Dan
Long
time no see.
Hari itu terakhir kau
lambaikan tanganmu di sebuah bangunan berlantai dua, sebuah masjid di ibu kota.
Terlalu lama kita tidak bertegur sapa. Jelas, semua itu sebab engkau tidak
tampak oleh kedua mataku, bahkan bayanganmu pun tidak terlihat. Segala
tentangmu tertutup hari itu dan kau hanya bilang, “Aku ada disini, bila suatu
saat engkau mencari.”
Selanjutnya, hari-hari
terasa begitu ringan. Aku tidak perlu bercakap denganmu. Aku tidak berbagi
cerita denganmu dan engkaupun tidak mendikteku untuk setiap keputusan yang aku
inginkan. Sejak hari itu aku tanpamu, saat menikmati hiruk pikuk ibu kota. Dan,
itu pertama kalinya engkau melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal. Aku
tidak keberatan Dan. Justru sebaliknya. Aku tidak harus terus bersamamu untuk
setiap langkahku, untuk setiap jejakku dan untuk setiap lamunku. Hari itu aku
paham betul bahwa aku dan kau tidak harus terus bersama.
Hanya saja seminggu
terakhir ini kau mulai melangkah didepanku. Kau tersenyum, kembali menyapaku.
Aku tahu ini tidak harus terjadi. Sejak hari itu aku tidak ingin melihatmu lagi
meski hanya sekejap mata, sungguh aku tidak menginginkannya. Aku tahu, aku
tidak boleh lagi bersamamu.
Karena aku tahu engkau
tidak boleh hadir lagi. Melarangmu datang lagi bahkan terasa lebih sulit
daripada aku harus melupakan sesosok manusia yang hampir setiap hari aku
semogakan seatap denganku kelak. Menentang kedatanganmu perlu banyak kekuatan
yang lebih hebat dari aku harus melepaskan seorang yang paling aku inginkan
untuk bersanding padanya.
Dan.... Kau hanya jiwa
yang sudah tepat terada dilantai dua masjid itu. Aku telah berjanji tidak akan
menemui dirimu lagi sehebat apapun terpaan hari yang harus aku lewati. Maka
kembalilah kesana, sebuah masjid di ibu kota. Biar aku dirumah, memilih jalan
hidupku tanpamu. Aku tidak harus menerimamu lagi dalam hari-hariku. Dan, aku
tidak ingin seberat apapun keputusan hidupku harus melibatlkanmu. Karena cukup.
Semua sudah cukup. Malam ini, kembalilah ketempatmu. Aku akan tegar meski tanpamu,
kau bukan penguatku. Kau hanyalah jiwa yang tidak sepantasnya lagi menemani
aku. Sudahi saja.
Aku tahu kita sudah
terlalu sama bersama. Engkau begitu setia menemani perjalanan hidupku. Menjadi
kawan bicara yang menyenangkan. Pengisi lamunan yang sangat sayang untuk
dtinggalkan.
Sebuah catatan imajiner
tentang Dan, jiwa yang hidup dalam khayalan.
Karanganyar, 19
Februari 2017
U. Satiti
Komentar