Postingan

Menampilkan postingan dengan label KISAH

Belajar Berserah (Menuju UTN Ulang 2 PPG SM-3T)

Gambar
“Perjalanan kita tidak mudah untuk didefinisikan meski telah berulang kali memutar otak, memilih kata yang tepat. Nyatanya aku selalu belajar dari kebersamaan kita. Perjalanan yang hampir satu tahun. PPG SM-3T PLB UNJ.” (Karanganyar, 30 Desember 2016)             Malam sudah larut hanya saja tangan-tangan ini masih sibuk dengan rangkaian tugas yang belum juga selesai. Bukan tugas kuliah seperti yang biasa dikerjakan diasrama. Saat itu aku sengaja pulang kerumah menyelesaikan apa yang mesti diselesaikan. Kepulangan yang sudah aku rencanakan berbulan-bulan lamanya. Jari-jari tanganku lincah membalas pesan-pesan yang tampak dalam layar handphone. Beberapa teman yang lama tidak bertemu, setdaknya aku hanya mengabarkan kepulangan dan mungkin bisa meluangkan waktu untuk berjumpa, membagi ilmu yang rasanya terlalu rumit aku pelajari di ibu kota. Agh, mungkin saja mereka mampu mencairkannya, setidaknya membantu membahasakan hingga aku mengerti. Aku masih berdiskusi lewat akun yang

Lahirnya Seorang Bayi Perempuan

Gambar
Bukan hari yang masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Bahkan mata sudah terbuka sejak setengah empat dini hari. Dari situ pagi berawal. Harusnya kulit-kulit segera bersentuhan dengan air membangunkan syaraf-syaraf tubuh. Namun cucuran keringat yang justru menyapa lebih dahulu. Masih gelap memang, tapi begitulah sepetak kamar yang selalu menyala dua kipas angin besarnya, masih terasa gerah. Biar terlalu pagi aku biarkan angin menerobos masuk lewat jendela dan orang-orang masih banyak yang terlelap. Jarum jam berdetak menunaikan kewajibannya. Suara adzan subuh sudah beralih pada iqomah, di masjid orang-orang sedang menunaikan kewajiban dua rakaat. Disini jarum jam merangkak menuju pukul lima pagi. Semburat warna matahari mulai tampak di langit. Disinilah pagi yang beriring rasa syukur. Meski harus berjumpa dengan rutinitas yang sama untuk berada duduk manis diatas kursi menatap layar notebook . Begitulah rutinitas satu semester yang tengah aku jalani. Masih terlalu pagi unt

Langit-langit Ibu Kota

Langit-langit Ibu Kota telah berkisah tentangmu. Kincir-kincir dinding kamar berbisik tentangmu. Jarak yang tak terdevinisi dalam kilometer. Dekat yang terasa jauh, mungkin terlalu jauh. Katanya rindu sudah bertaburan. Siapa peduli!   Langit Ibu Kota masih biru walau kadang berselimut mendung. Kita pernah mendekap rindu dalam balutan kabut. Menyemai rindu dalam barisan bukit. Disana, rumah rantau yang dulu. Dan pernah aku memangkas habis segalanya sebelum roda-roda meninggalkan bekas longsor. Mengapa masih menabur rindu? Sudah dekap saja dalam diammu. Seperti rindu yang sudah-sudah. Malam masih berhias bintang. Sedang bulan masih setia menemani bumi. Apalagi yang membuatmu meragu? Biar langit-langit Ibu Kota berkisah tentangmu. Kincir-kincir kamar membisik rindu tentangmu. Mulailah merajut kisah yang kau jalani kini. Bingkai saja masa yang pernah berlalu. Rindu ini hanya untuk dirindu. Rindu yang bukan untuk dimiliki. Bukankah waktu mempertemukan kita? Tulisan takdir dari San

“Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?”

Gambar
“Semakin lama aku mennggu Untuk kedatanganmu Bukankah engkau telah berjanji Kita jumpa disini Datanglah, kedatanganmu kutunggu Telah lama, telah lama kumenunggu” Sebuah lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama berdendang menemani malam. Sisa rintik-rintik hujan masih menetes dari atap. Lagu yang sudah begitu lama mengudara, tiba-tiba kini berputar mengingatkan akan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan. Hujan. Nyanyian yang tak pernah henti untuk memutar rekaman kehidupan. Jejak yang tidak mudah terlupa. Pernah memang jalan ini membuat patah hati, menjadikan raga teramat lelah dan mengahirinya dalam tetesan lembut kelopak mata. Namun dalam jalan ini pula berjumpa denganmu, mengenal senyum dan tawa. Mengurai keresahan menjadi harapan. Esok atau suatu hari nanti akan aku dapati bunga yang tumbuh dari biji yang tersiram hujan. “Apa ada yang mau denganku setelah aku berumur dua puluh enam tahun?” sebuah status yang terpampang jelas di wall sosmed. Sebuah pertanyaan sederhan

