Bijaksana

 Di singgasana megah, Raja termenung,  

kerajaan yang dulu berkilau, kini redup.  

Perang telah usai, sisakan luka, goreskan kecewa,

harapan musnah seketika.


Raja memandang pusakanya,

ingatannya jauh pada suatu masa,

hari ketika mahkota tertanam di kepala.

Berjanjilah ia kala itu, akan bijak bertahta,

ramah menyapa, welas asih dan perkasa.


Tertunduklah ia bukan karna payah,

kekalahan tak hanya kepayahan, tapi pelajaran.  

Ia tak lagi berselimut kesedihan,  

diangkatnya cawan, lalu menata lagi kerajaan.


Perang telah berakhir, hati telah remuk,

luka-luka tergores dalam, rintihan ada dalam kelam.

Ia berkata dengan suara yang tenang dan lantang.  

"Keberanian, meski di tengah jatuh,  tekad harus utuh."


Kepada ribuan semangat yang sempat sambat,

ia gelorakan tekad untuk kuat,

meski kecewa telah terpahat.

Luka akan sembuh bila diobati, 

kecewa akan berlalu seiring waktu,

tapi jika menyerah, perjuangan akan sudah.


Luka akan bertemu nanahnya,

kecewa akan berkawan dendam,

ramah keluarkan sumpah serapah,

senyum akan berganti jiwa yang rabun.

Begitulah gambaran kalah sesungguhnya,

kalah pada segala-galanya.


Selama hati masih bijak berkuasa, 

sebesar apapun lelah, perang adalah arena belajar sabar.


Pati, 9 Oktober 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah dan Berharap Kembali Bertemu

Jendela Kamar dan Secangkir Kopi

Tenggelam di Puncak Menara