Aku Tidak Mengejarmu


Aku Tidak Mengejarmu

Oleh: Ary Pelangi



~ Aku cukup tahu diri untuk tidak mengejarmu yang berlari menjauh. ~

Diri ini entah kenapa kadang terlalu peka dengan suasana. Tanpa perlu dijelaskan  pun aku sudah paham bahwa antara aku dan kamu yang sedang akrab harus menjauh. Harus memudarkan jarak dan menyamarkan pertemuan meski hanya melalui pesan-pesan kata. Terlalu rapat justru berbuah cerita yang tak sedap untuk dijalani. Banyak kejanggalan yang mulai menjadi beban dalam pikiran. Banyak kata yang terlalu mengoyak perasaan.  

Sejak awal harusnya aku tak memberi ruang untukmu bercakap denganku tentang hal-hal yang sangat pribadi. Seharusnya memang hanya cukup sebatas jalinan professional dengan dunia kerja yang saat ini sedang aku jalani. Menjadi rekan kerjamu yang berbeda kota. ‘Harusnya’ dan banyak ‘harusnya’ lainnya yang membuat aku harus  menganggapmu berlalu begitu saja.

Bukankah sudah cukup dengan deret cerita perihal pendidikan, petualangan, dan sesekali sibuk dengan ketetapan pemerintah? Topik random yang menjadikan aku dan kamu bisa tahu frekuensi masing-masing. Menjadikan akalmu dan akalku beradu dan sesekali berselisih paham tentangnya.

Meski sudah seakrab itu, sesekali obrolan pribadi menjadi lebih menarik. Sesekali aku dan kamu bercakap begitu dekat tentang hari-hari di tempat kerja. Hal-hal sederhana tentang aktivitas yang sudah sangat sederhana. Pamer foto sedang makan, mengirim gambar secangkir kopi yang hampir habis, atau sekaleng camilan yang sedang dinikmati. Sesekali bertelfon dan berlama-lama bercerita tentang pekerjaan yang berujung tawa. Lantas aku bisa mendengar tawamu begitu juga kamu yang leluasa mendengar ocehanku. Entah kenapa bisa begitu akrab dalam panggilan.

Perihal pesan-pesan random dan video-vidio pendek yang kau kirim lewat DM Instagram, aku hanya takut jika salah rasa. Aku takut jika kau menganggap setiap kalimat jawaban dariku adalah rasa sebagai balasan video yang kau suguhkan sementara aku hanya menganggapnya tawa. Kadang aku juga dengan sengaja mengirim video reels yang entah punya siapa untukmu. Saat itu aku tahu jika aku masih sadar dengan akalku, lantas menit-menit selanjutnya aku akan khawatir jika kau memainkan rasa yang ada pada dirimu. Seperti yang kau kata, aku adalah  perempuan peracik kata yang dapat menuliskan apa saja dalam aksaraku, termasuk semua kisahmu yang kau ceritakan padaku.

Kamu paham betul, aku hanya seorang perakit aksara yang kapan saja siap mengolah kata-kata. Satu kalimat cinta darimu dapat menjelma lebih dari satu paragraf yang punya alur cerita jika bersamaku. Kau juga bisa menemukannya dalam bait-bait puisi yang aku tayangkan dalam beranda sosial media. Cerita tentangmu bisa saja terkenang, tetapi mungkin juga bisa menjadi aksara yang tenggelam tertumpuk cerita-cerita baru yang aku dapatkan.

Untuk kisah-kisah sakral yang tidak mungkin aku pamerkan di sosial media, bukan berarti akan menjadi cerita yang hilang. Aku bisa jadi merangkumnya dalam buku catatan harian atau menuliskannya dalam catatan di ponsel. Catatan yang suatu hari nanti akan aku tuliskan dalam versi lainnya. Saat aku punya cukup waktu untuk meramunya, mungkin kau tidak lagi ingat jika cerita itu adalah kenangan yang kau tinggalkan untukku. Sebuah janji yang pernah kau tawarkan untuk menghapus sepi.

Kamu yang tenang, ya. Aku tidak akan mengejarmu yang telah memilih untuk menjauh. Aku tidak akan menarikmu yang sudah punya arah untuk dituju. Bahkan aku tidak ingin bertarung dengan doa-doa yang kau langitkan. Kau paham betul siapa aku tanpa aku harus menjelaskan apa-apa. Meski akan banyak yang bilang, tapi aku dan kamu satu frekuensi. Banyak hal dapat dikisahkan dan banyak cerita yang tersambung tanpa harus dibuat-buat agar menarik untuk dinikmati. Hanya saja aku ingat, jika arahmu bukan aku, kamu tidak akan pernah menuju padaku.

Nikmati perjalananmu ya, nanti akan ada waktunya lagi kamu dan aku bercerita hingga larut perihal jalan-jalan yang pernah terlewati lengkap dengan cerita sepi yang menggenapi.

   #30DWC #30DWCJilid46 #Day2

***

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah dan Berharap Kembali Bertemu

Jendela Kamar dan Secangkir Kopi

Tenggelam di Puncak Menara