Tentang Rindu "Januari"

Gambar
Bukankah Januari sudah berakhir? Bukankah sudah selesai? Aku lebih nyaman berada dalam kegelisahan study -ku yang tidak juga pasti daripada harus peduli tentangmu. Belum mampu lebih dari ini rasa yang aku punya. Hanya sampai kepastian ini yang aku miliki. Aku jalani study- ku dan kau lengkapi hidupmu. Tidak ingin aku mengusiknya lagi. Hati dan fikiran memang susah bersatu, jarang sependapat dan sering berdebat. Itulah kegalauan. Rasa ini tulus padamu, cinta. Enam tahun merajut kisah bersama mustahil bila tanpa rasa. Meski dalam setiap langkahku terisi kisah yang lain, menapak kota yang lain namun saat aku kembali pulang selalu tentangmu. Semua tanya kembali tentangmu. Selalu dirimu dan hanya dirimu yang mereka tanyakan. Sekali ini biarkan semua berjalan seperti dahulu. Anggap tidak pernah ada yang tahu, meski nyatanya mereka terus menanyakanmu, perjalanan kita yang terpisah jarak. Biarkan waktu tetap bersahaja, memudarkan senyum dan merajut kerinduan. Biarkan jarak tetap pad

Puing-puing Keresahan

Gambar
Kebersamaan ini banyak caranya. Melewati pagi yang berganti senja juga malam yang menggantikan siang. Melewati badai dipenghujan juga merasakan gersang dikemarau. Waktu dengan sendirinya menemani kita berkisah. Masihkah kau bertanya tentang waktu? Sudahlah. Waktu sanngat bersahabat, mempertemukan kita yang telah sempat jauh meski pada akhirnya waktu mempertemukan kita kembali dengan jarak. Sebuah kesempatan untuk kembali merajut rindu. Waktu ini tidak akan lama lagi. Kembali kaki harus melangkah meninggalkan rumah. Menempuh ratusan kilometer untuk perantauan selanjutnya. Jalan ini harus aku tempuh, sekalipun terasa begitu pahit. Saat aku rasa benar-benar merasa lelah. Bukankah harusnya aku bahagia? Formasi pendidikan berasrama sudah keluar. Beasiswa yang sudah pasti ada ditangan. Hanya ada dua pilihan, menerima atau membebaskannya. Sedang dari jauh sana. Akun medsos banjir dengan teman-teman lama yang mulai merapat. Mengabarkan ada beasiswa S2 untuk guru dikdas. Ada juga yang m

Aku, Kau dan Rumah Singgah

Gambar
“Aku akan S2. Kuliah disini tidak harus menjadi guru bukan?” Kata Alif hari itu. Entah itu hari yang keberapa disemester yang keberapa. Hanya saja kalimat itu jelas masih ada dalam ingtan Sasa.             Sudah dua tahun lalu Sasa mendapatkan gelar sarjananya. Hari ini dia kembali duduk dibawah pohon memandang rumah singgah. Ada seorang teman yang dinantikan kehadirannya. Sore ini Sasa akan menemui seorang teman yang setahun lebih tidak ditemuinya. Seorang teman yang setia mendengar cerita Sasa saat diperantauan.             Sebotol air mineral dan sekotak permen coklat. Sebuah novel telah dibacanya beberapa halaman. Lantas dia teringat akan ucapan Alif yang membuatnya kembali memandang rumah singgah. Sebuah bangunan yang dulu mempertemukannya dengan Alif dan juga sahabat-sahabat terbaiknya di universitas. “Aku anak pertama dan masih punya dua adik perempuan. Bagaimana bisa aku hidup sesuka hatiku.” Kata Alif “Aku harus bisa hidup hemat disini.”             Hari itu Sasa m

