Jangan Makan Cinta (Bagian Tiga)
Arypelangi,-
Apa yang kita bicarakan diangka usia kedua puluh enam? Diangka itu, tepatnya
saat libur hari raya aku membicarakan pernikahan dengan sahabat lelakiku. Libur
lebaran, dan aku pun libur dari rutinitas pendidikan profesi di ibu kota. Kami
membicarakan pernikahan tanpa bertatap muka. Hanya dengan menatap barisan
kalimat yang saling berbalas dalam layar handphone.
Disanalah kami membicarakan pernikahan juga rasa yang akhirnya terungkap
setelah lama terpendam waktu.
Tepat sekali, hati yang tidak jadi dan
tentunya itu bukan pernikahan kami berdua. Ini adalah tentang cinta “Mrs.A” dan
“Mr.B” yang telah lama berusaha dijaga dan diperjuangkan. Langkah yang telah
serius dan telah berkenalan dengan keluarga masing-masing. Namun hati manusia
siapa yang tahu. Tahu-tahu rasa yang telah dipupuk itu ambyar begitu saja ketika “Mr.B” mengajukan nama “Mrs.C” untuk
menemani sisa usianya. “Mr.B” telah menemukan pilihannya. Seiring waktu, kini
mereka telah hidup dengan pasangan masing-masing. “Mr. B” menikah dengan “Mrs.
C” sedang “Mrs. A” menikah dengan lelaki yang meminangnya. Kami sama-sama paham
mereka bertiga pun saling mengenal dan saling akrab. Jadi kemana hilangnya rasa yang telah lama dipupuk dan diperjuangkan
itu?
Percakapan kami tentang orang-orang yang
hidup disekitar kami begitu nyata dan menjadi pembelajaran yang hingga saat ini
masih mengena. “Kemana perginya cinta
yang sema ini dipupuk, dijaga dan diperjuangkan?”
Aku hanya tidak habis pikir waktu itu.
Mengapa dengan teman sendiri yang sama-sama saling kenal?
“Namanya
juga cinta buta.” Kata sahabat lelakiku. “Sudah berulang
kali aku menasehati Mrs.C namun
namanya cinta ya gimana lagi. Sama-sama tidak bisa dicegah.”
“Karena Mrs. C lebih cantik? Alasan konyol.” Kataku. “Ya, emang lelaki
begitu kan? Selalu membandingkan kecantikan?” Balasku.
“Dan
perempuan selalu menjawab karena cinta.” Tambahnya. “Kamu
apalagi. Cinta saja yang ditulis.”
Sempat tertohok juga waktu itu. Aku
tidak ingat bagaimana persisnya dia mengatakan semua itu, namun beberapa
percakapan terekam dalam catatan kecilku. Bukankah fitrah perempuan adalah
‘perasa’? Lebih menggunakan perasaan daripada logikanya.
“Laki-laki itu kalo mau nikah yang
dipikir maharnya, biaya nikahnya, terus nanti gimana kasih makan anak istrinya,
mainan anaknya.” Lagi-lagi dia menulis banyak pesan.
“Kalo ga bisa beli mainan anak itu
tandanya ya belum siap nikah. Kenapa nikah kalo hanya karena cinta. Nanti lihat
yang lebih cantik juga jatuh cinta lagi. Lihat lebih ganteng juga jatuh cinta
lagi.” Dia terus mengisi banyak chat di layar.
“Mau
makan apa Mi, kalau menikah karena cinta? Makan cinta? Mikirlah!”
Pesan-pesan pun terus berdatangan mengatasnamakan pilihan atas dasar cinta.
Dia sampaikan banyak realita tentang
pilihan hidup. Tentang teman-teman yang memilih menikah atas nama cinta.
Sementara dia memilih untuk realistis menjalani hidupnya sebagai seorang lelaki
yang juga belum menentukan pilihan hidupnya. Lebih memikirkan bagaimana dia
nanti menjalani hidup paska menikah. Bagaimana
sulitnya lelaki memilih perempuannya yang benar-benar kuat untuk menghadapi
tantangan hidup. Realistis banget versi cowok deh.
