Kenangan yang Samar, Bahagia yang Nyata

 


 

edit gambar : canva

Hari ini, Ramadan pertama tahun 1446H, entah kenapa pikiranku menggeliat menelusuri Lorong waktu yang begitu jauh. Aku berusaha mengumpulkan sebuah ingatan yang selalu saja gagal aku dapatkan. Sebuah ingatan yang mungkin akan membuat seseorang sedih jika ternyata aku gagal mengingatnya.

Mbah Kakung, aku masih bisa merasakan semangat kecilku setiap pagi, mencari-cari alasan untuk ikut jalan-jalan dengannya. Kadang aku pura-pura ingin melihat ayam-ayam tetangga, kadang mengaku ingin melihat sawah, tidak jarang pula aku berkata ingin melihat mobil di jalan raya. Padahal aku hanya ingin menggenggam tangannya dan menikmati udara pagi bersamanya. Satu-satunya oleh-oleh yang membuatku bertambah bahagia adalah ketika pulang jalan-jalan membawa “Serabi” – jajanan local yang terbuat dari adonan tepung ketan dan santan kelapa.

Aku ingat betul bagaimana langkahnya selalu lebih lambat dariku, tetapi selalu menunggu dengan sabar ketika aku sibuk bermain di pinggir jalan. Aku ingat suara beratnya saat bercerita tentang sawah dan burung-burung di langit. Telunjuknya tidak lupa ketinggalan peran ketika aku bertanya tentang kendaraan yang lewat saat sampai diujung jalan menuju jalan raya. Namun anehnya, aku tidak bisa mengingat wajahnya. Aku kehilangan ingatan tentang bagaiman dia tersenyum. Bahkan aku juga tidak bisa mengingat apapun pada hari terakhir hidupnya selain tradisi “terobosan” yang aku turut melangkah di bawah peti jenazah.

Seperti lukisan yang kehilangan detail, sosoknya hanya bayangan samar di pikiranku.  Terdengar lucu dan aneh memang, bagaimana mungkin seseorang yang begitu penting dalam masa kecilku justru tidak memiliki bentuk yang jelas dalam ingatan. Bagi sebagian orang mungkin tidak masalah, tapi aku kehilangan sosok untuk kudeskripsikan dalam cerita ini. Meski begitu, kebahagiaan yang ia berikan tetap nyata. Ada jejak yang tidak bisa aku hilangkan dalam masa kecilku. Hari ini, aku memilih untuk mengenangnya bukan dari wajah yang terlupa, melainkan dari rasa hangat yang masih tersimpan di hatiku. Lantas aku kirim Al-Fatiha untuk mendoakannya.

Pati, 1 Maret 2025 / 1 Ramadhan 1446 H


picture by canva


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah dan Berharap Kembali Bertemu

Jendela Kamar dan Secangkir Kopi

Tenggelam di Puncak Menara