Merindu Januari

Gambar
Rindu ini bukanlah hutang yang harus kau lunasi. Bukan pula janji yang harus kau tepati. Rindu ini hanya tentang hujan di lereng Lawu. Kenangan lama yang hanya terjamah dalam ungkapan kata “Rindu”. Enam tahun Cinta. Waktu yang kini hidup dalam kenangan. Bait-bait masa lalu yang tidak akan mungkin akan terungkap dalam kejujuran. Kaupun tidak ingin mengakuinya bukan? Kita sama Cinta. Melewetkan enam tahun yang seakan hanya biasa. Kini angin mendesah mengingatkan akan lembaran-lembaran masa lalu. Masihkah kau mengingkarinya? Ya, aku masih mengabaikannya meski jelas isyarat-isyarat itu terlukis untukku. Mungkinkah aku yang salah mengerti? Aku berharap satu hal Cinta, aku salah mengartikan isyaratmu. Hujan hari kemarin mengingatkan aku akan pertemuan hari pernikahan sahabat kita. Pesta yang begitu sederhana untuk orang yang begitu istimewa. Sahabatku yang juga sahabatmu, Cinta. Tentang undangan bulan Januari tahun yang akan datang. Aku hanya merindu Januari.

Aku Sahabat “Terbaik”mu

Gambar
Tulisan yang engkau janjikan. Benar kau telah menepati janjimu untuk pertemuan kita kemarin. Sebuah kisah yang engkau tunjukkan pada semua orang bahwa akulah sahabat terbaikmu. Terima kasih.             Aku baru saja turun dari bus. Duduk diemperan toko pinggir jalan raya sambil meneguk air puih dari botol. Belum lama dan aku mencoba mengirim pesan untuk sahabat yang setahun hidup seatap denganku di Gayo Lues. Hari itu aku memang telah berjanji berkunjung kerumahnya. Mengabarkan padanya di tempat yang telah dia janjikan akan menjemputku. Yogyakarta, aku membaca kisahmu di kota yang selalu meninggalkan kenangan saat aku menapak disana. Jari-jari tanganku lincah menyentuh layar handphone lantas mengetikkan beberapa huruf hingga tertulis nama kerenmu. Benar saja catatan terbarumu yang pertama aku baca. Catatan yang berjudul “ Dia” Sahabatku . Aku membacanya dikeramaian, masih menunggu sahabatku di depan toko. Paragraf-paragraf yang sungguh romantis. Air mataku jatuh dikeramain kat

Bintang Lawu

Lawu pun pernnah berbintang. Aku memandangnya dari surau kecil perkampungan. Aku telah lupa dimana catatan itu. Hanya saja pernah ada cerita disana. Dia. Benar dia mengajarkan aku tentang langit dan bintang-bintang. Tentang malam juga dingin yang selalu mendekap. Diajarkannya ketulusan cinta padaku. Kisah suatu perjalanan hidup yang tak pernah mudah. Hari itu hati terlanjur bicara mengisahkan ceritanya. Lawu pernah berbintang. Ada cerita langit yang masih menggema. Apa kau mendengarnya? Percakapan di surau kecil. Masihkah kau mengingatnya? Tentang langkah-langkah yang terus menapak. Tentang gerimis yang tak jadi hujan. Cinta. Mengapa kata itu tertulis? Namanya hadir dalam bayanganku kemarin. Dia yang mengajarkan aku. Tentang langit dan bintang-bintang Lawu. Karanganyar, 25 Oktober 2015 Ary Pelangi

Lawu

Gambar
Lawu. Pernah ada cerita disana. Tentang malam juga gelapnya. Tentang nyala api dan kehangtannya. Tentang persahabatan dan perengkarannya. Tentang cinta dan isyaratnya. Ungkapan yang hanya dalam diam. Lawu. Ada cinta dalam kepingan hari. Tentang percakapan serambi rumah. Pertengkaran dalam kesunyian. Perdebatan dalam ketenangan. Kemarahan dalam keheningan. Terungkap semua dalam diam. Semua seakan sempurna tersimpan dalam hati. Lawu. Cerita tentang kita hari itu. Hari hujan dan lagunya. Tentang persahabatan dan bumbunya. Cinta anak manusia yang katanya sempurna. Sebab air mata tak pernah menetes bersama hujan. Tangisan tak terdengar dengan dentum guntur dari angkasa. Bahkan kilatpun tak tahu bahwa telah membelah hati menjadi luka. Lawu. Sejarah cinta kita yang habis ditelan hujan. Karanganyar, 25 Oktober 2015 Ary Pelangi

