Aku Kira Kita Setara
Aku
Kira Kita Setara
Oleh:
Ary Pelangi
Mataku kembali menyapu kata-kata yang tertulis dalam buku agenda. Siapa sangka aku yang tidak menyukai olah raga kini harus menjadikannya agenda rutin demi alasan kesehatan. Aku berusaha menemukan diriku yang dulu, tapi tak bisa. Berat badan terus bertambah, tapi tidak diiringi dengan penambahan tinggi badan. Ukuran baju dinas juga tak lagi sama. Bisa terbayangkan bukan? Singkat cerita aku kehilangan diriku.
Sebenarnya
itu bukan satu-satunya alasan kenapa aku lebih sering mengelilingi alun-alun kota
hingga belasan putaran. Aku tidak hanya kehilangan diriku, tapi aku juga
kehilangan kamu. Kini, aku tahu, mempertahankanmu tidak semudah itu. Tidak
cukup hanya dengan mencari kabarmu dan mengirim pesan-pesan random untuk
menganggu waktumu.
Saat
kita kembali akrab, aku piker kita setara, rupanya hanya sementara. Mengulik
banyak kisah tentangmu, aku pikir kita akan sepadan dalam segala-galanya, tapi
ternyata hanya menjadikanku semakin tersenggal. Rupanya takaranku keliru. Aku
dan kamu tidak pernah benar-benar setara. Timbangannya berat sebelah dan tak
mudah untuk saling mengimbangi.
Kamu
datang dengan semua mimpimu, harapanmu, dan cintamu yang tidak pernah kutahu
untuk siapa. Kamu dan aku sering membuat rencana, saling pamer tempat-tempat
indah yang layak dikunjungi, dan mempercakapkan ongkos perjalanan yang tidak
murah. Namun, semua rencana sering gagal tanpa alasan. Seiring waktu, aku
semakin sadar bahwa mengenalmu harus semakin banyak pertimbangan. Aku tidak
hanya kehilangan dirimu, tapi aku juga kehilangan kepercayaan perihal kamu.
Anehnya,
kita pernah mempercakapkan masa depan. Memiliki banyak humor perihal KUA dan
ongkos pernikahan hingga banyaknya tamu undangan. Pernah juga kita
perbincangkan tentang asset property yang tidak sedikit jumlahnya. Rupanya aku
salah tangkap. Itu bukan mimpimu, itu hanya angan-anganku yang jauh. Aku kira diri
ini cukup polos, rupanya aku terlalu boros. Namun, mungkin saja kamu punya
mimpi yang lain, mimpi yang lebih penting dari aku. Semua itu membuatku terlalu
cepat sadar untuk tidak menjadikanmu tempat bersandar.
Aku
tidak menghindar, hanya tidak ingin terburu-buru untuk tetap tinggal. Aku boleh
saja kehilangan kamu yang awalnya pun tidak aku miliki. Namun, aku tidak boleh
kehilangan diriku sendiri yang selama ini cukup tegar menjalani kehidupan yang
kadang tampak nanar. Aku harus kembali pada diriku sepenuhnya. Bukan untuk
terlihat lebih sabar, hanya saja aku harus mengurus diriku untuk membuktikan
bahwa harus lebih mencintai diriku daripada berangan-angan tentang kamu.
Aku
tidak ingin membebaskan diriku akan belenggu tentang kamu, sebab kita tak
pernah terikat, meski mungkin pernah terpikat. Kamu tahu, resah tentangmu tidak
sepadan dengan angan yang berhasil aku dapatkan. Kamu tahu, aku harus bekerja
lebih keras untuk lupa perihal cerita yang sempat ada? Cerita di mana aku dan
kamu menjadi pemeran utama dalam kisahku, tapi bukan satu-satunya.
Seegois
itu aku yang memilih memperjuangkan mimpi-mimpi hidupku ketimbang secuil
perasaan untukmu. Jika tidak setara, bukankah tidak perlu dipaksakan? Bukan
untuk saling menilai siapa yang lebih egois. Bukan pula untuk menentukan siapa
yang berjuang lebih besar dan siapa yang harus diperjuangkan mati-matian. Aku
hanya ingin membuatmu mengerti bahwa kamu tidak lebih istimewa dari mimpiku
yang telah lama aku kejar. Bukankah kamu hanya orang baru yang bertemu denganku
di titik ini ketika hampir aku peluk mimpi indahku?
Kau
cukup tahu bahwa aku bukan wanita yang mudah nerimo.
Komentar