“Tetapi teman-temanmu itu kenapa angel dikandani? Wis aku nyerah ngandani
mereka. Mung cinta wae sing dibahas.” Ada sebuah pesan yang berlanjut dari sahabat
lelakiku.
Cinta
mampu membuat seseorang menjadi keras kepala. Menutup apa saja yang ingin masuk
kesana. Hanya ada cinta dan orang yang dicinta. Seakan seseorang yang dicinta
menjadi begitu sempurna dan tertutup semua kurangnya. Begitulah cinta yang
katanya cinta buta.
Jangan
ngomongin cinta sama aku! Kira-kira begitulah yang aku tulis
waktu itu. Dan berharap mampu menjadi penutup percakapan panjang yang tidak
akan mengubah apapun tentang kehidupan cinta teman-teman kami yang kala itu
hangat dibicarakan.
“Tentu saja Mi, kamu ga akan ngomongin
cinta. Toh, kamu masih dalam kontrak ga boleh nikah. Trus paling juga berencana
PNS dipedalaman dan ga bisa mutasi. Kalo diposisi kamu ya ngikuti alur aja. Itu
lebih realistis.” Ujarnya.
Tiga tahun selanjutnya yang itu tidak
lain adalah beberapa bulan lalu, kami bertemu diacara pernikahan seorang kawan.
Sahabat kami yang telah melalui proses panjang untuk saling mengenal dan
akhirnya memutuskan untuk menikah. Dari pertemuan ini adalah awal tulisan
bagian keempat, tentang bagaimana seseorang yang baru aku kenal tiba-tiba masuk
begitu dalam dan membongkar rasa yang katanya isi jiwa.
Nah kan… Cerita ini sebenarnya saling
berhubungan meski diwaktu yang jauh berbeda.
Kalau pelajaran sekolah nih, BAB
materinya tidak urut. Ya, begitulah kehidupan dan masa lalu adalah ilmu.
Kembali kepada teman lelakiku tadi.
Pertemuan setelah beberapa tahun tidak bertemu. Momen pernikahan, apalagi yang
dibicarakan usai menanyakan kabar masing-masing selain tentang penikahan bagi
yang belum menikah. Sempat aku tanyakan tentang seseorang yang kabarnya sedang
dia perjuangkan dan hanya ada jawaban singkat, “Aku kerja dulu.” Kalimat yang terucap lirih dan menjawab segalanya
bahwa dia masih sama.
Akhir catatan ini teringat dengan sebuah
firman Allah. Sebuah ayat yang pernah begitu menyadarkan lamunan ketika
menjalani pendidikan di ibu kota.
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Terjemahan Q.S An Nur ayat 32)
(Terjemahan Q.S An Nur ayat 32)
***
Jangan Makan Cinta akan
saya tulis menjadi empat bagian.
Bagian pertama adalah
tulisan ini yang kita awali dengan nasehat ibu bidan cantik tentang memilih
pasangan yang tidak hanya karena cinta. Udah selesai nih dan ini link yang bisa
kamu kunjungi.
http://arypelangi.blogspot.com/2019/09/arypelangi-janganmenikah-hanya-karena.html
http://arypelangi.blogspot.com/2019/09/arypelangi-janganmenikah-hanya-karena.html
Bagian kedua tentang nasehat seorang kawan
yang baru menikah dan memiliki seorang anak. Tips agar tidak salah menentukan
pasangan hidup kamu.
Cerita dibagian ketiga
adalah tentang diskusiku bersama seorang teman lelaki yang begitu realistis
perihal pernikahan. Menikah itu tidak hanya dengan satu hati kawan, tetapi
dengan segala hiruk pikuknya kehidupan yang juga siap dipinang. Ceria ini nih
yang sedang kamu baca. Selesaikan sampai bagian terakhir ya.
Kisah keempat adalah
tentang pertemuan dengan seorang konselor muda dihari pernikahannya. Bagian
keempat ini akan banyak saya tulis tentang bagaimana move on dan memantapkan hati dalam memilih.
Terima kasih sudah
saling sharing kawan.
Semoga dapat saling
kembali belajar dan saling memberi manfaat.
Komentar