Postingan

Asmaul Husna (Part 1)

Gambar
Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang indah dan agung, yang berjumlah 99. Setiap nama menggambarkan sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT. Dalam Al-Quran, surat Al-A'raf ayat 180, Allah berfirman:  "Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."  Al-Rahman – Maha Pengasih  Pernahkah kamu merasa dicintai tanpa syarat? Diberi nikmat tanpa diminta? Itulah bukti kasih sayang Allah yang Maha Luas.  Al-Rahman berasal dari kata rahmah (rahmat/kasih sayang) yang mencakup seluruh makhluk tanpa terkecuali. Hujan yang turun, udara yang kita hirup, hingga detak jantung yang terus berdetak—semuanya adalah bentuk kasih sayang-Nya.  Allah Maha Pengasih kepada setiap hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang belum. Tapi, apakah kita sudah bersyukur atas kasi...

Aku Juga Pernah Merasa Gagal : Dari Nilai Merah ke Jalan yang Terbuka

Gambar
  design by Canva Hari ini, pikiranku kembali diajak jalan-jalan pada suatu masa yang begitu jauh. Suatu masa yang katanya mengalir darah semangat remaja. Gelora rasa percaya diri yang kabarnya selalu Bahagia. Masa yang katanya penuh gelora asmara. Ini bukan tentang kisah cinta, tapi tentang matematika. Suatu hari, langkahku berat memasuki gerbang sekolah. Hari kelulusan yang harusnya ramai dengan deru motor tersihir sempurna dengan heningnya suasana. Seperti adakah yang tertahan, nafas tersenggal. Agh, mungkin aku yang datang terlalu awal. Waktu kelulusan tiba, aku menatap lembar hasil ujian. Ketakutan terbesarku benar-benar ada di depan mata.   Rasanya seperti tamparan hebat yang tepat mendarat di pipi. Dalam barisan nilai yang rapi ada satu nilai yang begitu kecil. Meski dinyatakan lulus, tapi angka itu terlalu dekat dengan standar minimal dan jauh dari nilai-nilai yang lainnya. Matematika, ya, itu dia. Padahal tiga tahun sebelumnya, aku masuk sekolah itu membawa ni...

Kenangan yang Samar, Bahagia yang Nyata

Gambar
    edit gambar : canva Hari ini, Ramadan pertama tahun 1446H, entah kenapa pikiranku menggeliat menelusuri Lorong waktu yang begitu jauh. Aku berusaha mengumpulkan sebuah ingatan yang selalu saja gagal aku dapatkan. Sebuah ingatan yang mungkin akan membuat seseorang sedih jika ternyata aku gagal mengingatnya. Mbah Kakung, aku masih bisa merasakan semangat kecilku setiap pagi, mencari-cari alasan untuk ikut jalan-jalan dengannya. Kadang aku pura-pura ingin melihat ayam-ayam tetangga, kadang mengaku ingin melihat sawah, tidak jarang pula aku berkata ingin melihat mobil di jalan raya. Padahal aku hanya ingin menggenggam tangannya dan menikmati udara pagi bersamanya. Satu-satunya oleh-oleh yang membuatku bertambah bahagia adalah ketika pulang jalan-jalan membawa “Serabi” – jajanan local yang terbuat dari adonan tepung ketan dan santan kelapa. Aku ingat betul bagaimana langkahnya selalu lebih lambat dariku, tetapi selalu menunggu dengan sabar ketika aku sibuk bermain di pi...

