Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2024

Bijaksana

 Di singgasana megah, Raja termenung,   kerajaan yang dulu berkilau, kini redup.   Perang telah usai, sisakan luka, goreskan kecewa, harapan musnah seketika. Raja memandang pusakanya, ingatannya jauh pada suatu masa, hari ketika mahkota tertanam di kepala. Berjanjilah ia kala itu, akan bijak bertahta, ramah menyapa, welas asih dan perkasa. Tertunduklah ia bukan karna payah, kekalahan tak hanya kepayahan, tapi pelajaran.   Ia tak lagi berselimut kesedihan,   diangkatnya cawan, lalu menata lagi kerajaan. Perang telah berakhir, hati telah remuk, luka-luka tergores dalam, rintihan ada dalam kelam. Ia berkata dengan suara yang tenang dan lantang.   "Keberanian, meski di tengah jatuh,  tekad harus utuh." Kepada ribuan semangat yang sempat sambat, ia gelorakan tekad untuk kuat, meski kecewa telah terpahat. Luka akan sembuh bila diobati,  kecewa akan berlalu seiring waktu, tapi jika menyerah, perjuangan akan sudah. Luka akan bertemu nanahnya, kecewa akan berkawan dendam, ramah keluar

Perlawanan di Bawah Langit Harapan

  Negeri ini terbangun dari serpihan harapan,   kerajaan emas bermahkota perlawanan,   barisan prajurit tegak dengan luka di dada,   tak gentar, tak tunduk pada bayang kecewa, sekalipun duania menyangkal kemerdekaan. Di benteng-benteng kecewa yang retak,   langkah menggaungkan gema perang,   melawan sepi yang berkuasa di ufuk gelap,   di tanah yang dahulu subur akan cinta,  kini kelam berserak prasangka.   Kerajaan ini bukanlah mimpi,   ia tumbuh dari keteguhan hati,   dari raja yang tak ingkar janji   untuk bangkit meski tertatih,  untuk bertahan meski berdarah.   Di puncak bukit, bendera duka berkibar,  menyadarkan ada luka yang harus diobati, ada gaduh yang harus disudahi,  ada darah yang harus dipendam dalam tanah. Prajurit dengan pedang karat melawan sepi,   Prajurit gagah, menghunus pedang keyakinan,   menghancurkan tembok ragu dengan satu perlawanan.   Tapi apa daya, jatuh seolah takdir yang tak mungkin diubah. Tanah air dibasuh hujan air mata perjuangan.   Kepada kecewa, keraja

Tenggelam di Puncak Menara

 Senja merona, sebentar lagi gulita, istana megah berdiri di batas angkasa.   Segumpal rindu tak lagi nyata,  sirna terbawa suasana.   Aku dan kau pernah mengukir mimpi di pilar-pilar istana, sepenuh tiang menuju langit tak terbatas. Istana itu kini dikepung duri kasih sayang yang pernah kutanam.   Kau dan aku, kini hanya serpihan kenangan, lahir dari harapan bercita-cita setara, tapi nyatanya tak seirama. Bukankah hampir sampai ke ujung menara? Lantas bersama menatap senja dalam simpul paling bahagia. Rupanya aku kalah dengan jari-jari tanganmu, jemari paling lihai berjanji pada langit, untuk bersamanya, menanggung hidupnya, seseorang yang kau simpan sempurna.  Runtuh aku, berkeping dalam langkah terluka,   kau merajuk tuk kembali meniti tangga emas,   bukan untuk menuju puncak mimpi,  tapi sekadar singgah untuk pergi.  Menatap senja sembari bercerita tentang mimpi-mimpi yang laka. Istana itu, kini hanya ruang kosong, tanpa cerita.   Kau pergi, aku berpaling, dalam reruntuhan janji ya

Gugur Bersama Luka

  Kusaksikan bayangan sendiri,   Tatapan mata mulai pudar,   Senyumnya menggariskan luka,   Anak rambut tergerai menghitung duka.   Melihat sendiri air mata tak pernah tuntas, Kadang mengering, tapi sering kali banjir, Tidak ada yang benar-benar pudar, Dia sebentar hilang lalu datang sebagai kenangan, Kembali untuk tidak bisa dimiliki.   Di ujung runcing, kugenggam berani,   Satu helai, dua helai, jatuh tanpa suara.   Seperti hatiku yang hancur perlahan,   Kehilangan dia dalam janji yang ingkar, Melepas mimpi yang dekat untuk jatuh yang kuat.   Potongan rambut ini bukan sekadar gaya, Toh, tak juga terlihat olehnya,   Ini hanya jalan keluar atas rasa sakit,   Salah satu gambar atas kecewa yang membara, Seperti rasakuku, yang harus jatuh tanpa ampun.   Dalam tiap potongan, kuputuskan ingatan,   Tentang dia, tentang janji yang patah, Biar jatuh segala duka lara, Tanpa tersisa dari kepala. Sekarang apa lagi yang hendak dirasa? Duka

