Kerajaan di Bawah Tirani Imaji

 


Di langit berlapis mimpi, 

Menara kerajaan menjulang tinggi,  

Dinding emas berselimut ilusi,  

Takhta adalah buah bayang-bayang sepi,  

Raja bermahkota ego, memerintah sunyi.


Dalam dekapan angin bisu,  

Hamba tunduk pada titah tak terucap,  

Malu menatap mata sendiri penuh sembab,

Sedang mereka berjalan tegak di atas rapuhnya gulungan awan,

Mengais harap di celah angan-angan retaknya tirani.


Di tengah hening seruling istana, 

Sang raja tersenyum, berpesta,  

Mata berkilau bintang, 

Jiwanya terpasung kenyataan,  

Ia menari di atas kaki berduri,  

Langkahnya koyak melukai diri,

Luka-luka tanpa darah bernanah,

Tanpa seorangpun peduli.


Perisai imajinasi hancur perlahan sebelum perang,  

Pedang janji berkarat di tangan panglima mimpi,

Di medan juang yang tak kasat mata genderang perang bersahutan,  

Siapa berani maju duluan menyambut perlawanan? 

Serupa mati sebelum kata-kata lahir.


Hamba dan ribuan rakyat kerajaan tersesat,  

Menyatukan serpihan perisai juang yang remuk,

Mengasah karat pada pedang janji yang selamanya mimpi

Di bawah tirani imajinasi yang tak pernah nyata,

Melangkahkan kaki pada medan juang meski tak pernah lahir



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah dan Berharap Kembali Bertemu

Jendela Kamar dan Secangkir Kopi

Tenggelam di Puncak Menara