Sabtu Malam - Aku Tak Sendiri

Gambar
Sabtu malam, aku menyebutnya malam Minggu seperti kebanyakan orang menamakannya. Satu malam yang panjang dan mengasyikkan, itu kata mereka. Malam Minggu yang tiada beda dengan malam-malam lainnya cukup sederana dalam jeda waktu yang tiada panjang. Duduk didepan layar televisi. Memberi komentar pada berita-berita tentang eloknya negeri ini. Sesekali menikmati sajian drama yang sering menjenhkan. Kadang menghabiskan waktu berkisah dengan saudara. Apapun dapat menjad cerita, eloknya negeri ini sekalipun. Bahkan cerita di pelosok desa mampu terdengar. Sering kali tertawa sambil menikmati apapun yang disebut camilan. Malam terasa singkat bila aku di kota. Duduk-duduk di trotoar memandang-lampu-lampu yang lewat. Bercerita dengan kawan sekolah tentang masa lalu dan juga mimpi-mimpi yang terlanjur terwujud. Tentang masa depan keluarga baru juga kekasih hati. Menikmati wedhang Ronde yang harganya cukup minimal, cukuplah dengan kantong anak muda. Hidup ini sungguh menyenangkan.

Pertemuan dalam Ramadhan

Gambar
Malam itu aku pernah meminta pada Allah tentang sebuah hati yang baru. Sebuah hati yang baru aku minta dari Rabb tempat aku akan kembali. Rabb yang pernah meniupkan ruh ke dalam ragaku. Aku meminta hati yang baru sebab aku tidak tahu lagi tentang hatiku yang telah begitu lama terasa hampa. “Ya Allah, berikanlah aku hati yang baru. Hati yang lembut menjalankan ketaatan pada-Mu. Hati yang kuat untuk tabah melewati ujian dari-Mu. Hati yang menambah kecintaanku pada-Mu. Hati yang baru, hati yang hidup dan bersih. Saat aku terbangun esok hari, aku ingin bahagia dan teguh dalam syariat-Mu.” Aku hela nafas dalam ketenangan tengah malam. Saat orang-orang telah terlelap dan aku masih tertunduk tidak berdaya. Mungkinkah aku telah kalah dengan diriku sendiri? Ataukah tawakal terakhir yang bisa aku lakukan?

Pilihan Kisah

Gambar
Aku memilih kisah ini, Kak. Engkau benar Kak, bahwa kita tidak boleh menyesali kehidupan yang telah kita pilih sendiri seperti yang tadi siang aku baca dalam barisan katamu. Mungkin memang harus begitu. Mencoba untuk tidak menyesali kehidupan yang telah kita punya. Karena kita telah menjalani kehidupan ini dengan sangat baik dan telah melakukan yang terbaik semampu energi yang kita punya. Aku pun ingin seperti itu, menjalani pilihan-pilihan kehidupan tanpa penyesalan. Tetapi kenyataannya, rasa bersalah ini atas apa yang menjadi kenyataan seringkali mengusik kehidupan. Menghempaskan aku dalam ruang sempit bernama menyesal. Menyalahkan diri sendiri yang tiada berdaya untuk sekedar mernafas lega. Diri ini harus punya keberanian itu. Keberanian untuk menjalani hidupku sendiri bukan keberanian untuk menyerah karena telah lelah. Masih banyak yang harus kita lakukakn bukan untuk sekedar mengalah pada keadaan. Kak, aku kehilangan bagian kata dalam kehidupanku. Sejak aku tiada ses

Percakapan Sang Guru

Gambar
Tiga hari dua malam. Dibilang lama juga tidak terlalu lama. Mau dibilang singkat nyatanya juga tidak sesingkat itu. Merasakan terik matahari, panasnya udara siang juga deru teriakan yang akan dirindukan suatu hari nanti. Langit-langit malam itu berhiaskan bintang yang kadang tersapu mendung. Lantas akan kembali merasakan dingin, embun malam yang membasahi tenda. Tetapi aku tidak terlelap di dalam tenta. Lebih nyaman beralaskan tikar dan memandang langit berhias cahaya bintang. Langkah-langkah kaki kecil itu yang membuatku tersenyum. Adik, aku percaya engkau telah beranjak dewasa dan mampu menjaga adik-adikmu. Percayalah mereka bukanadik yang manja. Mereka hanya masih terlalu kecil untuk mengerti arti dewasa. Lamunanku kembali memutar rekaman-rekamamn malam yang menyisakan cerita. Berjumpa dengan para pendahulu. Terlalu banyak percakapan sampai aku tidak mampu mengingat semuanya. Potongan-potongan cerita itu terjebak spasi oleh waktu yang tidak mungkin aku langgar lagi. Jam dua

Bintang Lawu

Gambar
Senyuman malam itu kini kembali hadir dalam terik matahari. Bintang-bintang lawu kembali bersinar di antara kerik matahari. Sulit rasanya untuk percaya tetapi begitulah kata berkisah. Aku tidak mampu lagi berlama-lama berada disana, memandangnya meski hanya sekilas saja. Tidak mungkin lagi bercanda atau bicara teramat serius dengannya. Mungkin karena dirinya terlalu ramah. Mungkinkah dia teramat istimewa?

