Takhta yang Terlena
Takhta yang Terlena
Di atas singgasana emas, engkau terpaku,
Menghitung waktu, merapal mimpi sendiri
Kekuasaan erat di genggam, waktu bisu tanpa ragu
Ketenangan hatimu semu, berkedok senyum citra diri
Kuasa itu ilusi, dia merantai takdir berbungkus kursi
Bendera-bendera berkibar tinggi,
Gagah di angkasa berpesta prestasi
Namun angin berhembus tanpa kendali.
Kakimu rubuh terbungkus emosi
Suara rakyat merayap dalam gemuruh sunyi,
Telingamu tuli tak kenal bunyi
Rakyatmu meronta, menuntut, berharap,
namun kau tak mendengar ucap salam.
Hingga petaka itu datang menguliti pekat
Kau!
Takhta bukanlah tempat abadi untuk istirahat,
Ia batu dingin, di mana kehormatan bisa memudar cepat.
Bisa-bisa tanpa mahkota kau tinggalkan istana
Menjadi manusia baju rombeng seperti sedia kala
Betapa hancurnya citra pesona
Bila kuasa itu hanyalah cermin ego dirimu,
Maka retakannya menghancurkan waktu.
Sadarlah, wahai penguasa dunia,
Kekuasaan sejati ada pada jiwa yang rela.
Bukan pada penindasan atau perintah tanpa jiwa,
Melainkan cinta, empati, dan pengertian tanpa kata.
Memeluk rakyat dan kekayaan nusantara
Pati, 2 Oktober 2024
Komentar