Ambigu
Kau merajut cinta dengan dia, menyiramnya dengan perhatian, dan mencoba menyembnyikannya. Sayangnya, aku terlalu peka dengan riak rasa yang kau cipta.
Namanu pernah tersebut
dalam sebuah percakapan yang menghadirkan tawa penuh sayatan luka. Bukan karena
aku kehilangan kamu lagi, hanya saja aku tahu akhir ceritamu akan berujung
luka. Bunga yang kamu siram, kamu jaga hingga akarnya, dan kamu banggakan akan
menemui tuannya. Itu bukan kamu yang bekerja keras membuatnya tersenyum ketika
luka.
Sebuah ingatan membawa
akan percakapan lintas masa. Mempertemukan aku dengan sahabatmu dan mendengar
pengaduan tentang kisah hidupmu. Semua itu seirama, jejak yang membuatku hanya
menjadi pendengar setia lalu tertawa dalam luka. Ingin mematahkanmu hari itu
juga, tetapi kamu begitu yakin bahwa dia akan menjadi milikmu. Hidup bersamamu
dan menikmati alam ciptaan Yang Maha Esa dalam kebersamaan yang sakinah,
mawadah, dan rahmah. Itu hanya mimpimu yang ingin aku hapus sejak kamu mengaku
memperjuangkan dia.
Kamu begitu pandai
menjaga perasaan perempuan-perempuan lain, tetapi kamu tidak pernah berhasil
menjaga perasaanku. Itulah paket sempurnamu yang harus aku terima. Paket yang
mengajarkan aku untuk keras kepala menghadapi egomu yang selalu saja ingin
mendapatkan kesempurnaan.
Aku ingat betul ketika
sahabatmu berkata, “Kelak dia akan mencarimu. Aku titip dia padamu.”
Sudah aku bilang
padanya agar tidak menitipkan apapun tentang dirimu. Hanya saja, dia memaksa
untuk tetap titip kamu setelah dikisahkannya dirimu sedang memperjuangkan
seseorang yang elok rupawan. Kriteria sempurna seperti yang pernah kamu
kisahkan.
Aku sudah bilang, aku
tidak akan mampu menopang jatuhmu ketika hari itu tiba. Hari ketika kamu harus
kehilangan dia. Sahabatmu itu, dia sungguh kesal padamu. Hanya saja setiap
petuahnya tidak lagi kau dengar, kamu anggap angin lalu.
“Kau ingat, siapa yang
dia temui ketika tidak seorang pun menemukan dia?” Sahabatmu itu, sungguh aku
ingin menghajarnya. Sayangnya hari itu masih menjadi hari bahagianya dia dengan
teman hidup yang baru. “Kamu,” ucapnya. “Aku yakin, dia akan kembali datang
dengan serpihan lukanya. Jika hari itu dia tidak datang, tolong temukan dia.
Mungkin dia sedang putus asa dan ingin menyudahi hidupnya.”
Aku tidak ingin
mempercayai kata-kata emas sahabatmu itu. Hanya saja memoriku sedang bekerja
hebat hingga aku merekamnya diantara kebisingan diri yang menertawakan
kebodohanmu.
Kamu terlalu bodoh,
merawat dia yang sudah pasti akan memilih persinggahan yang lain. Citramu
sebagai manusia yang mmeletakkan impian paling gemilang telah lenyap. Kau hanya
seseorang yang (waktu itu) menyerah dan berpura-pura kuat. Sementara dia, kau
jaga setulus jiwa hingga tumbuh dan berbunga, lantas menemukan lahan terbaik
untuk tumbuh dan mekar di sana.
Kamu? Mungkin dia
mengingat jasa-jasamu, tetapi sayangnya dia cukup paham dan merasa berhutang
padamu. Sebatas itu, sebab dia tidak akan pernah sanggup memiliki dirimu.
Ah, kamu. Kamu yang
sangat realistis pun terjebak oleh perasaan yang begitu ambigu. Keras kepalamu
tidak berlaku ketika bersamanya.
Karanganyar, 16 April
2021 // 4 Ramadan 1442 H
Ary Pelangi
Komentar