Aku Juga Pernah Merasa Gagal : Dari Nilai Merah ke Jalan yang Terbuka

 

design by Canva


Hari ini, pikiranku kembali diajak jalan-jalan pada suatu masa yang begitu jauh. Suatu masa yang katanya mengalir darah semangat remaja. Gelora rasa percaya diri yang kabarnya selalu Bahagia. Masa yang katanya penuh gelora asmara. Ini bukan tentang kisah cinta, tapi tentang matematika.

Suatu hari, langkahku berat memasuki gerbang sekolah. Hari kelulusan yang harusnya ramai dengan deru motor tersihir sempurna dengan heningnya suasana. Seperti adakah yang tertahan, nafas tersenggal. Agh, mungkin aku yang datang terlalu awal.

Waktu kelulusan tiba, aku menatap lembar hasil ujian. Ketakutan terbesarku benar-benar ada di depan mata.  Rasanya seperti tamparan hebat yang tepat mendarat di pipi. Dalam barisan nilai yang rapi ada satu nilai yang begitu kecil. Meski dinyatakan lulus, tapi angka itu terlalu dekat dengan standar minimal dan jauh dari nilai-nilai yang lainnya. Matematika, ya, itu dia.

Padahal tiga tahun sebelumnya, aku masuk sekolah itu membawa nilai sempurna ituk Pelajaran itu. Tiga tahun ditempa dengan angka-angka dan banyak pelajaran lainnya ternyata membuatku tidak percaya. Hari-hari biasa aku pun merasa tidak terlalu jauh dari kata “bisa” meski dalam beberapa materi aku perlu lebih lama belajar dan berusaha lebih kuat. Peringkat kelasku juga tidak pernah keluar dari sepertiga terbaik kelas.

Hari itu, aku merasa gagal. Bukan gagal karena tidak lulus, tapi merasa gagal karena nilai terlalu dekat dengan standar minimal kelulusan. Aku merasa, harusnya bisa mendapatkan yang lebih tinggi. Aku masih tidak percaya, tapi itu nyata. Aku gagal. Bukan hanya gagal di mata guru atau orang tua, tapi juga di mataku sendiri.

Aku merasa tak berguna. Seakan semua usaha keras memahami angka-angka yang rumit itu menjadi sia-sia. Namun, setelah tangis diam-diam di pinggir rel kereta api, aku mulai bertanya pada diri sendiri: “Apakah hanya matematika yang menentukan masa depanku?” Aku mencoba mencari sesuatu dalam diriku yang bisa diunggulkan. Aku suka membaca dan menulis. Aku menikmati saat teman-teman bertanya dan aku bisa menjelaskan dengan caraku sendiri. Aku bisa belajar di dalam bus, aku bisa membaca koran, dan aku bisa membaca majalah.

Sejak itu, aku tidak lagi memaksa diri mencintai angka, tetapi aku berusaha memahami secukupnya agar bisa bertahan. Aku fokus untuk ujian masuk universitas. Tidak masalah jika hanya sedikit diatas nilai standar. Tujuanku saat itu hanya bagaimana caranya aku lolos ujian masuk universitas negeri dan bisa kuliah. Tidak lagi menjadikan nilai harus terpenuhi dengan predikat sangat baik. Hingga akhirnya, aku lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri dan diterima di fakultas pendidikan.

Kini aku sadar, kegagalan bukan akhir cerita, justru menjadi kesempatan untuk menjadikannya cerita yang lebih berwarna. Nilai merah itu justru mengarahkanku pada jalan yang lebih sesuai. Meski berada di Fakultas Keguruan yang membuatku tetap berjumpa dengan statistika, aku tidak lagi menuntut diriku sempurna. Aku hanya perlu menerima bahwa tidak semua harus dikuasai. Aku juga sadar bahwa yang terpenting adalah menemukan cara untuk tetap bertahan dan tempat bersinar yang tepat. Kini, aku sudah menemukannya.

 

Pati, 2 Maret 2025 / 2 Ramadhan 1446 H

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menepi dalam Hening

Tenggelam di Puncak Menara

Bijaksana