Cerdas, Meski Tanpa Toga
“Kadang
tidak semua mimpi harus jadi nyata.
Tidak
semua keinginan harus terpenuhi.
Tidak
semua harapan akan kita miliki.
Dan
tidak semua cita-cita dapat kita raih.”
Januari lalu kedua
kalinya aku wisuda. Setelah wisuda sarjana tiga tahun lalu di kampus tempat
kita bertemu. Januari lalu pengembaraan membawaku menikmati wisuda di Ibu Kota.
Tanah rantau yang katanya menjanjikan banyak untuk masa depan. Kota yang katanya
keras. Kota yang katanya tidak yang tidak pernah terlelap.
Bukankah kau pernah
punya mimpi untuk S2? Lantas sampai kapan kau akan menunda meraih gelar
sarjanamu?
Kau yang membuatku ikut
bermimpi. Mengimbangi kawan-kawanku untuk belajar meraih magister atau kelak
saat kita bercakap aku mampu mengimbangi. Meski nyatanya saat teman-temanku
sudah M.Pd aku baru selesai dengan pendidikan profesi guru. Jalan ini memang
sedikit berbeda, tetapi seperti yang kini sering engkau katakan “Apalah arti
selembar kertas, ijazah?” kadang juga kau bilang “Apalah arti sebuah gelar.” Kau
tidak salah. Kau punya wawasan, kau punya keahlian. Kau cerdas, dan orang-orang
mengakui itu.Tetapi setidaknya aku berharap kau punya legalitas atas ilmu yang
kau miliki. Sesederhana itu. Sebuah legalitas. Sebuah pengakuan.
Kau bilang nanti, “Saat
sudah ada yang nunggu rumah.” Begitu katamu dalam pesan hari itu. Nanti? Nanti
yang sampai hari ini masih “nanti” dan akan terus “nanti”. Hingga “nanti” itu
akan tetap menjadi “nanti” sampai suatu hari nanti yang entah kapan.
Aku tidak bisa lagi
memaksa. Agh... mungkin aku yang sudah terlalu bosan mengingatkan. Siapa peduli
dengan semua itu. Toh dirimu memang tidak menginginkannya. Semua kata-kataku
seakan berlalu tanpa arti.
Jauh disana, banyak
orang yang tahu engkau sedang memperbaiki hidupmu. Hanya saja tidak semua orang
mengerti dengan caramu. Kau tinggalkan universitas saat yang lain mulai meraih
sarjananya. Kau pergi dengan caramu sendiri dengan menyisakan begitu banyak
tanya dalam rongga pikiran orang-orang. Mereka tidak memahamimu, pun begitu
diriku kala itu. Aku sangat tidak mengerti. Mengapa orang yang pernah bermimpi
hebat tiba-tiba berhenti dari mimpinya.
Pikirku, engkau akan
kembali. Mengambil lagi SKS yang sempat engkau tinggalkan. Namun hingga banyak
perjalanan yang telah aku lalui, tidak ada kabar baik itu aku dapatkan. Aku
mendengar rencana-rencana masa depanmu. Hidupmu juga usaha yang kini telah
engkau tekuni untuk mengais rezeki. Aku mendengar berita-berita itu dan aku
masih mendengar engkau yang cerdas, pemikiran yang hebat dan gagasan yang cemerlang.
Otakmu tidak berhenti kala lepas dari universitas. Aku tahu itu, aku masih
mengenalmu seperti itu.
Mungkin mimpi-mimpi itu
memang harus berakhir. Selesai dengan caramu. Aku tahu harus menjawab apa ketika
berjumpa dengan yang lainnya sedang mereka menanyakanmu. Bukankah aku cukup
menjawab “Entahlah.” Atau “Tidak tahu.”? Bukankah sudah cukup begitu dan tidak perlu
ada pertanyaan lagi. Selesai sudah bukan?
Sesederhana itu aku pun
akan menjawabnya. Menyudahi segala tanya yang akan terucap tentangmu. Sesederhana
akhir yang memang tidak harus rumit.
Karanganyar, 2 Aggustus 2017
U. Satiti
Komentar