Jodoh @BulanSyawal
“Aku tidak menjanjikan waktu di bulan
Syawal. Dimana ada pertemuan yang dengan bebasnya kita bisa berjumpa dalam
reuni sederhana sebuah pesta pernikahan. Nyatanya masing-masing dari kita masih
menyibukkan diri masing-masing.” Ucapan ini untuk mereka yang sering
mempertanyakan ‘Kenapa tidak denganmu
saja?’
***
Pertanyaannya masih sama dengan beberapa
tahun yang lalu, “Haruskah sarjana?”
Setelah
banyak perantauan yang aku jalani, diri ini mulai menemukan. Setelah banyak
peristiwa terjadi dan banyak rasa mengiringi, diri ini mulai menemukan. Setelah
banyak kemarahan, tawa, sedih, keresahan, senyuman dan harapan, diri ini mulai
menemukan. Semoga jodoh terbaik sebagaimana doa-doa dibulan Syawal.
Kriteria baik itu pun
tidak terlepas dari gelar pendidikan yang minimal juga harus sarjana. Minimal
harus sarjana sebagaimana teman perempuanku telah menyelesaikan pendidikan strata
satunya. Bahkan posisi ini yang pernah membuat diri berada dalam keraguan yang
luar biasa. Membuatku pernah terjebak dalam ketidakwarasan kata hingga sering
dibilang “galau”. Mengapa ketika aku sarjana dan engkau juga harus (minimal) sarjana?
***
Hari keenam di bulan
Syawal. Masih tentang cerita Syawal yang dengan keunikannya selalu berkisah tentang
silaturahmi, reuni dan pertemuan. Momen saling memaafkan yang kadang justru
menggores luka dengan pertanyaan – pertanyaan sederhana? Namun aku tidak ingin
begitu. Sudah tahu sebelumnya pertanyaan-pertanyaan itu akan datang menyapa,
menggenapi pertemuan dalam Syawal.
“Kapan nikah?” Sebuah
pertanyaan klasik yang sudah sering kali terdengar. Tahun-tahun sebelumnya
masih bisa menghindar dengan alasan tugas dan study namun Syawal kali ini akan menjadi pertanyaan yang harus
dituntaskan. Aku tidak ingin mereka menang dengan pertanyaan yang akan
membuatku kalah. Aku tidak semudah itu akan tersindir atau tersakiti dengan
sebuah pertanyaan “Kapan nikah?” atau kalimat lain serupa “Sudah ada calonnya
kan?” bahkan dengan kalimat pengharapan “Kenalin pacar kamu dong.” It’s enaught.
Diri
ini tidak perlu sakit hati dengan kalimat-kalimat sederhana seperti itu. Aku
masih ada disini, setia dalam pengharapanku. Hingga malam tadi pertanyaan
serupa masih melengkapi pertemuan. Entah pertemuan dengan kerabat atau juga
dengan teman. Aku ingin menikmatinya dengan sederhana dan tenang.
Syawal
bukan hanya tentang pertanyaan-pertanyaan jodoh, anak dan karir. Syawal lebih
dari sekedar itu. Lebih dari sekedar pertemuan, lebih dari sekedar saling
memaafkan dan lebih dari sekedar pamer kekayaan. Sebab dalam Syawal aku ingin
menemukan. Aku ingin menemukan nikmatnya silaturahmi, ilmu tentang mereka yang
telah menemukan jodohnya, pegetahuan tentang mereka yang telah menemukan indah
bahagia menimang bayinya hingga aku bisa menularkan kebahagiaan itu pada yang
lain atau menyimpannya untuk suatu hari nanti.
Aku ingin menemukan doa
dalam Syawal. Syawal selalu mengantar pada pertemuan dengan doa agar selalu
diberi kesehatan, akan diberi kelancaran dalam belajar dan berkarir. Juga doa
yang istimewa agar dipertemukan dengan jodoh terbaik.
Jodoh
terbaik. Jodoh yang sudah sejak lama Allah tuliskan namanya bersandingan satu
sama lain. Jodoh yang telah dijanjikannya, namun sering kali kita lupa hingga
menerobos batas-batas ketetapan.
Jodoh
terbaik. Selalu berharap begitu yang terbaik bagi kita, terbaik dimata
sahabat-sahabat kita dan tentuya restu terbaik orang tua dan ketetapan terbaik
Allah. Segala yang terbaik dan memang harus terbaik.
Beberapa jam lalu ada
cerita dari seorang kawan. Tentang kriteria jodoh terbaik versi ibundanya.