Takdir Membawa Kau Pergi

  Kepada langit senja aku menatap,   Tidak ada jingga, tak aja juga camar, Singkatnya tak akan ada lagi cinta kita, Hanya tinggal aksara berlanjut nostalgia Kisah kita tergantung di langit-langit,  Meski semoganya selalu aku kirim ke langit, Tapi takdirmu mematahkan harapku, Kau memilih dia, bukan aku yang kau panggil,   Doa-doa kita mungkin tak pernah bertemu, Apalagi bertarung untuk saling mendapatkan, Namun, akulah yang akhirnya harus belajar pergi,  Walau patah masih bersuara tentang kecewanya, Semesta tak lagi memberi ruang bagi kita,   Menjadi sepasang takdir yang tertulis di langit,   Takdir memilihkan jalanmu menuju dia,   Sedang aku terseret waktu untuk belajar lupa. Kau yang menuntun langkah kepada kata-kata,   Memesan tiket perjalanan cerita dan mencipta tawa, Meski aku yang akhirnya harus mati-matian menghentikan air mata,   Pergi bukanlah pilihan, tapi kewajiban bagiku yang paham tata krama,   Kini cinta kutitipkan kepada aksara,  Kubiarkan ia berkelana tanpa jeda, Ke teli

Kerajaan di Lembah Khayalan

  Di lembah khayalan yang tak terjamah,   Pesona kerajaan ajaib tanpa nama berkisah,   Di sana, waktu berjalan tanpa batas,   Tarian cahaya hadir di setiap helaan napas, Damai adalah citra tanpa perusak suasana Langitnya jingga keemasan,   Awan-awan melukis impian tak terucap,   Burung-burung bernyanyi tanpa takut keliru,   Angin berhembus seiring melodi hidup tanpa gugup, Tak perlu risau akan datangnya gelap,  Sebab cahaya yak  tak pernah padam. Di tengah istana, di lembah khayalan Sersebutlah seorang gagah duduk dalam takhta,   Matanya memandang cakrawala tak berujung,   Di tangannya, keajaiban terbentuk dari debu bintang,   Menghidupkan barisan nama-nama dari ingatan yang terlupa. Setiap langkah di tanah ini adalah sihir,   Setiap napas adalah tepukan lagu sendu kehidupan,   Di kerajaan lembah khayalan, segalanya mungkin,   Di sana, dunia tak mengenal batas, Sihir dan nyata selalu serupa, maya.  Ini adalah tempat di mana mimpi tumbuh subur,   Di bawah langit tanpa tepi dan malam tan

Kerajaan di Bawah Tirani Imaji

  Di langit berlapis mimpi,  Menara kerajaan menjulang tinggi,   Dinding emas berselimut ilusi,   Takhta adalah buah bayang-bayang sepi,   Raja bermahkota ego, memerintah sunyi. Dalam dekapan angin bisu,   Hamba tunduk pada titah tak terucap,   Malu menatap mata sendiri penuh sembab, Sedang mereka berjalan tegak di atas rapuhnya gulungan awan, Mengais harap di celah angan-angan retaknya tirani. Di tengah hening seruling istana,  Sang raja tersenyum, berpesta,   Mata berkilau bintang,  Jiwanya terpasung kenyataan,   Ia menari di atas kaki berduri,   Langkahnya koyak melukai diri, Luka-luka tanpa darah bernanah, Tanpa seorangpun peduli. Perisai imajinasi hancur perlahan sebelum perang,   Pedang janji berkarat di tangan panglima mimpi, Di medan juang yang tak kasat mata genderang perang bersahutan,   Siapa berani maju duluan menyambut perlawanan?  Serupa mati sebelum kata-kata lahir. Hamba dan ribuan rakyat kerajaan tersesat,   Menyatukan serpihan perisai juang yang remuk, Mengasah karat

Takhta yang Terlena

 Takhta yang Terlena Di atas singgasana emas, engkau terpaku, Menghitung waktu, merapal mimpi sendiri Kekuasaan erat di genggam, waktu bisu tanpa ragu Ketenangan hatimu semu, berkedok senyum citra diri Kuasa itu ilusi, dia merantai takdir berbungkus kursi Bendera-bendera berkibar tinggi,  Gagah di angkasa berpesta prestasi Namun angin berhembus tanpa kendali. Kakimu rubuh terbungkus emosi Suara rakyat merayap dalam gemuruh sunyi, Telingamu tuli tak kenal bunyi Rakyatmu meronta, menuntut, berharap,  namun kau tak mendengar ucap salam. Hingga petaka itu datang menguliti pekat Kau! Takhta bukanlah tempat abadi untuk istirahat, Ia batu dingin, di mana kehormatan bisa memudar cepat. Bisa-bisa tanpa mahkota kau tinggalkan istana  Menjadi manusia baju rombeng seperti sedia kala Betapa hancurnya citra pesona Bila kuasa itu hanyalah cermin ego dirimu, Maka retakannya menghancurkan  waktu. Sadarlah, wahai penguasa dunia, Kekuasaan sejati ada pada jiwa yang rela. Bukan pada penindasan atau perint

Pentingnya Kemandirian bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Pentingnya Kemandirian bagi Anak Berkebutuhan Khusus Kemandirian merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk hidup mandiri dan berdaya guna dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pendidik, orang tua, dan masyarakat, penting bagi kita untuk memahami bahwa kemandirian tidak hanya berkaitan dengan kemampuan fisik atau intelektual, tetapi juga mencakup aspek emosional dan sosial. Mengapa Kemandirian Penting? Kemandirian memberikan anak berkebutuhan khusus rasa percaya diri dan harga diri. Dengan membekali mereka keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, mereka dapat merasakan kebanggaan atas apa yang mampu mereka lakukan sendiri. Ini membantu mereka untuk tidak selalu bergantung pada orang lain, baik dalam melakukan aktivitas harian seperti makan, berpakaian, maupun dalam menghadapi tantangan di lingkungan sekolah dan rumah. Selain itu, kemandirian juga menjadi sala