai aku kira tidak akan habis. Namun jarak dan waktu mengikisnya. Hanya
rangkaian doa yang kadang masih mengingatnya.
Aku
tidak melupakan kabar-kabar itu. Bahkan kabar yang aku terima terlambat. Kabar
baik yang nyatanya tidak baik. Aku pikir akan menjadi kepastian untuk mengikat
namun aku justru mendengar kebebasan yang menerbangkan. Membawaku begitu nyaman
kembali melangkah tanpa janji apapun.
Diriku
yang terlalu memahaminya, namun nyatanya justru terlambat mengerti tentang
kisah terpenting dalam hidupnya. Jutru kabar-kabar itu menyampaikannya padaku
dengan sendirinya. Seorang pemilik mimpi telah terlanjur berada jauh kala itu.
Katanya akan menyiapkan bekal kehidupan. Namun ketika kembali pulang
kabar-kabar semakin jelas. Namaun mimpiku juga semakin jelas dan jauh dari
hidupnya.
“Mungkin kau sudah melupakan Januari.
Namun Januari tidak akan berubah untuk seseorang yang lain. Mungkin Januari
selanjutnya engkau akan pulang. Bukankah dia tidak pernah bicara tentang
tahun?” Tanya itu kembali datang. Benar tidak pernah ada tahun yang mengiringi.
Mungkin
Januari tahun depan ataua tahun depannya lagi atau Januari yang entah kapan
akan datang. Sepertinya hati sudah lelah untuk berdebat. Sepertinya aku sudah
bosan dengan kabar-kabar itu. Meski aku selalu ingin tahu, masihkah berlanjut
perjalanan itu?
Kehidupan
yang baru merangkai sendiri ceritanya. Kehidupan yang ramai dengan impi-mimpi
masa depan. Kebebasan yang menyamankan.
“Ketika engkau mendapatkan yang leih
bersiaplah untuk kehilangan yang lebih. Meski tidak pernah ada janji kehidupan
bersama kau dan dirinya sama-sama mengerti arti kenyamanan. Hanya saling
meepaskan untuk sebuah pengingkaran. Menyembunyikan satu sama lain untuk egois dengan mimpi
masing-masing.”
Tidak
pernah aku menuntut akan janji kehidupan. Selama kebebasan itu aku miliki aku
akan sendiri melambungkan semua mimpi. Menggantungkannya di langit. Pun bila
akhirnya perjalanan kembali mempertemukan, itu anugrah. Pun bila nyatanya
terlalu jauh, cukup. Porsi itu mungkin telah habis tergerogoti jarak juga
waktu.
Diri
ini telah berdamai dengan jarak, waktu juga kenangan. Aku pemilik kebebasan
yang menempuh perjalanan untuk mimpi-mimpi kehidupan. Jalani saja. Kalaupun
masih ada sejuta tanya akan aku akan jawab dengan senyuman. Ikatan itu tidak
sekalipun dia jujur padaku. Hanya isyarat yang sengaja aku ingkari untuk
mendapatkan kesungguhannya.
“Kau menemukan nada-nada serupa meski
tidak sama. Kau merangkai sendiri kisah kehidupan yang jauh darinya. Andai
bukan kau yang meninggalkannya. Andai dia yang lebih dahulu menemukan kehidupannya.
Andai porsimu lebih dulu habis dimatanya. Akankah engkau katakan
ketegaran-ketegaran ini? Haruskah begitu? Haruskah porsimu yang lebih dahulu
habis?”
Mungkin
harus begitu. Hingga aku berhenti beranggapan aku tidak peduli padanya. Itu
artinya aku akan melangkah semakin jauh dengan mimpi-mimpi kehidupanku sendiri.
Menemukan kebebasanku dan berjalan jauh memilih jalanku sendiri. Tanpa aku
harus berpikir ‘bagaimana seandainya dia memintamu tinggal?’ Aku tidak akan
sanggup bila dia memintaku tinggal dan harus aku lepas mimpi-mimpi kehidupan
yang terlanjur aku lambungkan.
Jakarta, 30 April 2016
Ary Pelangi
Komentar