Kriteria baik itu pun tidak terlepas dari gelar pendidikan yang minimal juga
harus sarjana. Minimal harus sarjana sebagaimana teman perempuanku telah
menyelesaikan pendidikan strata satunya. Bahkan posisi ini yang pernah membuat
diri berada dalam keraguan yang luar biasa. Membuatku pernah terjebak dalam
ketidakwarasan kata hingga sering dibilang “galau”. Pernah juga tentang gelar
ini seorang temanku menyelesaikan pendidikannya sebab menjadi bagian syarat
mutlak dari kekasih. Sebegitu pentingkah? Tentang
sebuah pesan yang sering kali hadir menjadi penguat dalam perjalanan ini.
Sebuah hadist yang sering menjadi perbincangan dengan teman-teman dan pengisi
dalam majelis-majelis.
“Wanita dinikahi karena empat
perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya; maka
pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”
Banyak yang lebih paham
menafsirkan ini. Posisi diri sebagai seorang perempuan yang kadang memang tidak
mudah. Sebab kami harus taat, taat pada ibu dan bapak kami. Taat pada Robb
kami.
Seorang perempuan yang
taat beragama. Kebanyakan mereka juga memiliki tiga perkara yang lainnya. Sebab
perempuan yang taat memiliki ilmu yang tidak dangkal. Dia mandiri secara
finansial dengan keberkahan-keberkahan hidup, dia bukan peminta-minta yang
dilarang oleh agama. Dia akan mengangkat derajat keluarganya dengan ilmunya.
Dia tidak akan membiarkan harga diri dan martabat keluarganya hancur ataupun
terinjak. Karena ilmu dan ketaatannya yang akan menjadikan kedudukan
keluarganya mulia. Dia akan mampu merawat dan menjaga dirinya karena ilmunya.
Dia tidak akan membiarkan dirinya sakit atau wajahnya murung. Dia akan selalu
berusaha tampil menyenangkan dimanapun berada. Menjaga dirinya dan kehormatannya,
karena dia adalah perempuan yang taat.
Bukankah janji Allah
sudah pasti “Laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik, begitu pula
sebaliknya.” Mengapa harus meragu, menjadi perempuan yang taat berarti
menggenggam tiga perkara yang lainnya? Meski sebenarnya bukan sesederhana itu.
Tidak mudah mengurai semua ini menjadi sederhana. Sebab kami masih punya
keluarga yang juga tidak satu pemikiran dengan kami. Mengapa kami
berpendidikan? Karena mencari ilmu adalah kewajiban. Mengapa kami, perempuan
mau berpayah belajar hingga meraih
sarjana, magister dan gelar akademik yang lebih tinggi lainnya? Karena jelas
laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik. Kami selalu berusaha
menjadi lebih baik agar kelak juga menjadapkan yang terbaik.
Hanya kadang kesetaraan
itu harus terlihat sama. Ketika kami terpelajar begitupun keluarga kami pun
berharap, kelak pendamping kami juga harus terpelajar. Apakah salah ketika
orang tua kami telah mengajarkan kami tentang ilmu, mengenal perguruan tinggi
lantas mereka juga berharap pendamping kami adalah seseorang yang juga minimal
sama seperti kami, mengenal perguruan tinggi, mengenal kampus dan legal gelar
kependidikannya?
Mengapa adil itu harus
sama? Mengapa ketika aku sarjana dan engkau juga harus (minimal) sarjana? Tidak
bisakah bila tidak begitu?
Beberapa jam yang lalu,
seorang kawan yang pernah mengatakan padaku “Turunkah standarmu. Bukankah gelar
bukan segalanya?” Nyatanya kini dia terjebak dalam keadaan yang sama. Aku hanya
melepas apa yang dulu pernah meresahkan. Karena perjalanan hidupku mengajarkan
begitu banyak cerita. Bukan aku menurunkan standar, standarnya masih sama hanya
ada yang harus diakumulasikan. Ada yang harus diyakinkan dan ada yang harus
ikhlas.
Sebab jodoh yang
bertemu dalam pernikahan tidak hanya cukup bila aku dan dia saling jatuh cinta.
Ada ketaatan untuk orang tua, pun yang tetap utama adalah ketaatan pada Allah.
Memang tidak mudah. Bahkan menulis ini pun tidak mudah. Aku hanya berusaha,
hanya berusaha mendekat. Sebesar apapun inginku, bila tidak ada restu ibu
bapak,s aku tidak akan melangkah. Sebesar apapun kemauanku bila harus menerjang
hukumNYA, aku memilih diam. Aku tidak sesempurna itu, yang dengan mudah
menuliskan semua ini untuk dilakukan. Hati masih sering kali beradu.
Catatan-catatan lalu masih sering mengingatkan. Dan pertemuan kadang justru
menumbuhkan luka-luka baru.
Pertanyaannya masih
sama dengan beberapa tahun yang lalu, “Haruskah sarjana?” Aku sudah pernah
menjawabnya. Namun biarkan aku menikmati satu perjalanan lagi sebelum
benar-benar menetap.
Karanganyar, 30 Juni 2017
//6 Syawal 1438H//
U.Satiti
Komentar