Ketika Pelangi Terlalu Cinta

Gambar
Untuk engkau yang aku panggil sahabat, “Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu” Sahabatku, kau bak pelangi yang indah warnanya. Tanpa kuduga engkau hadir menghiasi langit hidupku. Aku menyayangimu, tetapi tak mampu aku katakan “aku menyayangimu”. Ditahun kelima kita berjumpa dengan kata perpisahan, menempuh jalan hidup ini masing-masing. Menikmati awal karir dengan gelar sarjana, walau sebagian dari kita masih menyusun skripsi dan menantikan wisuda. Ada juga yang masih terlalu nyaman dengan kuliah, tetapi aku tahu kau tidak akan menyesal menjalani ini semua.

Surat Cinta

Gambar
“Dear diary, hari ini aku senang sekali karena aku bisa berkumpul bersama-sama di Griya Kreatif. Disana aku diajari oleh guru-guru yang baik hati, sabar dan suka bercanda. Disana aku diajari sampai bisa. Aku senang sekali les di Griya Kreatif, karena tempatnya nyaman buat saya. Saya betah disana.”  (1 November 2013)             Malam mulai larut. Kesepian mulai menyapa diantara tumpukan kertas yang berserakan. Rasanya ingin terpejam saja mata ini yang sudah berhari-hari berjaga menatap tulisan-tulisan yang kadang sulit tuk dimengerti artinya.             Baru saja aku membongkar map merah yang setiap hari aku bawa ke tempat kerja juga kampus tempat aku selesaikan tugas akhirku. Hanya berniat mencari catatan revisi bimbingan hari kemarin yang aku tulis dalam selembar kertas. Tidak ketemu juga padahal sudah aku keluarkan semua isi yang ada dalam map. Lantas jari-jariku mulai meraba kantong-kantong kecil si black, ransel hitamku yang setia menemani hari-hari indahku . Sele

Tentang Cinta

Gambar
"Bukan karena kau, aku dan mereka." Selama ini semua baik-baik saja. Perjalanan ini begitu menyenangkan denganmu. Langkah ini teramat nyaman menapak seiring dengan langkahmu. semua itu karena ada ada cinta. Benar, ada cinta yang terlanjur mengisi ruang dalam hati. Ada cinta yang selalu terasa dalam nafas yang tak sempurna. Perjalanan ini teramat istimewa. Saat dengan sadarku aku rela ada kehidupan lain mengisi relung-relung yang dulunya hampa. Kedua mataku terbuka dengan jelas dan aku pandangi wajah yang teramat asing dalam ingatan. Hingga semua menjadi biasa karena telah terbiasa memandang. Telinga telah biasa mendengar detak langkah kakinya. Suara-suara sumbang yang turut mengusik ketenangan senja. Cinta, mungkinkah cinta ini terlalu cinta yang melampaui batasnya? Maafkan aku wahai Sang Pemilik Cinta. Kenyataannya memang seperti itu. Bagaimana bisa terus berbohong dengan kata yang tak sempurna. Membiarkan metafora terus beradu dengan kenyataan. Semua ini kadang

Aku, Engkau dan Mereka dalam Kereta

Gambar
Pertemuan dengan dirimu yang ternyata aku rindukan. Bukan karena apa-apa. Mungkin aku yang terlalu mengenang perjalanan ini. Engkau yang pernah hadir dalam langkah kaki ini. mengiringi derap-derap langkah yang pernah ada. Dan mungkin inilah jawaban yang mampu aku berikan atas surat-suaratmu selama ini. Surat-surat panjang yang telah engkau tulis. Pesan-pesan yang kini hanya bisa aku baca ulang. Karena dulu aku tidak tahu harus mengirimkan jawabannya kepada siapa, kecuali hanya pada barisan angka yang ada disana. Hari ini aku kembali memandang kotak besi yang biasa hanya bertahta diatas almari buku di sudut kamar. Awalnya tidak ada niatan sedikitpun untuk aku menuliskan barisan kata ini. Hanya ada niatan untuk menata ulang kamar yang sudah beberapa bulan ini aku abaikan. Bahkan lebih sering aku lepaskan lelahku diruang depan. Terlelap dikursi panjang yang hanya cukup nyaman untuk aku rebahkan badanku disana. Aku hanya menyingkirkannya dan mengabaikankan kotak besi yang ternyata s