Menepi dalam Hening

Gambar
  Menepi tanpa pernah ada niat untuk menghilang. Aku mulai langkahlu dengan mengheningkan rasa untuk berjumpa dengan Ramadhan. Tidak perlu berisik lagi perihal luka-luka yang pernah terjadi meski sakitnya belum pergi. Biarlah semua yang telah berlalu tetap ada dalam kenangan, cukup diingat tanpa harus diundang kembali ke dalam dada. Aku ingin menyambut bulan Ramadhan dengan hati yang lapang, tanpa perlu menaruh dendam pada takdir yang sempat membuatku berantakan. Tentang kamu, tentang kita—biarkan semuanya luruh bersama doa-doa yang kuhaturkan di sepertiga malam. Biar namamu perlahan hilang dari ucapan yang dahulu sempat menjadi semoga.  Waktu itu, mungkin aku pernah berharap lebih dari yang seharusnya. Mungkin aku pernah menggenggam sesuatu yang memang harus dilepaskan. Memaksanya erat menjadi milikku padahal bukan takdirku. Tapi kini, aku belajar melepaskan, belajar memahami bahwa tidak semua yang hadir harus menetap. Aku akan berusaha terima tentang sesuatu yang datang tida...

Bijaksana

 Di singgasana megah, Raja termenung,   kerajaan yang dulu berkilau, kini redup.   Perang telah usai, sisakan luka, goreskan kecewa, harapan musnah seketika. Raja memandang pusakanya, ingatannya jauh pada suatu masa, hari ketika mahkota tertanam di kepala. Berjanjilah ia kala itu, akan bijak bertahta, ramah menyapa, welas asih dan perkasa. Tertunduklah ia bukan karna payah, kekalahan tak hanya kepayahan, tapi pelajaran.   Ia tak lagi berselimut kesedihan,   diangkatnya cawan, lalu menata lagi kerajaan. Perang telah berakhir, hati telah remuk, luka-luka tergores dalam, rintihan ada dalam kelam. Ia berkata dengan suara yang tenang dan lantang.   "Keberanian, meski di tengah jatuh,  tekad harus utuh." Kepada ribuan semangat yang sempat sambat, ia gelorakan tekad untuk kuat, meski kecewa telah terpahat. Luka akan sembuh bila diobati,  kecewa akan berlalu seiring waktu, tapi jika menyerah, perjuangan akan sudah. Luka akan berte...

Perlawanan di Bawah Langit Harapan

  Negeri ini terbangun dari serpihan harapan,   kerajaan emas bermahkota perlawanan,   barisan prajurit tegak dengan luka di dada,   tak gentar, tak tunduk pada bayang kecewa, sekalipun duania menyangkal kemerdekaan. Di benteng-benteng kecewa yang retak,   langkah menggaungkan gema perang,   melawan sepi yang berkuasa di ufuk gelap,   di tanah yang dahulu subur akan cinta,  kini kelam berserak prasangka.   Kerajaan ini bukanlah mimpi,   ia tumbuh dari keteguhan hati,   dari raja yang tak ingkar janji   untuk bangkit meski tertatih,  untuk bertahan meski berdarah.   Di puncak bukit, bendera duka berkibar,  menyadarkan ada luka yang harus diobati, ada gaduh yang harus disudahi,  ada darah yang harus dipendam dalam tanah. Prajurit dengan pedang karat melawan sepi,   Prajurit gagah, menghunus pedang keyakinan,   menghancurkan tembok ragu ...

Tenggelam di Puncak Menara

 Senja merona, sebentar lagi gulita, istana megah berdiri di batas angkasa.   Segumpal rindu tak lagi nyata,  sirna terbawa suasana.   Aku dan kau pernah mengukir mimpi di pilar-pilar istana, sepenuh tiang menuju langit tak terbatas. Istana itu kini dikepung duri kasih sayang yang pernah kutanam.   Kau dan aku, kini hanya serpihan kenangan, lahir dari harapan bercita-cita setara, tapi nyatanya tak seirama. Bukankah hampir sampai ke ujung menara? Lantas bersama menatap senja dalam simpul paling bahagia. Rupanya aku kalah dengan jari-jari tanganmu, jemari paling lihai berjanji pada langit, untuk bersamanya, menanggung hidupnya, seseorang yang kau simpan sempurna.  Runtuh aku, berkeping dalam langkah terluka,   kau merajuk tuk kembali meniti tangga emas,   bukan untuk menuju puncak mimpi,  tapi sekadar singgah untuk pergi.  Menatap senja sembari bercerita tentang mimpi-mimpi yang laka. Istana itu, kini hanya ruang k...