Tenggelam di Puncak Menara
Senja merona, sebentar lagi gulita,
istana megah berdiri di batas angkasa.
Segumpal rindu tak lagi nyata,
sirna terbawa suasana.
Aku dan kau pernah mengukir mimpi di pilar-pilar istana,
sepenuh tiang menuju langit tak terbatas.
Istana itu kini dikepung duri kasih sayang yang pernah kutanam.
Kau dan aku, kini hanya serpihan kenangan,
lahir dari harapan bercita-cita setara,
tapi nyatanya tak seirama.
Bukankah hampir sampai ke ujung menara?
Lantas bersama menatap senja dalam simpul paling bahagia.
Rupanya aku kalah dengan jari-jari tanganmu,
jemari paling lihai berjanji pada langit,
untuk bersamanya, menanggung hidupnya,
seseorang yang kau simpan sempurna.
Runtuh aku, berkeping dalam langkah terluka,
kau merajuk tuk kembali meniti tangga emas,
bukan untuk menuju puncak mimpi,
tapi sekadar singgah untuk pergi.
Menatap senja sembari bercerita tentang mimpi-mimpi yang laka.
Istana itu, kini hanya ruang kosong, tanpa cerita.
Kau pergi, aku berpaling,
dalam reruntuhan janji yang berserak.
Rasa yang dulu menggelegak dalam dada,
tak kuasa menghadang derasnya kecewa.
Kini, di ambang senja, hati tinggal patahannya, gerbang istana merelakan cerita,
Istana itu tetap ada, namun aku dan kau tak lagi bersama.
Aku pergi membawa rasaku sendiri,
sedang kau genggang erat jemarinya menjanjikan surga.
Grobogan, 7 Oktober 2024
Komentar